Sawahlunto, Kompas - Pusat Dokumentasi Arsitektur mencatat, hanya 5 persen dari 257 benteng peninggalan masa kolonial di Indonesia yang masih dalam kondisi utuh. Mayoritas kondisi benteng-benteng tersebut tinggal sisa bangunan dan reruntuhannya saja. Indonesia bisa belajar dari India yang mampu merestorasi serta mengonservasi benteng masa kolonial untuk kemudian dimanfaatkan secara ekonomis.
Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) yang melakukan pendataan dan inventarisasi benteng peninggalan masa kolonial menyebutkan angka 45 persen benteng yang dalam kondisi tinggal reruntuhan. ”Sebanyak 50 persen lainnya hanya berupa sisa-sisa bangunan benteng,” ujar Endy Subijono, Pimpinan Proyek Pendokumentasian Benteng kerja sama PDA dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Sawahlunto, Minggu (24/8).
PDA, lanjut Endy, baru menginventarisasi benteng-benteng di Indonesia bagian timur. Dalam waktu dekat, pendataan dan inventarisasi benteng masa kolonial akan dilakukan di Pulau Jawa dan Sumatera.
”Jumlah 257 benteng peninggalan bangsa asing di Nusantara ini bisa jadi bertambah banyak. Jumlah itu di luar benteng yang dibangun raja-raja di Nusantara. Saat kami melakukan pendataan di Indonesia timur, data awal kami ada 100 benteng, tetapi saat pendataan di lapangan, kami menemukan ada 107 benteng. Jumlah itu saja masih mungkin bertambah karena kami sempat kesulitan mencapai beberapa lokasi yang disurvei,” ujar Endy.
Menurut Endy, kerusakan benteng-benteng peninggalan masa kolonial lebih banyak disebabkan oleh pembiaran yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat di sekitarnya.
Endy mengatakan, pendataan dan inventarisasi benteng tak cukup berhenti pada upaya perlindungan dan konservasi. ”Indonesia perlu belajar dari negara lain, seperti India, yang mampu merestorasi benteng-benteng masa kolonial menjadi hotel hingga obyek wisata yang menarik dan bernilai ekonomis,” ujarnya.
Corpasschier, praktisi konservasi warisan sejarah dari Belanda, mengatakan, kalau melihat potensi benteng di Indonesia, nilai ekonomisnya bisa melampaui India. Ini disebabkan arsitektur benteng sangat beragam akibat banyaknya bangsa asing yang pernah melakukan ekspansi ke Indonesia. (BIL)
Sumber: Kompas, Senin, 25 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment