Sunday, August 10, 2008

SIPN XII dan Masyarakat Baru

SIMPOSIUM Internasional Pernaskahan Nusantara XII (SIPN XII) telah berakhir 5 Agustus 2008 lalu. Pertemuan rutin tahunan para peneliti naskah kuno (filolog) ini digelar sejak 4-5 Agustus 2008, di Grha Sanusi Hardjadinata, Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan diikuti puluhan filolog dari dalam dan luar negeri. Sejatinya sebuah simposium, kegiatan ini diisi dengan sederet persidangan yang mengetengahkan hasil kajian para filolog terhadap naskah-naskah kuno nusantara dengan benang merah tema "Manfaat Naskah untuk Masyarakat", dengan pertimbangan hasil penelitian dan kajian naskah-naskah nusantara belum tersosialisasikan kepada masyarakat luas. Isi teks naskah sebagai hasil pola pikir masyarakat masa lalu sesungguhnya mengandung banyak hal kontekstual yang dapat dimanfaatkan masyarakat masa kini.

Selain itu, simposium ini pun merupakan momentum pencerahan terhadap masyarakat luas tentang keberadaan naskah-naskah nusantara yang tersebar, baik di dalam dan luar negeri maupun yang masih tersebar di masyarakat. Dengan demikian, masyarakat makin memahami pentingnya penyelamatan naskah-naskah nusantara sebagai sumber nilai budaya bangsa.

Namun sungguh sangat klise, sehari sebelum simposium yang batal dibuka Menbudpar karena berhalangan hadir ini, sudah "ditohok" oleh kasus rencana penjualan 500 naskah kuno asal Cirebon milik perseorangan bernama Nyimas. Parahnya, kasus ini ternyata bukan hal baru. Hampir sebagian besar filolog mengakui, di setiap daerahnya kerap terjadi penjualan naskah kuno terhadap pihak asing.

Menurut filolog Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Tedi Permadi, S.S., M.Hum., pernah terjadi borong naskah dua truk oleh pihak asing saat berlangsung Festival Istiqlal, beberapa tahun lalu. Pihak asing yang paling sering membeli naskah kuno asal Indonesia adalah Malaysia dan Brunei Darussalam.

Sementara itu, menurut filolog Leiden University, Suryadi, Malaysia memang sedang mencanangkan perubahan budaya untuk 200 tahun mendatang. "Makanya berani jor-joran mengeluarkan anggaran untuk memperkaya khazanah budaya mereka. Dari 4.000 teks yang terdapat di Islamic Art Museum Malaysia (IAMM), saya yakin beberapa di antaranya merupakan naskah asli Indonesia," ujar Suryadi.

Hal ini diakui peneliti Universitas Sebelas Maret, Solo, Asep Yudha Wirajaya. Filolog ini memaparkan makalahnya yang berjudul "Fitoterapi dalam Khazanah Naskah Melayu: Sebuah Kajian Antropolgi Kesehatan" yang merupakan kajian dari naskah berjudul "Hikmat Obat Melayu". Naskah tersebut ditulis dalam aksara Arab Melayu dalam bahasa campuran antara Jawa, Sunda, dan Melayu. Tetapi naskah itu diperolehnya dari seorang dosen di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).

Persoalannya, bukan pada siapa atau negara mana yang membeli naskah-naskah ini. Tetapi bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap kekayaan intelektual bangsa kita pada masa lalu?

Tambahan lagi, kehidupan sudah sangat materialistis. Pola pikir masyarakat lebih berorientasi kepada uang, kebendaan. Segala apa pun yang bernilai jual, lebih baik dilelang. Apalagi masyarakat juga tidak pernah tahu isi dan kandungan naskah tersebut. Jangankan mengetahui isi, bahasanya saja tidak dimengerti.

Di lain soal, dari hasil-hasil kajian filologi belum ditemukan wujud sinerginya dengan ilmu-ilmu lain. Padahal dari kajian antropologi kesehatan atas naskah "Hikmat Obat Melayu" (HOM) yang dilakukan Asep Yudha Wirajaya membuktikan, sejak lama manusia menggunakan tumbuhan dan bahan alam lain sebagai obat untuk mengurangi rasa sakit, menyembuhkan, dan mencegah penyakit tertentu, mempercantik diri, serta menjaga kondisi badan agar tetap sehat dan bugar.

**

DARI catatan sejarah diketahui bahwa fitoterapi atau terapi menggunakan tumbuhan telah dikenal masyarakat sejak masa sebelum masehi. Hingga saat ini, penggunaan tumbuhan atau bahan alam sebagai obat tersebut dikenal dengan sebutan obat tradisional. Khusus untuk pengobatan penyakit naturalistik, biasanya digunakan bahan-bahan dari tumbuhan (herbal medicine) dan hewan (animal medicine), atau gabungan keduanya. Sementara untuk penyakit personalitik banyak digunakan pengobatan dengan ritual dan magi.

Selain obat, HOM juga memaparkan tentang asal usul penyakit. Penyakit juga dapat disebabkan terganggunya keseimbangan tubuh karena unsur-unsur tetap dalam tubuh seperti panas dingin dan sebagainya. Kajian tentang ini disebut kajian natural atau nonsupranatural.

Dipaparkan pula tentang keberadaan tabib. Tabib lokal menurut naskah tersebut, masih dapat dijumpai meskipun jumlahnya tidak banyak. Mereka melaksanakan praktik pengobatan dengan menyediakan ramuan dengan bahan alam yang berasal dari bahan lokal.

Ilmu ketabiban sering diperoleh dengan cara bekerja sambil belajar kepada tabib yang telah berpraktik. Di beberapa kota, telah dapat dijumpai pendidikan tabib berupa kursus yang telah dikelola dengan baik dan diselenggarakan oleh tabib tertentu. Pada umumnya, selain pemberian ramuan, para tabib juga mengombinasikannya dengan teknik lain seperti metode spiritual/agama atau supranatural.

HOM menggambarkan dunia kesehatan dan sistem pengobatan pada masa lalu. Namun sungguh sangat ironis, naskah tersebut sudah tidak ada di Indonesia. Padahal sejumlah negara maju justru sedang ramai-ramainya mencari formula baru bentuk pengobatan yang bersumber dari alam.

Masyarakat kini seolah menyadari bahwa obat tradisional yang telah dikenal dan dipraktikkan sejak beribu tahun lalu itu tidak kalah hebat daripada obat modern. Kalau dulu, kesembuhan suatu penyakit hanya bergantung pada pengobatan dokter dan seolah-olah kata-kata dokter seperti sebuah "aturan yang tak terbantahkan serta mutlak harus dituruti", maka kenyataan itu kini mulai bergeser.

Hal sama berlaku pada konsep dan tata ruang. Hasil kajian I Wayan Suardiana dari Universitas Udayana Bali dalam makalah yang berjudul "Klasifikasi Pepohonan dan Kegunaannya serta Pelestarian Lingkungan dalam Teks Aji Janantaka".

Teks "Aji Janantaka", menurut Wayan merupakan teks tutur yang intinya dimaksudkan agar selalu diingat oleh sekalian umat manusia demi keharmonisan antara Sang Pencipta, ciptaannya, dan lingkungannya. Konsep ini merupakan cikal bakal dari filosofi Tri Hita Karana di Bali. Terselamatkannya alam dari berbagai bencana bila masyarakat mampu mengharmonisasikan konsep Tri Hita Karana tersebut. Salah satu aspek nyata adalah pemahaman yang holistik bagi masyarakat tentang penanaman pohon sesuai dengan manfaat gunanya bagi kehidupan itu sendiri. Artinya, bila pohon telah memiliki nilai guna secara religius, nilai-nilai yang lainnya akan senantiasa terpenuhi. Teks "Aji Janantaka" telah membuktikan bahwa semakin tinggi fungsi religius suatu pohon kayu maka semakin tinggi pula nilai ekonominya. Selanjutnya, semakin memiliki nilai ekonomis, semakin banyak pula pohon itu dipelihara masyarakat.

Implikasinya terhadap alam juga menampakkan hubungan yang semakin harmonis, sebab, alam lestari bila masyarakat menanam pohon (terutama pepohonan keras) yang seimbang dengan kebutuhan lingkungan. Dengan demikian, ekosistem akan berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Persoalannya sekarang, bagaimana hasil kajian para filolog ini dapat bersinergi dengan ilmu-ilmu lain di luar ilmu teks agar bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Untuk satu hal ini, para filolog menghendaki adanya kerja sama antara para peneliti di bidang budaya, kesehatan, obat-obatan, lingkungan, maupun kemasyarakatan. Termasuk dengan para pengusaha yang bergerak di bidang industri.

Sementara itu, untuk potret Indonesia yang kian karut-marut, tampaknya kita harus menyimak paparan filolog Mamlahatun Buduroh dari Universitas Indonesia dengan makalahnya yang berjudul, "Drama Jati: Sastra Religi dalam Khazanah Kesusastraan Jawa dan Sunda".

Kasus kerusuhan Ambon dan Poso merupakan kasus yang menyita perhatian bangsa Indonesia, bahkan warga dunia, menyangkut masalah yang konon dipicu oleh perbedaan keyakinan. Dalam skala lebih kecil, kita juga sering dibuat miris oleh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Seolah-olah para pelaku tindakan tersebut tidak peduli bahwa mereka adalah sesama makhluk yang punya hak untuk hidup yang sama.

Pada naskah "Darmajati" dari Sunda berisi uraian nasihat berupa pokok-pokok pedoman hidup manusia, kebaikan dan menjauhkan larangan. Suruhan kebaikan berupa perintah untuk bertobat dari perbuatan dosa dan melakukan sembah kepada Sang Hyang.

Sementara nasihat dalam bentuk larangan adalah jangan iri dengki terhadap orang lain, jangan membiasakan berburuk sangka, jangan mencuri, menipu, mabuk-mabukan, mengancam, mengejek, membunuh orang lain, berutang tak mau membayar, suka marah, berkata kotor dan melanggar janji, menganiaya kaum agama, melakukan tipu muslihat, mempermalukan orang lain, dan memutuskan persaudaraan.

Realisasi tindakan nilai universal dalam kebersamaan yang diliputi berbagai perbedaan, menurut Buduroh, memang bukan hal yang mudah. Namun, sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa nilai religius yang sama, bukan agama yang sama, dapat menjadi dasar pergaulan antarsuku bangsa dan menunjukkan puncak kearifannya. Seperti halnya nilai-nilai religius yang terkandung dalam teks "Darmajati", memperlihatkan kesatuan prinsip dalam kemajemukan agama di Pulau Jawa pada masa silam.

Menurut catatan Dr. Titik Pudjiastuti, mantan Ketua Manassa, dari 40 peserta lebih SIPN XII, hampir setengahnya merupakan "muka-muka" baru. Bahkan, dalam rekomendasinya, SIPN XII akan membuka website agar keberadaan naskah kuno nusantara dapat dibaca dan memperkaya mata batin masyarakat yang kini berada di kampung yang sama, kampung dunia maya.

Semoga saja semua upaya ini akan lebih memberi "roh" yang melandasi kehidupan kekinian yang terus berubah. Sebuah masyarakat baru yang berpijak pada teks yang sesuai dengan konteks. (Eriyanti/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 9 Agustus 2008

No comments: