-- Udo Z. Karzi*
SUDAH lama memang saya bertanya-tanya, adakah sastrawan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Teman-teman bilang ada. Namun, siapa, tidak ada yang bisa menyebutkannya.
Sama saja ketika Temu Sastra se-Kalteng, 18 Juli 2008 lalu, Kepala Kantor Bahasa Kalteng Puji Santoso menyebutkan Kalteng baru memiliki tiga sastrawan yang dikenal publik. Lagi-lagi saya tidak menemukan nama.
Menurut Puji Santoso, apresiasi masyarakat yang rendah terhadap sastra di Kalteng menyebabkan daerah ini sangat minim menghasilkan sastrawan dan karya sastra bermutu.
Warga kurang meminati karya sastra. Alasannya, karya sastra tidak mampu menghasilkan nilai ekonomi yang dibutuhkan warga sehari-hari. Sebagian besar warga Kalteng yang hidup masih miskin dan tersebar di berbagai daerah pedalaman, menyebabkan sastra sulit berkembang di daerah itu.
Ada yang salah? Kepala Kantor Bahasa Kalteng menuding media massa kurang mendukung perkembangan sastra di Kalteng. "Media massa seharusnya ikut bertanggung jawab melestarikan sastra
dengan menyediakan ruang khusus atau kolom sastra. Saat ini baru beberapa media saja yang telah memberikan apresiasi untuk ini," jelasnya.
Ah, argumen yang terlalu materialistik. Saya sungguh heran jika persoalan sastra terkait dengan persoalan kaya-miskin.
Kita lihat kantong-kantong sastra di tanah air: Medan, Sumatera Barat, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Lampung untuk menyebutkan beberapa tempat. Saya kira bukan persoalan tempat-tempat itu penduduknya sudah makmur-makmur, sehingga mereka dapat membuat karya sastra dan mencetak sastrawan.
Tanpa harus bertanya kepada Biro Pusat Statistik, Kalteng toh bukan provinsi yang terlalu miskin dibandingkan dengan, katakanlah Provinsi Lampung yang masih menjadi provinsi termiskin kedua di Sumatera. Tadinya, nomor satu sebelum digeser Nangroe Aceh Darussalam (NAD) pasca tsunami tahun 26 Desember 2004.
Saya ambil contoh Lampung karena saya tahunya cuma Lampung. Kemiskinan, penganguran, daerah terisolir, dan masalah sosial lain masih mendera provinsi ujung Pulau Sumatra ini. Tapi, sastra memang tidak terkait dengan kaya-miskin, sehingga Lampung dikenal sebagai 'negeri penyair'.
Bahkan, sastrawan Djadjat Sudradjat dalam sebuah acara Temu Penyair Lampung sempat mengatakan, di tengah berbagai masalah sosial-ekonomi-politik yang mendera, nama Lampung diselamatkan oleh sastrawan (penyair). Pengamat sastra tanah air mengakui pertumbuhan syair (dan penyair) di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai ini sangat pesat. Saat ini, puluhan penyair tinggal dan pernah tinggal di provinsi ini.
Kalimantan sendiri sudah melahirkan beberapa nama sastrawan seperti Odhie's, Yusach Ananda, dan Korrie Layun Rampan. Yang terkini, ada Pay Jarot Sudjarwo dan Hasan Aspahani.
Saya juga heran, dari nama-nama itu hampir tidak ada (untuk mengatakan memang tidak ada) yang berasal dari Kalteng. Karena kemiskinan? Ah, saya malah berpikir kemiskinan dan juga masalah sosial justru bisa menyuburkan sastra. Bukankah kemiskinan (asal bukan miskin jiwa) justru membuat orang lebih kreatif?
Memang, perlu 'situasi kondusif' yang memungkinkan lahirnya kreativitas (karya sastra dan sastrawan) untuk kemudian terus-menerus dipupuk agar subur dan berkembang baik. Situasi seperti ini (pesatnya perkembangan sastra) memang tidak lahir begitu saja. Harus ada yang tanpa lelah menjadi lokomotif yang menggerakkan sekaligus menjadi inspirasi.
Media massa sebagai salah satu sarana bisa juga membantu mendorong ke arah itu. Bagaimana pun media juga membutuhkan karya-karya sastra yang berkualitas.
Entah, siapa yang mau memulainya. Dan, harus dari mana dimulai. Saya hanya mau pasang pengumuman.
Dicari: Sastra(wan) Kalteng!
* Udo Z. Karzi, Seorang penikmat sastra, sementara ini tinggal di Pangkalan Bun
Sumber: Borneonews, Senin, 4 Agustus 2008
Baca juga: Sastra di Kalteng Sulit Berkembang
No comments:
Post a Comment