-- Beni Setia*
AKSESORI rock, dengan sentakan gitar tajam, permainan drum ganas dan penglataran vocal yang asosiatif, dalam lagu qasidahan "Kota Santri", tidak bisa merubah ikon idealistik para santri yang tertib, religius dan displin belajar. Itu mungkin karena lirik lagu hanya menangkap gejala permukaan tanpa sedikitpun mau memptret isi hati dan isi kepala dari individu santri, seperti yang dengan kuat disugestikan oleh Sarabunis Mubarok dalam sajak "Di Pesantren" - sajak pembuka kumpulan puisi Memasuki Peti Mati, Tasikmalaya, Pustaka Azan, 2005.
Dalam sajak itu diceritakan kegelisahan seorang santri yang berusaha fokus menimba ilmu agama di tengah suara-suara duniawi yang berhembus kuat dari luar dan bahkan sampai di bilik pondokan si santri. Yang mencoba menenangkan diri dengan shalat meski sajadahnya tak begitu terurus karena arus informasi dan bacaan filsafat dan ajakan buat berpikiran bebas melepas nalar menarik-nariknya memasuki fatamorgana antroposentris - yang menyebabkan Tuhan terasa semakin asing ketika sekuatnya ingin dikenali. Bahkan bagi santri yang sudah bertpuluh tahun mondok, sejak ia berusia 8 tahun - lihat sajak "Melintasi Selat Sunda", ditulis 2000-2001, yang menceritakan awal perjalanan dari kampung transmigrasi di Bengkulu untuk menjadi santri dan menulis puisi di Singaparna.
Dari fakta kebocahan itu kita menangkap adanya janji kepolosan seorang Sarabunis Mubarok, dan kesan akan hal itu terhembus kuat ketika ia menandai masa kecilnya dalam sajak "Di Kota Bengkulu", "Ipuh", "Sebuah Sungai", " Ibu pun Berlabuh", dan "Seterika Arang", misalnya. Sebuah dunia frontier pertanian yang penuh tantangan alam, cuaca dan kesulitan, yang melahirkan idiom-idiom keras dan pahit, yang mendorong kesadaran akan lingkup kemiskinan yang kuat mengepungnya dari segala penjuru, sehingga ia terpaksa hijrah - lebih tepatnya: dihijrahkan - ke Jawa, ke pendidikan berasrama sebuah pesantren di Singaparna. Tapi kepahitan, idiom yang keras dan menekan ke pusat tak berdaya miskin itu terus menghantui - sehingga diksi kemiskinan yang tersurat harafiah dan tersirat konotatif bermunculan di mana-mana dalam sajak-sajaknya.
Pada Sarabunis Mubarok masa kanak-kanak yang menyenangkan tak selalu hadir dalam paparan yang penuh keindahan, memang ada keceriaan kanak-kanak tapi semua itu hadir dengan latar hutan yang menyembunyikan hama, kemarau yang menjegal, penghujan yang khianat, serta keterpencilan yang membuat diri hanya betemu dengan diri. Sendiri. Kesadaran akan fakta diri ada di telau sunyi dan hanya berbekal tanpa daya, dan mengurungnya di dalam kemungkinan: apa mau ambil kecewa tidak sudah atau mau ambil pasrah ikhlas menerima suratan. Hal itu yang menyebabkannya tergoda mengambil diksi ambigu dalam beberapa sajaknya, tersurat atau tersirat, bahkan ada sajaknya yang diberi judul "Sense of Ambiguity" - yang menceritakan ketertarikan pada seorang gadis dan asa supaya si gadis merespon karena siapa tahu itu lantaran untuk jelmanya takdir jodoh.
Dan tak heran kalau jatuh cinta itu bermakna menahan diri, seperti yang dengan indah diungkapkan dalam sajak "Buat Andari Widya Hapsari", "Buat Perempuan Dingin", "Gadis Krian", "Kuin Cinta", dan "Buat Mega Vristian". Dan tak mengherankan juga bila satu-satunya ketakberbahagiaan sebagai anak adalah perasaan bersalah tak bisa menyunting istri tersurat dan tak bisa mapan tersirat. Sehingga selalu membayangkan ibu yang memberi hidup dan mengalirkan daya hidup sebagai jihad keberadaan wanita - disamping ayah yang banting tulang hingga terlihat tua sebelum waktu -, kecewa karena ia belum menikah. Dan tak heran dari simbolisasi ibu sebagai yang memberi air susu, kesegaran dan hidup - disamping ayah yang ubanan dan kerontang identik kemarau -, sehingga dari fakta memberi itu ibu berubah jadi yang ilahiah, hujan. Hidup baru. Dan sajak yang mencatat ilusi pernikahan diberi latar puncak penghujan yang paling tinggi, di mana sumber kehidupan melimpah dan dingin hanya tuntas dihangati berahi - lihat sajak "Aku Ingin Menikahimu di Musim Hujan".
Kesederhanaan dan kejernihannya merumuskan yang sederhana dalam kata yang jernih - berlainan dari penyair seangkatannya yang imajinya liar tapi tidak berhasil menemukan kelurusan logika bahasa berdasar acuan tata bahasa baku - membuatnya iampil menonjol. Terlebih kalau mengingat ia itu hanyalah berlatar pendidikan pesantren yang pergaulannya dengan ilmu umum non-agamawi relatif terbatas - terutama bahasa dan sastra Indonesia. Dan ketajamanya itu semakin terlihat saat menulis puisi yang sipatnya obyektif deskriptif - ia menulis sebagai subyek yang mengamati obyek-obyek dari luar, lantas membuat pertelaan sambil sesekali memasukkan opini. Dan yang paling kuat menunjukkan bakat berpuisinya adalah sajak "Singaparna, Kota Kecil Itu", sebuah potret kilat sambil si penyair memasukkan komentar tanpa merusak tatanan puisi - dan dengannya kita seperti diajak bertamasya ke kota kecil yang unik dalam kenaifannya. Hal yang serupa berhembus kuat dari sajak-sajak yang memotret masa kecilnya, "Ipuh", "Lais-Ipuh", misalnya. Atau potret dengan lensa mata burung yang mencatat banyak hal di satu tarikan nafas, dalam sajak "Satu Senja di Simpang Lima Semarang", "Taman Belukar", "Satu Sore di Seberang Sebuah Gereja", dan sajak-sajak yang ditulis sebagai pelancong di Bali.
Pada dasarnya Sarabunis Mubarokj itu penyair lirik, yang mengungkapkan hal-hal personal dari kaca mata yang personal. Dan subyektivitas itu terkadang kuat berhembus - ada beberapa sajak yang tak fokus dan karenanya kita jatuh dalam banjir pertelaan tanpa mengerti ke mana rambu kata-kata itu mengarahkan kita. Tapi lirik Sarabunis Mubarok tidak menjadi sesuatu yang disampaikan hati-hati dan lirih simbolis penuh sugesti dari rasa menuju rasa. Yang kini ada itu justru kehatihatian akibat terlalu menahan diri karena terbiasa tahu diri, lantas semua dirumuskannya secara logis dan cerdas.
Dan acuan logis dan cerdas itulah yang membuat diksi Sarabunis Mubarok mampu hadir dalam pertelaan yang amat jernih. Amat berhubungan dengan yang terlihat kongkrit, yang bisa diindrai, dan yang harus dimaknai secara rasional, sehingga opini yang ingin diungkapkan mengiringi atau dalam ketersiratan yang diamati itu amat terkendali. Karenanya terbayang dahsyatnya kalau ia menulis cerpen dan terutama esei.
Kita memang menunggu perkembangan selanjutnya, dari sebuah sumber air yang mau menghabiskan dirinya untuk menumbuhkan kehidupan baru - seperti mitos yang dibangunnya tentang ibu yang tanpa pamrih dan bapak yang kerja keras banting tulang. Semoga.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 2 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment