Saturday, August 02, 2008

Temu Karya Taman Budaya Se-Indonesia: Kita Baru Bisa Bicara, Belum Mengapresiasi

KITA, baik kalangan birokrat (pemerintah), seniman, maupun budayawan, pernah tersulut emosi manakala Malaysia mengklaim, kalau alat musik angklung merupakan alat kesenian pemersatu negara serumpun mereka. Bahkan serta-merta, mahasiswa di sejumlah daerah membakar bendera Malaysia sebagai bentuk protes.

Bertolak dari peristiwa tersebut, tahun lalu, pada peringatan Kemerdekaan RI Ke-62, tepatnya 18-19 Agustus 2007, di arena Jakarta International Expo, digelar "Bambu Nusantara World Music Festival". Hasilnya, sejumlah seniman berbagai daerah di nusantara ini tumplek dan menampilkan kreasinya memainkan alat musik dari bambu. Tidak ketinggalan sejumlah seniman yang sengaja datang dari luar turut mengekspresikannya.

Namun, sangat disayangkan justru dari kalangan pemerintah (birokrat) maupun mahasiswa yang lantang bersuara hanya segelintir yang hadir. "Itu pun mereka yang ingin melihat performance dan mendengar musik. Kita ini masih saja menjadi orang yang lantang bersuara, sementara untuk berbuat dan sekadar memberikan apresiasi atau meluangkan waktu masih sangat minim. Apalagi untuk kesadaran memelihara, melestarikan, dan mengembangkan, masih jauh dari harapan," ujar Djaduk Ferianto, waktu itu.

Hal serupa juga terulang dalam kegiatan "Temu Karya Taman Budaya Se-Indonesia" yang berakhir Sabtu (26/7). Pementasan 24 kesenian yang langka dan (bahkan di daerahnya sendiri) sudah jarang dipentaskan, masih kurang begitu diminati sebagai tontonan hiburan. "Ya inilah bangsa kita, dari mulai pemerintah, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat kurang memberikan apresiasi terhadap berbagai bentuk kesenian. Tapi, coba kalau dibumbui dengan politik, semisal dalam pemberitaan klaim Malaysia akan musik angklung. Sampai tukang beca juga tahu, padahal belum tentu tahu bentuk angklungnya," ujar Dodong "Odong" Kodir, seniman pengkreasi barang sudah tidak terpakai menjadi alat musik.

Kegiatan tahunan pimpinan Balai Taman Budaya Se-Indonesia, bertajuk "Serumpun Bambu Sejuta Aksi" boleh dikata merupakan kegiatan langka dan sulit dipastikan kapan akan kembali digelar. Oleh karena itu, selama tiga malam berturut-turut (Rabu, Kamis, dan Jumat) barisan pertama hingga ketiga kursi beton Teater Terbuka yang berkapasitas 1.000 penonton diduduki fotografer, kamerawan, dan wartawan peliput yang mengabadikan momen rangkaian pergelaran. Sedangkan sisanya, tamu undangan yang juga peserta acara dan masyarakat yang sebagian besar orang tua, warga sekitar Balai Taman Budaya Jawa Barat yang berlokasi di Jalan Bukit Dago Selatan 53 A Bandung.

Minimnya apresiasi penonton sempat mengundang kebingungan Stella dan dua rekannya yang tengah menimba ilmu di Universitas Padjajaran. Mahasiswa asal Australia ini mempertanyakan keberadaan mahasiswa dan kalangan pemuda yang ada di Kota Bandung. "Padahal di Bandung ada sekolah seni dan beberapa universitas juga ada jurusan keseniannya, sangat disayangkan kalau kegiatan seperti ini dilewatkan," ujar Stella, yang saat menonton dipandu Mas Nanu Muda, S. Sen., M.Hum., dosen STSI Bandung.

Keheranan serupa juga diungkapkan Mardanis, salah seorang seniman dari Sumatra Barat. Namun dirinya tidak sampai berkecil hati karena merasa dengan kehadiran wartawan beserta fotografer dan kamerawan televisi, sudah dapat mewakili dan bahkan kegiatan dapat terpublikasikan.

"Saya sih positif saja. Mungkin kalangan birokrat sudah capek ngurus dan mikirin rakyat, mahasiswa dan pelajar sudah capek otaknya terkuras untuk belajar, mana ada waktu dan kesempatan untuk menonton seni tradisi. Ditempat sedingin ini lagi," ujarnya disambut tawa seniman lainnya saat berkumpul di Galeri Teh yang letaknya berhadapan dengan Teater Terbuka.

Terlepas dari minimnya apresiasi, "Serumpun Bambu Sejuta Aksi" yang menampilkan 24 karya seni (alat musik bambu) peserta Temu Karya Taman Budaya Se-Indonesia, menyuguhkan performance (penampilan) sangat luar biasa. Kekayaan dan keunikan bambu nusantara berpadu dengan eksotika gerak tubuh dan tata artistik panggung, menciptakan tontonan sangat memikat.

Selain sajian kesenian, pengetahuan kita juga semakin terbuka. Ternyata tidak hanya alat musik angklung saja yang harus dijaga dan dipertahankan sebagai kekayaan negeri ini. Tetapi masih banyak alat musik (bambu) lainnya juga harus dijaga. Semisal sasando dari Nusa Tenggara Timur, angklung paglak (Banyumas), sulim, surdam, dan keteng-keteng (Sumatra Utara), gendang buluh (Riau), ma`dongi (Sulawesi Selatan), dan banyak lagi.

Sejumlah seniman dan budayawan berpendapat minimnya apresiasi masyarakat terhadap kesenian musik bambu bukan hanya karena sulitnya mencerna nada-nada yang keluar dari bambu itu sendiri. "Tetapi hal ini juga akibat dari minimnya pengetahuan filosofi masyarakat akan bambu," ujar Noor Ridwan.

Padahal, terkait buah kreasi seni dari batang bambu, tidak kurang dari 100 jenis kesenian yang menggunakan media bambu. Bahkan, di Jawa Barat, di mana bambu digunakan sebagai media sejak lahir, menjalani kehidupan di muka bumi ini, hingga saat dikebumikan.

Khusus alat musik dan kesenian angklung, sebagai alat musik bambu yang sudah dikenal luas dan mengakar secara turun-temurun. Banyak yang mengakui kalau alat musik ini tumbuh dan berkembang sangat subur di tatar Priangan dibandingkan dengan daerah lain.

Mengaca pada sejarah perkembangan seni pertunjukan daerah Jawa Barat, angklung yang berkembang belakangan ini berasal dari tanah Sunda. Potret ini bisa terekam dari penyebaran alat musik angklung yang begitu merata se-antero pelosok daerah dan fungsinya sebagai alat kesenian pendukung upacara adat istiadat.

Menurut Yayan Udjo, putra ke enam maestro angklung Jawa Barat Alm. Udjo Ngalagena, angklung banyak dimainkan bersama kesenian tradisional lain. Ada yang menyebut angklung degung, angklung pengiring kuda lumping, angklung yang dimainkan dalam kesenian badeng dan pengiring kawih (nyanyian Sunda), serta angklung pengiring tarian.

Di daerah Banten, Baduy, Sukabumi, dan Cirebon, angklung berfungsi sebagai sarana ritual untuk upacara ngaseuk pare (menanam benih padi), nginebkeun pare (menyimpan padi untuk sementara), ngampihkeun pare (menyimpan padi), seren taun (upacara tahunan), nadran (berziarah), ngunjung ka Gunung Jati (upacara ritual ke Gunung Jati) dan heleran (menggiling padi).

Di sepanjang dataran tanah katulistiwa, muncul ragam dan jenis musik bambu dengan nama, istilah dan fungsi musikal nan unik sesuai kultur musik induk. Ada serunai, seruling, suling bansi, dan seterusnya untuk menamai berbagai jenis alat musik tiup dari bambu. Juga angklung, calung, krumpyung, jegong, patrol, dan oklik.

Sejumlah grup musik bersama musik bambu pernah melanglangbuana ke belahan dunia. Saung Angklung Udjo atau Kabumi (UPI), STBA, dan Unpad, jangan ditanya lagi berapa kali mereka diundang dan manggung di luar negeri. Demikian pula halnya dengan grup musik Krakatau, Discus, Saraswati, Samba Sunda, Sonoseni, dan lainnya, yang menggabungkan alat musik elektrik dengan musik bambu menjadi seni musik kontemporer.

Tapi di sini, di negeri ini, musik tradisional tetap saja musik tradisional yang hanya diterima oleh komunitasnya. Entah sampai kapan, kalangan birokrat di tengah kesibukannya meluangkan waktu untuk sekadar menonton; mahasiswa dan pelajar menyempatkan diri untuk sekadar mendengarkan, pengusaha untuk sekadar menyisihkan sebagian keuntungannya untuk membuat pergelaran kecil, sebagaimana yang diungkapkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, Ir. Jero Wacik. "Kita harus malu kalau bisanya cuma ngomong, tapi untuk sekadar mendengarkan tidak berusaha meluangkan waktu," ujarnya dalam acara jumpa pers.

Mudah-mudahan, ke depan kita tidak terlalu lantang bersuara manakala ada kesenian atau alat musik kita yang diklaim negara lain yang pemerintah dan masyarakatnya memiliki atensi lebih dari kita. (Retno HY/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 2 Agustus 2008

No comments: