-- Anwar Holid*
STEVEN Taylor Goldberry, penulis ”The Writer’s Book of Wisdom”, menyatakan: sebuah buku yang punya kerangka cerita sangat menarik bisa sukses meski ia ditulis dengan buruk, plotnya jelek, dan karakternya mudah ditertawakan. Ujung-ujungnya, kata dia, isi tulisan lebih penting dibandingkan keterampilan.
/ Kompas Images
Kadang-kadang subyek sebuah cerita bisa saja klise karena memang nyaris tiada yang baru di dunia ini; tapi bila formulanya bikin pembaca terpana, berharaplah bahwa ia bakal sukses jadi cerita.
Kunci dari ramuan itu, menurut Harriet Smart, terletak pada pertanyaan: ”Bagaimana seandainya.” Misal dalam film Notting Hill: ”Bagaimana seandainya bintang Hollywood jatuh cinta pada pemilik toko buku bekas?”
Ketika Cinta Tak Mau Pergi, novel debut Nadhira Khalid melahirkan pertanyaan: Bagaimana seandainya seorang pemuda miskin jatuh cinta pada seorang gadis paling cantik dan kaya dari desa sebelah yang secara turun-temurun bermusuhan dengan desanya?
Boleh jadi pembaca langsung terbayang ”Romeo & Juliet” atau ”San Pek-Eng Tay”. Situasinya klise sekali. Tapi, Nadhira mengolah dengan lebih kompleks; alih-alih melahirkan tragedi percintaan semata, dia menghadirkan konflik kelas, pertarungan sosial, dan persoalan ekonomi-politik yang ruwet. Dengan setting di Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara, Wawan Eko Yulianto menyatakan novel ini ”mengintip lebih jauh pada masyarakat Sasak”.
Masyarakat Sasak berjumlah lebih dari tiga juta orang, secara tradisional telah beragama Islam, namun kepercayaan terhadap mistik, sihir, dan mantra masih pekat. Meski menghormati guru ngaji, mereka percaya dukun mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan segala sesuatu, termasuk bisa dimintai guna-guna.
Nadhira bercerita tentang Lombok tahun 1970-an. Kisah dimulai dari Desa Presak Bat dan Presak Timuq, tempat orang Sasak waktu itu masih tradisional, miskin, bodoh, diabaikan pemerintahan, tanpa fasilitas umum, sementara aparat setempat korup dan suka suap.
Karena bodoh, penduduk tak tahu bahwa negeri mereka mengandung batu apung dan tambang lain yang bisa diolah sebagai sumber kesejahteraan. Yang mengetahui ialah perusahaan tambang di Jakarta. Menggunakan kaki tangan lokal dan aparat korup yang suka jatah preman, perusahaan berhasil mengadu domba warga dua desa yang awalnya rukun tenteram, meski serba kekurangan.
Warga berhasil dihasut bahwa tetangga mereka kerap mencuri satu sama lain, akibatnya tawuran antardesa pun pecah bertahun- tahun, membuat mereka bermusuhan dan terus saling curiga.
Yang celaka dari permusuhan itu ialah Sahnim dan Kertiaji. Dulu waktu kecil mereka main bareng dan rasa suka mereka tumbuh sejak masa cinta monyet. Sahnim tinggal di Presak Bat, sedangkan Kertiaji di Presak Timuq. Si gadis anak orang paling kaya desa itu, juga paling cantik; sementara si jejaka anak bangsawan yang sudah miskin dan kehilangan kekuasaan.
Meski saling cinta, Kertiaji diusir ketika hendak melamar Sahnim. Lebih parah, niatnya hendak meminang Sahnim malah menimbulkan perang desa. Kerusuhan membuatnya nekat menculik gadis itu, sekaligus hendak kawin lari.
Tapi sayang, upaya itu gagal karena Sahnim berhasil direbut kembali oleh ayahnya. Ayah Sahnim ingin dia menikah dengan lelaki kaya kalau bukan dari keluarga terhormat. Harapan itu tertambat pada Japa, musuh utama Kertiaji, pemuda perlente anak seorang anggota DPRD.
Perlu eksplorasi
Kasih tak sampai itu menyita hampir seluruh buku, bahkan ketika Kertiaji sekeluarga transmigrasi ke Sumbawa hendak memulai hidup baru karena ingin lepas dari kemiskinan. Cintanya pada Sahnim, kenangan, dan kegagalan menyunting gadis itu membuatnya tak betah ada di pulau seberang. Dia memutuskan kembali.
Menyesal, Sahnim kini sudah jadi istri Japa, meski dia didapat lewat guna-guna. Japa, di luar motif mengawini Sahnim, ternyata mau mencuri surat tanah berhektar-hektar milik mertuanya, yang nanti akan dia dagangkan pada ayahnya. Begitulah mereka berkolusi membebaskan tanah penduduk dua desa itu untuk perusahaan di Jakarta; sebagian dengan memalsukan surat tanah, sebagian dengan mengusir penduduk lewat program transmigrasi.
Sayang persoalan seserius itu tertimbun terus di balik drama Kertiaji merebut kembali Sahnim. Padahal gambaran kemelaratan di desa-desa kepulauan, keterbelakangan penduduk, ditambah ancaman malaria dan kejahatan sosial terencana, amat potensial diolah menjadi isu berjangkauan nasional. Intensitas penulis tampak bukan ke sana. Itu membuat persoalan kapitalisme jahat di sana jadi sekadar tempelan yang kehilangan ujung- pangkal di akhir buku, meski ketegangannya sudah ditonjolkan di awal.
Agaknya penulis kesulitan menjalin koherensi satu cerita dengan cerita lain sebagai alur yang utuh, berurutan, dan mempertahankan daya pikat. Memang butuh kemampuan dan persiapan lebih agar cerita terus mampu membetot kepenasaran pembaca.
Kasih tak sampai antara Sahnim dan Kertiaji bukan tipe kisah cinta yang mudah menguras air mata, melainkan pertanyaan, ”Kualitas apa yang membuat sepasang kekasih ini terasa begitu tergila- gila dan setia?” Apalagi Kertiaji juga bukan pria dengan karakter jagoan; dia mudah ragu dan lari dari tekanan yang menghadang. Karakternya bahkan kalah kuat dibandingkan adiknya, Ratmaji. Ratmajilah yang kerap menasihati dan memberi dorongan moral setiap kali Kertiaji bingung mau apa, dia pun amat setia sebagai saudara.
Mungkin, passion (pergolakan emosi) yang terasa kurang dalam novel ini. Soalnya Nadhira sudah berhasil menghadirkan detail setting, suasana sosial etnik Sasak, termasuk gesekan antara nilai Islam dan keyakinan setempat. Drama malapetaka sosial itu menanti eksplorasi penulis lebih lanjut di masa depan.
Dalam konteks industri buku, karena diterbitkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang selama ini diakui sukses membangun genre fiksi Islam ke tingkat maksimal, pilihan tema persoalan sosial seperti ini menandai peralihan orientasi yang segar dan patut dipuji. Ketika Cinta Tak Mau Pergi bisa lepas dari sergapan klise tipikal fiksi Islam. Novel ini menandai FLP yang berpandangan lebih luas, terbuka, mau menjelajah subyek baru, berhenti memperlihatkan unsur Islam secara permukaan dan naif.
Alih-alih mengadopsi bahasa atau budaya Arab secara berlebihan sebagaimana sering terjadi, penulis malah memasukkan banyak unsur bahasa dan budaya setempat, termasuk kesulitan lidah melafalkan ’f’ sebagaimana terjadi pada orang Sunda. Ini memperlihatkan upaya FLP merebut pangsa pembaca umum yang selama ini ditinggalkan dan memiliki resistensi tertentu terhadap produk mereka.
* Anwar Holid, Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung
Sumber: Kompas, Minggu, 31 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment