Tuesday, August 19, 2008

Kebudayaan: Bukti Sejarah Bisa Saja Terselip di Buku

-- Andreas Maryoto

KETIKA telah lelah membaca buku, sebenarnya Anda ingin segera menutupnya. Akan tetapi, saat hendak menutup buku, Anda pasti tak ingin lupa halaman atau alinea terakhir yang Anda baca. Kemudian, Anda mencari benda apa pun untuk menandainya agar tak tersesat apabila kelak ingin meneruskan membaca. Saat itu, Anda mungkin tak sadar jika benda yang Anda selipkan bisa bermakna pada kemudian hari.

Etiket minum obat radang tenggorokan atau obat batuk bermerek Ababdijsirop ditemukan di salah satubuku terbitan tahun 1930-an. (KOMPAS/ANDREAS MARYOTO)

Setidaknya hal ini yang ditemukan Kompas ketika mencari buku-buku lama di pasar buku lama Kota Medan, Sumatera Utara. Saat membeli berbagai buku yang umurnya puluhan tahun, berbagai benda yang terselip di buku berhasil ditemukan. Selipan buku itu menjadi bermakna ketika umurnya puluhan tahun. Pemiliknya pun sudah pasti lupa dan mungkin tidak peduli saat menaruh benda itu terakhir kalinya.

Sebuah etiket minum obat radang tenggorokan atau obat batuk bermerek Abdijsiroop ditemukan di salah satu buku terbitan 1930-an. Etiket ini sangat menarik karena ditulis dalam empat bahasa dan empat huruf, yaitu huruf Latin berbahasa Indonesia, huruf Jawa berbahasa Jawa, huruf China berbahasa Mandarin, dan huruf Arab berbahasa Arab.

Melihat ejaan bahasa Indonesia yang digunakan, etiket ini dibuat sebelum tahun 1947. Ejaan yang digunakan adalah Ejaan van Ophuijsen. Salah satu cirinya adalah penggunaan ”oe” untuk ”u”. Sejak Ejaan Soewandi yang diluncurkan tahun 1947, huruf ”oe” tidak dipakai lagi. Berdasarkan berbagai lelang botol obat ini di Belanda (sudah tergolong barang antik), obat ini diperkirakan dipasarkan antara tahun 1925-1950.

Etiket Abdijsiroop ini menjadi menarik karena merupakan produk pertama di Indonesia yang menggunakan gambar muka orang (tokoh) dalam label dan iklannya. Hal itu setidaknya diungkapkan kalangan periklanan di Indonesia. Sekarang, produk ini sepertinya tidak ada lagi di Indonesia. Akan tetapi, di Belanda, produk ini masih bisa ditemukan di apotek. Produk ini masih diproduksi oleh perusahaan bernama Alfaco.

Kajian sosiologis etiket ini menarik. Etiket dengan empat bahasa dan empat huruf jarang ditemukan di berbagai tempat di Indonesia. Apabila etiket ini ditemukan di Sumatera Utara, kemungkinan besar karena pasar di tempat itu sangat heterogen, berasal dari berbagai suku bangsa, sehingga membutuhkan ”jembatan” agar fungsi obat dan cara meminumnya bisa dipahami banyak kalangan. Meski demikian, dugaan ini masih sangat prematur dan bisa diperdebatkan.

Sekadar untuk membayangkan isi etiket itu, inilah sedikit kutipan, ”Kalau orang djadi toea orang loedakan lender lebih maka, dengan makan ABDIJSIROOP ini lender itoe dilepaskan dengan gampang dan djoega kekerasan batoek itoe dikoerangkan”. Sangat unik!

Benda lain

Benda lain yang terselip di buku-buku lama itu adalah soal ujian sekolah menengah umum tingkat atas tahun 1954. Sangat boleh jadi benda ini merupakan soal ujian tertua yang masih bisa ditemukan. Benda ini terselip di sebuah kamus stensilan bahasa Jawa Kuno terbitan tahun 1950-an. Soal yang dibuat oleh Kementrian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan (PPK) di bagian atas tertulis ”Udjian Penghabisan Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas, Tahun 1954, Bagian: A (Sastera)”.

Ujian itu dilaksanakan pada Senin 14 Juni 1954 pukul 10.30 sampai 12.00. Ujian ini untuk mata pelajaran Bahasa Jawa Kuno. Soal ujian hanya satu, yaitu menerjemahkan teks bahasa Jawa Kuno yang diambil dari Kitab Adiparwa (semacam prosa pada zaman Mataram Hindu atau sekitar abad ke-9-10) ke dalam bahasa Indonesia. Panjang teks yang diujikan ”hanya” lima alinea.

Apabila anda ingin mencoba ujian tersebut, silakan menerjemahkan sebagian dari soal ujian itu: ”Mangkana ling sang Dyoh, sangke sih nira mapriya, lumampah ta sang Prabhata sumyang I wwang sanaknya kabeh, inalap nira sang Nandini”.

Dari sepenggal soal ujian tersebut, kita bisa membayangkan kualitas lulusan siswa SMA saat itu. Sepertinya lulusan sarjana strata satu jurusan Sastra Jawa di perguruan tinggi saat ini pun kesulitan untuk menerjemahkan teks itu. Dari soal ujian itu, kita jadi mafhum kualitas pendidikan saat itu.

Kalau kemudian lulusan sarjana saat itu sangat mumpuni di bidangnya, sangatlah wajar. Sangat tidak mengherankan lulusan sarjana strata satu saat itu bisa langsung mengambil studi doktoral, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pembagian pencabangan pilihan studi sejak SMA dengan membagi bagian A (Sastra Budaya), B (Ilmu Pasti), dan C (Ekonomi) pada masa itu juga memperlihatkan ilmu-ilmu humaniora masih dihargai. Para pelajar memilih kepandaian sejak masa studi di bangku sekolah menengah tanpa melihat pilihan ini lebih baik dari pilihan itu.

Kartu komplain

Benda berikutnya yang terselip di buku-buku lama itu adalah kartu komplain Hotel Indonesia, Jakarta. Kartu ini makin bernilai sejarah setelah Hotel Indonesia direnovasi dan kini akan berganti nama menjadi Hotel Grand Indonesia. Hotel Indonesia yang diresmikan oleh Presiden Soekarno tanggal 5 Agustus 1962 itu dibangun untuk keperluan Asian Games IV. Saat itu, Hotel Indonesia membanggakan dirinya dengan menyebut sebagai ”An Intercontinental Hotel”.

Melihat ejaan yang digunakan, kartu komplain itu diperkirakan masih menggunakan Ejaan Soewandi atau sebelum Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). EYD diresmikan penggunaannya pada tahun 1972. Dengan demikian, kartu komplain itu dibuat antara tahun 1962-1972.

Sebagian isi kartu komplain itu, ”Tetamu Jang Terhormat, Pengurus Hotel Indonesia akan sangat menghargai komentar, kritik, dan saran2 mengenai tjara mendjalankan hotel ini. Kerap kali kami dapat berhubungan langsung dengan tiap tamu setjara korespondensi sematjam ini, dan menggunakan pandangan-pandangannja untuk memperbaiki pekerdjaan Hotel Indonesia”.

Dari kalimat itu, kita bisa meneliti evolusi penggunaan kata-kata dalam istilah perhotelan. Penggunaan ”pengurus” sekarang sudah digantikan dengan ”manajemen”. ”Mendjalankan” diganti dengan ”mengoperasikan”.

Kartu komplain ini mengharuskan para tamu menulis komplainnya dengan menyebut nama dan nomor kamar. Sekarang, cara seperti ini sudah tidak dipakai lagi. Kalau saja ada hotel yang menyediakan kartu komplain, tamu cukup memberi tanda silang terhadap pelayanan yang diberikan oleh hotel. Hal ini juga menjadi bukti perlunya efisiensi waktu dalam pelayanan kepada tamu sehingga konsumen tidak repot lagi.

Kartu pos

Benda lain yang mungkin banyak terselip di buku adalah kartu pos. Kartu pos ini biasanya diselipkan oleh mereka yang hobi membaca buku di dalam perjalanan. Kartu pos hotel yang bisa didapat gratis dan umumnya bergambar menarik menjadi pembatas buku yang sering digunakan.

Adalah tidak salah bila pemilik buku yang menyelipkan kartu pos Hotel Indonesia, yang masih berwarna hitam putih, tergolong dalam kelompok orang yang senang membaca dalam perjalanan. Di sisi lain, orang ini boleh dibilang berpunya saat itu karena mampu tinggal di hotel.

Kartu Pos Hotel Indonesia yang juga diperkirakan dibuat antara tahun 1962-1972 itu memperlihatkan sisi depan hotel tersebut yang kemungkinan diabadikan oleh seorang fotografer dari seberang hotel, tepatnya di depan Wisma Nusantara. Lalu lintas Jakarta terlihat sangat sepi. Mobil masih sangat langka. Salah satu kendaraan yang terlihat menonjol adalah VW Combi.

Di dalam kartu pos ini tertulis ”The last word in comfort and luxury in distinctive setting of Indonesia charm and hospitality. Fully Airconditioned”. Pendingin ruangan adalah barang yang masih langka dan mahal sehingga perlu ditegaskan di kartu pos ini sekaligus mempromosikan kemewahan.

Benda-benda itu memang tidak memberi informasi mengenai peristiwa-peristiwa sejarah yang besar. Akan tetapi, benda-benda ini memberi informasi sisi-sisi lain kehidupan sehingga terlihat lebih berwarna.

Meski demikian, sangat mungkin suatu saat anda bisa menemukan sebuah sejarah besar yang terselip di buku, misalnya kartu anggota partai terlarang, coretan tokoh terkenal, ataupun surat-surat penting yang terkadang diselipkan seseorang di buku.

Setidaknya hal ini pernah terjadi di sebuah universitas di Belanda ketika seorang mahasiswa menemukan corat-coret di sebuah kertas yang diselipkan di sebuah buku. Penemuan itu menjadi heboh karena diduga corat-coret itu milik seorang tokoh penting yang usianya ratusan tahun.

Sumber: Kompas, Selasa, 19 Agustus 2008

1 comment:

Darojatun said...

nah, itu kadang memang lagi mbaca sakit kepala minum obat yang kebetulan memang obat yang sudah tren sejak jaman sebelum-sebelumnya. :)