Saturday, August 02, 2008

Rendra, "Bangsa Kita Kian Terpuruk Dihantam Utang dan Korupsi"

Bangsa ini seperti dadu
terperangkap dalam kaleng utang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa
tanpa kita berdaya melawannya.
Semua terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan
di jaman penjajahan


TUJUH larik puisi di atas dipetik dari puisi Maskumambang karya penyair Rendra. Puisi tersebut ditulis pada 4 April 2006 lalu di Cipayung Jaya Depok Jawa Barat. Puisi yang ditulis sebelum gerakan reformasi digulirkan, yang berhasil menumbangkan kekuasaan Soeharto itu, sangat kontekstual dengan keadaan bangsa dan negara kita saat ini yang kian hari kian terpuruk oleh utang negara yang kian bengkak dan kian memar oleh tindak pidana korupsi yang dilakukan sejumlah oknum wakil rakyat dan oknum abdi negara yang kian menjadi-jadi di berbagai lapisan instansi pemerintah.

Berkaitan dengan itu, Rendra mengatakan bahwa gerakan reformasi yang terjadi di negeri ini secara esensial ternyata tidak menghasilkan apa-apa selain menghasilkan koruptor-koruptor baru dan utang negara yang kian bengkak. Ini benar-benar menyedihkan. Mereka yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru sebagian kecil dari kalangan koruptor kelas teri.

"Kelas kakapnya masih gentayangan di luar sana," ujar penyair Rendra dalam percakapannya dengan penulis, Sabtu (12/7) malam di Kafe dan Butik Eksplora Jln. Kliningan Raya No. 1 Bandung.

Apa yang dikatakan Rendra memang tidak salah. Dalam beberapa bulan terakhir, rakyat di negeri ini dengan mata kepala sendiri melihat lebih dari satu oknum anggota DPR aktif yang diduga melakukan tindak pidana korupsi ditangkap KPK.

Pertanyaannya sekarang adalah seberapa banyak lagi oknum anggota DPR yang akan ditangkap KPK? Banyaknya anggota DPR aktif yang ditangkap KPK, kata Rendra lebih lanjut, menunjukkan bahwa jalannya pembangunan di negeri ini tidak serius dilakukan mereka yang diberi amanah oleh rakyat.

Mental buruk abdi negara suka menerima suap, tidak hanya terjadi di zaman sekarang . Di zaman raja-raja ketika berkuasa pun demikian adanya. Malah pada saat itu, tak jarang penguasa lokal yang tamak bekerja sama dengan para penjajah menangkap rakyat yang berpikiran kritis, yang menolak terjadinya pengisapan atas mereka yang dilakukan para penjajah dan penguasa tamak itu. Tak aneh kalau dalam bait-bait berikutnya dari puisi tersebut di atas Rendra menulis,

Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum juga mencontoh tatanan penjajahan Menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatanYang berdaulat hanya pemerintah dan partai politik.
O, comberan peradaban
O, martabat bangsa yang kini compang-camping…

Puisi tersebut memang ditulis pada 2006 lalu, tetapi realitas sosial, poitik, dan ekonomi yang melanda bangsa ini tidak berubah sejak zaman raja-raja hingga zaman Orde Reformasi. Buktinya, rakyat tetap miskin, korupsi kian marak, utang negara kian bengkak, dan harga-harga kian mahal, kian tak terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selain itu, tindak kekerasan pun kian meningkat pula di negeri ini yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat. Ini terjadi, kata Rendra, masih dalam puisi tersebut,

Karena politik tidak punya kepala
tidak punya telinga. Tidak punya hati
Politik hanya mengenal kalah dan menang
Kawan dan lawan
Peradaban yang dangkal.

Meskipun hidup berbangsa perlu politik
Tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia

Namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama
di dunia
harus menjaga daulat hukum alam
daulat hukum masyarakat
dan daulat hukum akal sehat

"Pendeknya hukum di negeri ini harus benar-benar ditegakkan. Para koruptor dari berbagai kalangan harus disikat hingga ke akarnya, demikian juga para pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Terus terang saya sedih melihat keadaan kita sekarang ini, yang pada satu sisinya begitu mudahnya pemerintah kita didikte dan bahkan dikonsepsi oleh bangsa-bangsa asing. Harga bahan bakar minyak (BBM) terus naik dan kita tak berdaya menolaknya. Kita harus waspada dalam menghadapi situasi yag demikian itu yang menyebabkan perekonomian kita kalang kabut dibuatnya. Ini artinya ada yang tidak beres di situ," jelas Rendra yang pada 26 Juli lalu menyelenggarakan diskusi pembangunan ekonomi dengan basis kepentingan bangsa, di rumahnya, Jln. Raya Cipayung Jaya 36 Kampung Rawa Pancoran Mas Depok Jawa Barat. Begitulah, hidup di negeri ini ternyata tidak mudah. Adakah saat ini partai-partai politik yang kini manggung benar-benar memperhatikan nasib rakyat. Kita berharap demikian? (Soni Farid Maulana/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 2 Agustus 2008

No comments: