Sunday, August 24, 2008

Pahlawan dari Kotak Puisi

-- Grathia Pitaloka

TEMA perjuangan tak lagi jadi perhatian penting para penyair. Pemaknaan kepahlawanan mungkin sudah bergeser.

Pekan lalu negeri ini baru saja merayakan ulang tahun kemerdekaannya, setengah abad lebih umurnya. Hampir semua pelosok negeri sibuk bersolek, bagai gadis perawan yang asyik menabur pupur putih dan gincu merah.

Gegap gempita kemeriahan pesta kemerdekaan dinikmati seorang kakek tua dari kotak televisi. Melihat gambar di kotak yang usianya tak kalah renta dengan dirinya, bulir bening mengalir di pipi si kakek. Benaknya kembali membayangkan perjuangan puluhan tahun silam mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

Kakek tua itu bukan pahlawan nasional yang namanya wajib dihapal oleh murid sekolah dasar. Ia hanya sosok tak dikenal, namun kontribusinya terhadap negeri ini jelas tak boleh dinafikan begitu saja.

Di sudut lain negeri, Guruh Mahardika, seorang siswa kelas dua sekolah menengah pertama di Bandung menulis puisi berjudul Pak Harto Tercinta. Meskipun media massa baik cetak maupun elektronik menyebut penguasa Orde Baru itu sebagai koruptor, tetapi di mata bocah berusia 14 tahun ini Soeharto tetaplah seorang pahlawan. "Walaupun korupsi, sisi baiknya lebih banyak," kata Guruh polos.

Siapa sesungguhnya sosok yang pantas disebut pahlawan? Apakah hanya Bung Karno, Bung Hatta atau Sjahrir yang namanya selalu dielu-elukan setiap bulan Agustus tiba? Bagaimana dengan mayat tanpa nama dalam pertempuran antara Karawang-Bekasi?

Thomas Carlyle dalam bukunya Helden en Helden Vereeing, meletakkan konteks pahlawan sebagai sumber dari segala perubahan. Pahlawan merupakan manusia besar yang mengubah sejarah umat manusia, sosok yang menggoreskan tinta dalam lembar peradaban dunia.

Bila mengikuti pengertian Carlyle maka gambaran sosok pahlawan dapat diwakili puisi-puisi Chairil Anwar, salah satunya yang berjudul Diponegoro:

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

Meski dicipta lebih dari setengah abad lalu, namun puisi yang berjudul Diponegoro masih tetap memikat. Nilai serta semangat yang ingin dikobarkan masih terlihat jelas bagi siapa saja yang membacanya. "Diponegoro memiliki pilihan kata yang unik, salah satu hal yang menjadi ciri khas puisi-puisi Chairil," kata Pengajar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi, ketika dihubungi Jurnal Nasional, Selasa (19/8).

Namun penyair yang dijuluki sebagai binatang jalang itu tak hanya menoreh kan nama-nama besar seperti Soekarno, Mohammad Hatta atau Diponegoro dalam larik puisinya. Tak lupa ia juga mengingatkan kita pada mayat-mayat tanpa nama yang gugur pada pertempuran Karawang-Bekasi. "Pemilihan kata seringkali dianggap sebagai representasi sang penyair," ujar Ibnu.

Kenang-kenanglah kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat

Berilah kami arti

Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian

Kenang-kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

(Karawang-Bekasi)

Sementara Chairil secara eksplisit menyebut nama dalam puisinya, Toto Sudarto Bachtiar memilih bercerita tentang seorang pahlawan tanpa nama. Wajah muda yang tersenyum beku, dengan lubang peluru bundar di dada.

Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri mengatakan, sosok pahlawan dalam karya sastra biasanya digambarkan sebagai sosok yang luar biasa. ''Hal itu lumrah dilakukan, sejauh tidak melahirkan kultus individu dan menyesatkan pembacanya,'' kata penyair yang terkenal dengan puisi mantranya.

Menurut Sutardji, siapa pun berhak dikatakan sebagai pahlawan asalkan bisa menunjukkan keterlibatan dalam suka duka kehidupan bangsanya. ''Jangan ketika bangsa ini terpuruk orang itu kabur ke luar negeri dan ketika keadaan sudah makmur baru datang lagi,'' ujar lelaki yang baru saja menerima Achmad Bakrie Award ini.

Munculnya angkatan sastra

Perjalanan sejarah Indonesia bisa dikatakan selaras dengan perkembangan sejarah sastranya. Banyak karya sastra entah dalam bentuk puisi, cerita pendek maupu novel lahir sebagai penanda zaman.

Tak dipungkiri sastra sejak lama telah dipercaya sebagai salah satu media yang mumpuni untuk mengobarkan semangat massa. Maka tak heran dalam perjalanannya, perkembangan sastra selalu dihubungkan dengan keadaan sosial politik suatu negara.

Budayawan Ajip Rosidi mengatakan, kesadaran kebangsaan merupakan pembeda antara kesusastraan Melayu dengan kesusastraan Indonesia. Kesadaran kebangsaan merupakan persoalan politis sehingga dari sana dapat ditarik benang merah mengapa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari persoalan politik.

Senada dengan pendapat di atas, A Teeuw mengatakan bahwa suatu ciri khusus perkembangan kesusastraan itu sebagian sejalan dengan gerakan nasionalis. Menurut dia, bahasa sangat efektif dalam pergerakan nasionalis, maka sastra sebagai seni yang menggunakan media bahasa benar-benar memiliki peran politis dan budaya yang amat besar.

Tak heran jika kemudian Hans Bague Jassin membagi angkatan sastrawan berdasarkan peristiwa sosial politik yang terjadi di negeri ini. Di mulai dengan angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru sebelum kemerdekaan, kemudian dilanjutkan dengan angkatan 45, 66, 70, 80, 90, dan seterusnya.

Ibnu kurang setuju dengan pembagian angkatan yang dibuat oleh Jassin. Menurutnya, sebuah angkatan seharusnya memiliki perbedaan secara estesika dengan angkatan sebelumnya dan hal itu tidak terlihat pada pembagian yang dilakukan Jassin.

Selain itu, penulis kumpulan puisi Masih Bersama Musim ini melihat, gejolak sosial politik yang dijadikan dasar oleh Jassin untuk melakukan pembagian angkatan kurang relevan. Seharusnya pembagian dalam sastra didasarkan pada nilai-nilai intrinsik sastra itu sendiri. "Contohnya seperti karya-karya Taufik Ismail, apakah secara gaya bahasa menonjolkan keberadaan tahun-66? Saya rasa tidak," ujar Ibnu.

Pria yang sempat mengenyam pendidikan di Monash University, Melbourne, Australia ini memberikan contoh pembagian angkatan sastra di Eropa, di mana perubahan baru terjadi setelah ratusan tahun. "Jassin terlalu tergesa-gesa, angkatan tak mungkin tecipta hanya dalam jangka waktu dua puluh tahun," kata pria kelahiran Ampel, 24 Juni 1958 ini.

Rekan Ibnu sesama pengajar di FIB UI, Maman S Mahayana mengatakan, pembagian angkatan sastra yang dilakukan Jassin tidak seluruhnya salah. Menurut Maman, kesalahan Jassin terletak pada angkatan 1966, di mana Jassin tak hanya memasukkan nama sastrawan yang turut serta pada pergerakan-66 tetapi juga memasukkan sastrawan angkatan 50-an.

Berbeda dengan Ibnu, Maman menilai, peristiwa sosial politik relevan digunakan untuk membagi angkatan dalam sastra. "Apakah gerakan sosial politik itu menghasilkan sebuah karya estetik yang berkaitan dengan peristiwa tersebut," kata Maman.

Baik Ibnu maupun Maman sepakat bahwa Angkatan Pujangga Baru merupakan gerakan yang dapat menunjukan sebuah dinamika perubahan secara signifikan. Di mata Ibnu, motor penggerak Angkatan Pujangga Baru seperti Sutan Takdir Alisyabana, Armyn Pane dan Sanusi Pane berhasil memunculkan pembaruan. "Mereka secara sadar membentuk sebuah mahzab," ujar Ibnu.

Tak lagi seksi

Setiap generasi tentu berbeda-beda dalam menterjemahkan makna kepahlawanan dalam karya sastra. Seperti pada zaman setelah perang, puisi bukanlah Puspa Mega (Sanusi Pane) melainkan Deru Campur Debu, bukan Gamelan Jiwa (Armijn Pane) melainkan Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus.

Ibnu mengatakan, perubahan pemahaman itu juga terjadi pada era reformasi. Saat ini puisi kepahlawanan tak lagi bercerita mengenai perjuangan fisik, melainkan kritik sosial terhadap persoalan di sekitarnya.

Menurut dia, puisi juga lebih sering mengangkat tokoh-tokoh tak dikenal, namun memiliki sumbangsih terhadap bangsa. "Pahlawan tidak lagi bertolak pada sebuah peristiwa politik besar, melainkan cerita sederhana yang terdapat pada kehidupan sehari-hari," kata Ibnu.

Ia memberikan contoh, petugas penjaga pintu kereta api yang tetap bekerja di saat hampir semua orang libur di Hari Raya. "Sebenarnya penyair dapat mengangkat hal-hal kecil menjadi sesuatu yang menarik seperti pada film Nagabonar Jadi 2," tutur pria yang sempat menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.

Perubahan tersebut tak bisa dilepaskan dari perdebatan panjang tentang siapa yang layak menyandang gelar pahlawan. Apakah seseorang yang meninggal karena penindasan atau menjadi korban ketidakadilan dapat serta merta disebut pahlawan?

Tak dapat dipungkiri, seiring berputarnya roda zaman, tema-tema kepahlawanan mulai ditinggalkan. Mungkin masih ada satu dua puisi, tetapi jumlahnya sangat minim bila dibandingkan dengan puisi bertema alam, religi atau cinta. "Mungkin tema tersebut tak lagi dianggap seksi, kita juga tak bisa memaksa penyair kita untuk membuat puisi dengan tema kepahlawanan," kata Ibnu.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 24 Agustus 2008

No comments: