Sunday, August 24, 2008

Wacana: Sastra, Nasionalisme, dan Kemerdekaan Berbudaya

Bagian pertama Dari dua tulisan

-- Ahmadun Yosi Herfanda


MOMENTUM peringatan hari kemerdekaan selalu menjadi saat yang tepat untuk menakar dan mereaktualisasi nasionalisme warga suatu negara. Karena itulah, pergelaran sastra dan dialog interaktif dalam rangka 63 tahun Kemerdekaan Indonesia di Studio B RRI Pusat, Jumat (15/8) malam, lalu mengambil tema Nasionalisme dan Masa Depan Indonesia.Seperti tahun-tahun sebelumnya, pentas kemerdekaan yang digelar Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Forum Kebudayaan Indonesia (FKI) ini tidak hanya menghadirkan para penyair dan sastrawan, tapi juga para menteri dan tokoh masyarakat.

Mereka adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh, juru bicara kepresidenan Andi Alfian Malarangeng, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Eka Tjiptadi, dan anggota Komisi I DPR RI Sigi Wahab.

Selain berdialog, para pejabat dan tokoh masyarakat itu juga membaca puisi. Sementara, dari kalangan penyair dan sastrawan yang tampil membaca puisi, antara lain Diah Hadaning, Fatin Hamama, Kurnia Effendi, dan Budi Setyawan. Tampil juga novelis Titie Said membacakan cerpen pendek, serta Direktur Program RRI Niken Widiatuti, dan anggota Dewan Pengawas RRI Kabul Budiono, membacakan sajak-sajak pendek. Pertunjukan sastra diawali musikalisasi puisi oleh Devi's Sanggar Matahari.

Dialog yang dimoderatori Dirut RRI Parni Hadi dan disiarkan langsung secara nasional itu mencoba menegaskan kembali tentang makna nasionalisme. Para pembicara sepakat bahwa nasionalisme dimulai dari rasa cinta, yakni cinta pada tanah air, bangsa dan negara. Setelah itu adalah perbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara. "Nasionalisme dimulai dari rasa cinta dan kemauan untuk berbuat bagi bangsa dan negara," kata Meutia.

Kata kunci
Dari dialog ini, dapat dikristalkan bahwa makna nasionalisme terletak pada tiga kata kunci, yakni cinta, peduli, dan berbuat/. Tentang nasionalisme kebudayaan, misalnya, dapat dimaknai sebagai cinta dan peduli pada kebudayaan nasional serta banyak berbuat untuk pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa. Targetnya adalah pembentukan jati diri bangsa yang kuat dan mandiri.

Begitu juga ketika kita berbicara tentang nasionalisme sastra, maka sastra yang nasionalistik adalah sastra yang mendorong dan mengembangkan rasa cinta serta peduli pada kebudayaan dan jati diri bangsanya, kemudian mendorong pembacanya untuk melakukan yang terbaik bagi bangsanya.

Dengan demikian, kalau ada kalau ada individu atau kelompok masyarakat yang begitu saja mengadopsi nilai-nilai dan bentuk-bentuk ekspresi budaya asing yang tidak sesuai dengan keyakinan dan jati diri bangsanya, baik dalam karya seni (termasuk sastra) dan gaya hidup sehari-hari, maka patut diragukan rasa nasionalismenya. Jangan-jangan meminjam istilah Bung Karno -- mereka adalah kepanjangan tangan imperialisme budaya.

Maka, dapatlah dikatakan bahwa karya sastra yang berupaya merevitalisasi nilai-nilai budaya bangsa, yang mengembangkan rasa cinta dan kepedulian pada kebudayaan sendiri, termasuk kearifan dan kekayaan budaya lokal (etnis), adalah karya sastra yang nasionalis. Sebaliknya, karya sastra yang cenderung memanjakan serta mengagungkan nilai-nilai dan ekspresi budaya asing adalah karya sastra yang a-nasionalis.

Dialog budaya
Karya-karya seni budaya (sastra) yang menawarkan nilai-nilai budaya asing tentu tetap ada manfaatnya untuk mempertajam dialog antara budaya asing dan budaya nasional guna mencapai formula kebudayaan Indonesia yang lebih pas dengan tuntutan zaman. Sebab, bagaimanapun, seperti kata Umar Kayam, kebudayaan adalah proses transformasi dan dialektika nilai yang tak pernah selesai.

Karena itu, nasionalisme budaya tidak dapat lantas diartikan sebagai sikap menutup diri terhadap kebudayaan asing. Guna menyempurnakan formula kebudayaan Indonesia, kita tetap patut belajar pada kebudayaan negara-negara lain yang lebih maju dan sejahtera. Dalam hal etos kerja dan profesionalisme (budaya kerja), misalnya kita masih perlu belajar pada negara maju. Begitu juga dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, demokrasi, pembentukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, kultur birokrasi, serta pemberantasa korupsi.

Yang patut dihindari adalah mengagungkan budaya asing secara berlebihan, serta mengadopsinya begitu saja, sehingga yang terjadi bukannya proses transformasi budaya dengan dialektika nilai yang sehat, tapi justru 'penggusuran budaya' yang meminggirkan kebudayaan nasional. Sebab, jika itu yang terjadi, maka kita akan terancam untuk menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan identitas nasional.

* Ahmadun Yosi Herfanda, Wartawan Republika dan Ketua Umum KSI

Sumber: Republika, Minggu, 24 Agustus 2008

No comments: