-- Bandung Mawardi*
KONDISI politik Indonesia mulai masuk dalam dunia kata dan imajinasi. Perdebatan dalam wacana pemimpin tua dan muda menjadi ramai dengan sekian pernyataan politik dalam konstruksi bahasa imajinatif. Puisi menjadi pilihan untuk merumuskan pemikiran atas konsep kekuasaan dengan pertimbangan efek estetika dan sosial-politik.
Berita mengejutkan muncul dari Tifatul Sembiring (Presiden PKS) yang membacakan "Mega Pantun" di Bandung (Senin, 2 Agustus 2008) untuk memberi tanggapan balik dan tantangan pada Megawati Soekarnoputri. Pantun itu lahir dari tegangan perdebatan politik mengenai pemilihan presiden 2009 dalam konteks kaum muda dan kaum tua. Kehadiran pantun itu menjadi sesuatu yang unik dan menggelitik sebab tradisi politik Indonesia sejak Orde Baru selalu terkungkung dalam bahasa-bahasa formal dan retorika kaku.
Tifatul Sembiring mengungkapkan bahwa pembacaan pantun itu untuk merespons semua capres. Tifatul dengan eksplisit hendak mengambil posisi beda dari perdebatan panas antarcapres dengan pernyataan-pernyataan politis. Penempatan pantun sebagai hiburan tentu menjadi fenomena menarik dalam perpolitikan Indonesia. Tifatul memberi kesadaran kritis bahwa dalam arus dan alur politik Indonesia membutuhkan hiburan. Hiburan itu dalam pengertian Tifatul adalah pantun politik.
Inilah petikan pantun politik dari Tifatul Sembiring: Anak balita bertopi merah / Topi terbuat dari bahan katun / Daripada ibu jadi pemarah / Lebih baik kita berbalas pantun // Jadi pemimpin mesti telaten / Sambangi rakyat yang tak berbaju / Kalau ibu nak jadi presiden / Monggo kerso silakan maju // Buat apa pergi ke seberang / Airnya susu banyak berbatu / Buat apa melarang orang / Dah terbayang kursi RI satu. Apa pantun ini patut dibaca dan sekadar ditafsirkan sebagai hiburan? Tifatul Sembiring memang genit untuk masuk dalam perdebatan politik yang penuh godaan dan risiko untuk wacana pilihan presiden 2009. Pantun itu lebih dari sekadar hiburan sebab ada substansi mengenai ide, kritik, dan kepentingan politik.
Mengapa Tifatul memilih bentuk pantun? Pertanyaan ini patut diajukan untuk mengetahui peran pantun itu dalam konteks estetika dan politik. Pantun memang memiliki sistem longgar untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran. Pantun dengan konvensi-konvensi estetika (sampiran dan isi) memungkinkan seseorang dengan lihai memainkan bahasa dan imajinasi. Tifatul dengan canggih memilih bentuk pantun itu untuk pengungkapan terbuka dengan tingkat sensitivitas politik yang tinggi. Pantun mungkin jadi juru bicara ampuh untuk Tifatul ketimbang dia membaca teks pidato atau menulis risalah politik untuk publik. Pantun satu sisi menjadi representasi pandangan politik dan di sisi lain menjadi kesadaran estetis pemain politik untuk sadar bahasa dan imajinasi.
Fenomena puisi (pantun) masuk politik memang sesuatu yang masih ganjil untuk konteks Indonesia. Ignas Kleden (Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, 2001) mengingatkan bahwa puisi dan politik berada dalam ambivalensi yang sama. Puisi dan politik berjumpa dalam serba kemungkinan. Ignas Kladen memberi suatu pemahaman historis bahwa politik mulai zaman Bismarck adalah seni kemungkinan (the art of the possible) dan puisi mulai zaman Aristoteles adalah dunia kemungkinan (the wordl of the possible). Pembayangan Ignas Kleden atas kondisi Indonesia adalah politik sebagai seni kemungkinan bisa menemukan dirinya kembali dalam puisi sebagai dunia kemungkinan.
Pantun politik Tifatul adalah lanjutan dari fragmen politik mutakhir. Kesadaran estetika dan imajinasi dalam lakon politik Indonesia mulai eksplisit melalui iklan-iklan politik dan agenda-agenda politik-kebudayaan. Fenomena mengejutkan mulai kentara pada penampilan iklan politik Sutrisno Bachir (Ketua Umum PAN) menjelang puncak peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Iklan politik itu eksplisit menghadirkan kesadaran estetika dengan pemakaian referensi puisi "Diponegoro" dari Chairil Anwar. Kutipan penting untuk roh iklan politik itu: "Sekali berarti, sudah itu mati."
Ungkapan itu menjadi acuan untuk interpretasi politis: "sekali berarti" adalah sebuah penegasan bahwa esensi kehidupan adalah perbuatan, kehendak untuk mencipta, dorongan untuk memberi yang terbaik, serta semangat untuk menjawab tantangan zaman. Tafsir itu hendak mencitrakan sosok dan pandangan Sutrisno Bachir mengenai kondisi Indonesia. Sutrisno Bachir lalu dengan taktis memakai ungkapan "hidup adalah perbuatan" sebagai aporisma politik yang estetis dan imajinatif dalam konteks politik. Iklan politik itu jadi bukti kontribusi Sutrisno dalam konstruksi politik Indonesia mutakhir dengan referensi puisi Chairil Anwar dan kesadaran atas imajinasi politik.
Pencitraan Sutrino Bachir dalam iklan politik merupakan realisasi dari kerja sama dengan tim produksi dari Rizal. Sentuhan-sentuhan estetika itu mungkin berasal dari Rizal untuk memberi karakteristik kuat dan implikatif. Iklan politik itu memang sanggup menjadi pusat perhatian publik dan memberi kesan progresif dalam penggarapan iklan sesuai dengan wacana kebudayaan visual mutakhir. Iklan politik dengan referensi puisi mulai mendapatkan perhatian besar dari pemain politik dan publik.
Kesadaran estetis dan imajinasi politik pun kentara dalam iklan politik Rizal Mallarangeng yang memutuskan untuk maju sebagai calon presiden. Aporisma terkenal dari Rizal adalah "If there is a will there is a way" (Jika ada kemauan, selalu ada jalan terbuka). Rizal dengan sadar memilih karakter estetik untuk menjadi jembatan dalam komunikasi dengan publik. Kesadaran itu mulai mengesankan kekuatan dan identitas intelektual dalam pemakaian bahasa Inggris. Rizal cenderung menampilkan diri sebagai sosok intelektual yang patut untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Pemakaian bahasa Inggris itu mungkin terasa paradoks dengan kondisi masyarakat literasi Indonesia yang terbiasa masuk dalam wacana politik dengan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris memang belum lazim untuk jadi pilihan komunikasi politik dengan publik.
Citra intelektual Rizal mungkin pengaruh selama studi dan menjadi pengajar di Amerika Serikat. Pengaruh itu semakin kentara dengan referensi puisi yang dihadirkan Rizal dalam advertorial di koran nasional. Advertorial dengan judul "Surat buat Semua" mencantumkan kutipan puisi dari penyair Robert Frost dari Amerika. Proses atau jalan politik yang ditempuh Rizal dalam perpolitikan Indonesia ingin menemukan pembenaran dengan acuan ungkapan terkenal dari Robert Frost: "This is a road less-traveled bay". Rizal dengan kutipan puisi itu membayangkan bahwa ada pertemuan imajinasi dan kondisi riil dalam politik Indonesia.
Sutrisno Bachir dan Rizal Mallarangeng memosisikan diri sebagai pemain dengan referensi puisi. Posisi itu berbeda dengan Tifatul Sembiring yang berani menjadi pemain dengan pantun politik. Tifatul memang selama ini tidak dikenal sebagai penyair, tetapi kehadiran pantun politik itu membuktikan kesanggupan dan kesadaran Tifatul bahwa politik butuh imajinasi atau permainan bahasa yang estetis. Pemain (capres) lain yang belum tampil terbuka dengan iklan politik atau puisi adalah M. Fadjroel Rachman dan Ratna Sarumpaet. M. Fadjroel Rachman memang seorang penyair, esais, dan novelis. Kompetensi sastra itu itu belum jadi juru bicara ampuh dalam komunikasi politik meski Fadjroel Rachman sebelum pencalonan diri sudah menerbitkan buku kumpulan puisi Catatan Bawah Tanah (1993) dan Sejarah Lari Tergesa (2004). Ratna Sarumpaet sebagai seniman yang intens dalam teater dan sempat mengurusi Dewan Kesenian Jakarta juga belum hadir dengan puisi untuk komunikasi politik dengan publik.
Politik Indonesia menjadi ramai dan imajinatif dengan puisi. Pemakaian bahasa dengan bentuk puisi bisa melawan (menandingi) kodifikasi bahasa politik Indonesia yang selama ini cenderung kaku, formal, dan prosais. Politik menjadi pelangi dan reflektif karena puisi memberi hak untuk sekian interpretasi dengan tegangan teks dan realitas. Begitu.***
* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut (Solo)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment