Sunday, August 10, 2008

Apresiasi: Tidur di Korea, Mimpi Saya Berbahasa Indonesia

-- Binhad Nurrohmat*

AHA, bahasa Indonesia amat setia menghuni tubuh saya dan saya tak bisa mengusirnya sebagaimana bahasa Indonesia tak bisa menghalau tubuh saya. Tubuh saya adalah tubuh berbahasa Indonesia di manapun saya berada. Bahasa Indonesia jadi artikulasi kultural tubuh saya.

Sekarang tubuh saya berada di Seoul, Republik Korea. Tapi bahasa tubuh dan bahasa pikiran saya masih berbahasa Indonesia, saya kira demikian juga teman saya dari Yogyakarta, Doktor Faruk namanya, yang sejak setahun silam tinggal dan mengajar bahasa Indonesia di universitas di Korea. Di dalam tubuh saya maupun tubuh Doktor Faruk bersemayam bahasa Indonesia.

Prof. Koh Young Hun berbahasa Indonesia bila berbicara dengan saya, tapi dari caranya berbahasa Indonesia yang bagus sekalipun tak bisa mengecoh saya bahwa dia orang Korea. Tak terelak, kata dan tata bahasa hanya sebagian unsur dari kompleksitas unsur pembentuk bahasa. Bahasa merupakan hasil pergulatan panjang masyarakat dan kebudayaannya, sehingga bahasa niscaya memancarkan kepelikan identitas atau spirit kebudayaan tertentu. "Sidik jari" kebudayaan masyarakat ditampakkan oleh bahasanya.

Migrasi tubuh saya ke Korea memang meninggalkan kamus bahasa Indonesia di rak buku saya di Indonesia, tapi di dalam tubuh saya masih bercokol bahasa Indonesia. Di Korea, saya sering mengucapkan annyong haseyo atau kamsa hamida yang sesungguhnya masih sebagai terjemahan dari bahasa Indonesia untuk mengucapkan "selamat pagi" atau "terima kasih". Saya tak "merasa" mengucapkan dua ungkapan berbahasa Korea itu, saya sebatas menerjemahkannya.

Saya tak bisa merasa benar-benar marah atau merayu, kecuali dengan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan kerumunan bunyi dan kode yang telanjur merasuki tubuh saya, bahkan kerap "mengalahkan" daya rasuk dan artikulasi bahasa daerah (bahasa ibu) saya sendiri. Begitu merasuknya, sehingga meski saya tidur di Korea, bahasa di alam mimpi saya masih berbahasa Indonesia. Saya terharu, bahasa Indonesia selalu terjaga di dalam tubuh saya.

Tinggal di Korea tak mengubah kesibukan utama tubuh saya, yaitu puisi berbahasa Indonesia. Diam-diam, bahasa Indonesia mempertahankan tubuh saya dari kemungkinan-kemungkinan perubahan. Lantaran bahasa Indonesia, kehidupan Korea tak mengubah tubuh saya jadi sibuk bekerja di pabrik celana dalam atau di bar tari telanjang.

Di Korea, tubuh saya tetap berkutat dengan dunia bahasa Indonesia, sebagaimana kesibukan tubuh saya di Indonesia. Bahasa dan aksara Korea masih jadi makhluk asing yang menghuni lembaran buku paspor dan alien card Korea saya. Saya bisa membaca aksara Korea, Hangul namanya, seperti memecahkan barisan sandi rahasia.

Di Korea saya sempat mengobrol berjam-jam di rumah makan Korea bersama sastrawan dan aktivis politik Republik Korea terkemuka, Hwang Sok Yong namanya. Pengarang yang pernah dinominasikan meraih Hadiah Nobel ini menulis novel berbahasa Korea dan laku jutaan eksemplar di negerinya.

Hwang kadang berbicara dalam bahasa Inggris di sela-sela bahasa Korea. Dia dikawal penerjemah yang tangkas menerjemahkan bahasa Korea ke bahasa Inggris. Hwang pengarang yang girang dan friendly yang membuat saya kerap terbahak dan merasa akrab seperti sahabat lama.

Hwang bercerita dia menerima informasi bahwa bahasa Indonesia tak mengenal perubahan bentuk waktu. Yang dia maksudkan adalah dalam bahasa Indonesia penanda waktu tak melekat di dalam kata kerja seperti tenses dalam bahasa Inggris (did atau doing) atau tashrif dalam bahasa Arab (fa'ala atau yaf'ulu) untuk mengatakan "saya sudah melakukan" (past tense atau fi'il madli) atau "saya sedang melakukan" (continuous tense atau fi'il mudlorik).

Menurut Hwang, waktu lampau, kini, dan masa depan sama saja dalam bahasa Indonesia. Saya tergelitik serta tersenyum mendengar ceritanya. Saya menjelaskan perkara itu di tengah obrolan itu, bahwa bentuk waktu dalam bahasa Indonesia ditunjukkan oleh kata keterangan waktu, misalnya "dulu", "sekarang", dan "akan".

Di kereta subway, dalam perjalanan pulang dari pertemuan itu, saya berpikir: apakah tubuh saya mengenal perubahan bentuk waktu, seperti bahasa Inggris atau bahasa Arab?

Pertumbuhan tubuh saya kini sudah berhenti, sehingga meski saya melahap makanan sebergizi apa pun tak membuat tulang-belulang di tubuh saya bertambah panjang. Pagi, siang, sore, dan malam hari, tubuh saya sama saja tingginya, juga 10 tahun nanti. Pagi, siang, sore, dan malam hari, tak membuat tubuh saya berubah seperti berubahnya jarum jam. Tubuh saya bukan arloji. Tapi saya kira bahasa Indonesia dalam tubuh saya terus tumbuh, meski tubuh saya nanti lenyap tertelan tanah.

Tubuh saya dan bahasa Indonesia yang bersemayam di dalamnya tersekap dalam gerbong kereta yang melaju menyusuri lorong subway bersama orang-orang Korea yang menyimpan bahasa mereka di dalam tubuhnya. Tubuh kami saling berjejal dan berimpit, seperti bahasa-bahasa berdesakan di planet bumi. Dalam gerbong kereta Korea itu, saya berpikir dan berimajinasi dalam bahasa Indonesia. Orang-orang Korea dalam kereta sibuk menulis SMS dan menerima telepon dalam bahasa Korea. Dunia hiruk oleh kerumunan bahasa.

Hai, adakah bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau penerjemah dalam kereta Korea?

Penerjemahan sebuah bahasa ke bahasa lain bisa jadi upaya yang mengandung risiko "pengkhianatan atau penyimpangan" secara kebudayaan dan lebih khusus secara kebahasaan. Apakah "assalamu'alaikum" bisa diganti secara persis dengan "selamat pagi", misalnya? Secara kebahasaan, perkara yang pernah disorong oleh Gus Dur ini bisa problematis, tapi "analog kultural"-nya bisa dimengerti.

Muslim Indonesia bersembahyang dan berdoa dalam bahasa Arab, sebuah bahasa yang barangkali sering dibaca dan dihapal luar kepala tanpa dimengerti artinya. Apakah Allah swt., Tuhan kaum muslim, hanya mengerti bahasa Arab? Sesungguhnya, semua bahasa adalah ciptaan manusia, Tuhan tak bikin secuil pun kosakata atau pun tata bahasa. Tuhan pun tak mengeluarkan firman agar manusia memakai bahasa tertentu dalam sembahyang.

Manusia berbeda dengan Tuhan, dan saya sedang membicarakan manusia dan bahasanya. Tanpa penerjemahan, bahasa bisa menjadi biang "pemutus" antarmanusia yang berbeda bahasa. Untunglah, bahasa Inggris jadi bahasa banyak dipakai di dunia sehingga bisa menjadi "penghubung" antarmanusia yang berbeda bahasa.

Saya belajar bahasa Korea di Korea dan dengan pengajar orang Korea, tapi bahasa pengantarnya dalam bahasa Inggris. Saya bisa "putus" hubungan dengan kehidupan dan manusia Korea jika saya tak mengerti bahasa Korea, setidaknya mengalami hambatan karenanya.

Di stasiun subway Korea yang sibuk dan rumit jalurnya, saya pernah jadi alien yang tak bisa bertanya, bahkan kepada orang Korea yang duduk di samping saya. Bahasa Inggris bukan bahasa publik bagi masyarakat Korea, apalagi bahasa Indonesia. Penyelamat saya adalah bahasa bahasa tubuh atau "bahasa Tarzan".

Betapa sunyi dunia tanpa bahasa, betapa saya kesepian tanpa bahasa. Tanpa bahasa, dunia yang kita huni bersama ini sulit diungkapkan maknanya. Tapi betapa pikuknya dunia kini oleh bahasa-bahasa. Ah, adakah telinga yang sanggup mendengar dan mengerti semua bahasa?

Manusia menciptakan bahasa-bahasa dan sekaligus banyak berhutang padanya. Tanpa bahasa, bisakah manusia di dunia ini saling menyapa dan menyatakan cinta?

* Binhad Nurrohmat, Penyair, pemuka Majelis Kata Indonesia dan Bale Sastra Kecapi. Selama paro kedua tahun ini tinggal di Seoul, Republik Korea.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Agustus 2008

1 comment:

dima said...

bahasa, memang hal paling rumit ... Tapi dalam sholat q tetap berbahasa arab sebagai kewajiban dan pemersatu umat :).
dalam tidur q, aq berbahasa jawa sebagai mana bahasa ibu q, bahasa indonesia sebagaimana bahasa nasional q dan berbahasa inggris sebagai bahasa ketiga q, bahasa arab...dalam sebagian doa q.
aku pernah mengucapkan ke empat bahasa tersebut dalam mimpi q :)
mungkin tuhan tak menciptakan bahasa secara langsung tapi q percaya tuhan menciptakan 1000an bahasa melalui manusia2 yang diciptakan tiada serupa sekalipun anak kembar :)