-- Jafar Fakhrurazi*
SELAMA tahun 2007, rubrik "Khazanah" Pikiran Rakyat telah memuat kurang lebih 30 cerpen. Jumlah yang mampu menggambarkan bagaimana eksistensi dan konsistensi sastra koran di Jawa Barat. Keberadaan cerpen koran tersebut tentunya akan lebih berarti bagi perkembangan sastra kita jika direspons para kritikus sastra. Akan tetapi, melakukan kajian atau kritik sastra di koran, kita tak mungkin melakukannya secara komprehensif dan tak mungkin menjadikan keseluruhan cerpen sebagai objek kajian.
Secara umum, cerpen-cerpen "PR" yang ditampilkan pada tahun 2007 banyak mengambil tema seputar kehidupan masyarakat, seperti masalah identitas manusia, keluarga, interaksi sosial, serta kehidupan remaja. Dari sekian cerpen yang termuat, ada yang menarik untuk dikaji pembaca, yaitu cerpen-cerpen yang entah disengaja atau tidak, membahas sosok laki-laki dengan segala macam problem eksistensinya. Hal itu bisa kita lihat pada cerpen "Anak Bapak" karya Damhuri Muhammad, "Bapak" (Mumpuni D.H.), "Jalan-jalan Minggu" (Pidi Baiq), "Lelaki tanpa Wajah" (Arman A.Z.), "Muksa" (Hermawan Aksan), "Haji" (Joni Ariadinata), "Lelaki Penjaga Gerbang" (Salman Rusydie A.R.), dan "Ramadhan Ayah" (Teguh Winarsho A.S.).
Disadari atau tidak oleh pengarangnya, cerpen-cerpen tersebut sangat beraroma gender. Cerpen-cerpen tersebut banyak bercerita tentang persoalan eksistensi laki-laki dalam konteks relasi/interaksi dengan perempuan yang sampai hari ini masih banyak mencerminkan konflik. Pada cerpen-cerpen tersebut para cerpenis menawarkan konsep lain tentang laki-laki. Di sana, sosok laki-laki digambarkan sebagai sosok yang lemah, kalah, dan sumber masalah. Sebuah kritik tentunya bagi kaum Adam yang selama ini diposisikan lebih tinggi dari perempuan sebagaimana yang berkembang dalam diskursus feminisme. Itu pula yang barangkali dianggap sebagai pokok perlawanan gerakan feminisme. Uniknya, cerpen-cerpen itu sebagian besar dikisahkan oleh pengarang laki-laki. Apakah ini representasi kelompok laki-laki yang mendukung gerakan feminis?
Cerpen "Anak Bapak" karya Damhuri Muhammad menceritakan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi konflik, mulai dari konflik suami istri yang diakibatkan berbagai macam perbedaan pandangan; mulai dari cara mendidik anak sampai perbedaan penghasilan suami isteri. Konflik tersebut tanpa disadari memengaruhi kejiwaan dan perilaku anak. Tokoh bapak yang tidak memiliki pekerjaan itu dilukiskan oleh pengarang sebagai pribadi yang mengalami krisis identitas. Karena si istri yang bekerja, lalu tokoh bapak dilukiskan sebagai ibu atau istri yang harus melakukan kerja-kerja seorang istri seperti mengasuh anak dan menetekkan susu.
Fenomena istri yang bekerja melebihi suaminya baru kita jumpai dewasa ini. Wanita karier, adalah sebuah dekonstruksi atas realitas yang berlaku dalam masyarakat konservatif termasuk sistem patriarki.
Cerpen Damhuri ini tidak hanya membuka realitas kekinian, tetapi juga mencoba melakukan gugatan terhadap pandangan-pandangan maskulinisme. Hal itu ditunjukkan dalam cerpen dengan lebih radikal lagi, di mana dalam krisis identitas seorang bapak, pengarang menggunakan imajinasi yang sangat berlebihan dengan cara mendeskripsikan perubahan fisik bapak menuju fisik perempuan. Tiba-tiba payudaranya tumbuh dan menetekkan susu pada bayi.
"Lalu gundukan daging kedua belah dada bapak berangsur-angsur mengembang. Seperti ada yang bergerak dan menyentak hendak menyembul keluar, hingga kedua bulatannya menegang dan membesar serupa balon ditiup pelan-pelan. Begitu juga putingnya, makin mekar. Montok serupa buah kelimunting matang. Kenyal dan setengah basah."
Dengan bahasa yang verbal dan erotis, pengarang mencoba memberikan penguatan suasana dan karakter agar tokoh bapak yang menjadi ibu secara psikologi kuat. Dengan demikian, tokoh bapak sudah betul-betul merasa jadi seorang ibu.
Selanjutnya, dalam cerpen "Bapak" karya Mumpuni D.H. Cerpen itu mengisahkan penderitaan seorang anak perempuan yang ditinggalkan orang tuanya. Ibunya meninggal karena sakit, sedangkan bapaknya sudah lama kabur. Dalam cerpen itu, tokoh bapak diceritakan sebagai lelaki hidung belang, padahal ia seorang guru yang seharusnya menjadi teladan. Cerpen itu juga menohok perjodohan yang diterapkan orang tua pada anaknya sehingga membuat ketidakharmonisan hubungan keluarga.
Hal yang sama juga diceritakan Joni Ariadinata dalam cerpen "Haji", sosok laki-laki yang bergelar haji pun ternyata memiliki penyakit masyarakat, sebutlah doyan kawin atau poligami. Sedangkan Teguh Winarsho A.S., dalam cerpen "Ramadhan Ayah" bercerita tentang tokoh ayah yang disesalkan anaknya lantaran perilakunya yang buruk, amoral, dan tidak agamis.
Dalam empat cerpen itu, semua pengarang melakukan gugatan terhadap laki-laki. Dalam sebuah sistem patriarkhi, laki-laki ditempatkan dalam status sosial yang lebih tinggi di atas perempuan. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab atas kelangsungan biduk rumah tangga. Maka, segala tanggung jawab tersimpan di pundak suami. Namun apa yang terjadi dewasa ini, banyak laki-laki yang tak berdaya menghadapi beban berat itu. Dalam cerpen itu, laki-laki dituntut atas kegagalannya menjadi poros keluarga.
Sebenarnya jika dikontekskan dengan hari ini, cara pandang tersebut masih merepresentasikan cara pandang masyarakat awam di daerah. Sebab, masyarakat terpelajar di perkotaan sudah tak lagi banyak mempersoalkan status. Namun, setidak-tidaknya keempat cerpenis tersebut telah mampu mengungkap problem sosial yang masih kerap terjadi di masyarakat.
Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu term psikoanalisis yaitu the law of the father yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992), salah seorang feminis sosialis, patriarki adalah relasi hierarkis antara laki-laki dan perempuan di mana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurut dia, patriarki adalah suatu relasi hierarkis dan semacam forum solidaritas antarlaki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow (1992), perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan mendukung laki-laki untuk menolak feminitas dan untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan.
Dari pemahaman tersebut, sistem patriarki dalam cerpen-cerpen itu dimunculkan dalam bentuk kritik terhadap eksistensi laki-laki. Diceritakan bahwa sosok laki-laki adalah manusia yang berperilaku buruk, seperti berjudi, mabuk, selingkuh, tidak agamis, dan segala kenakalan sosial lainnya. Atau dalam cerpen "Lelaki Penjaga Gerbang", laki-laki juga disebut sebagai orang yang kalah. Pemberian stigma negatif terhadap laki-laki disebabkan oleh keyakinan patriarki itu sendiri, akibatnya laki-laki yang dianggap gagal dan tidak berdaya dalam melakukan tugasnya akan menjadi masalah bagi keluarga.
Itulah cara pandang laki-laki terhadap dirinya, ini sangat berbeda dengan wacana yang berkembang di dunia sastra feminis hari ini. Di mana dalam perlawanannya terhadap dominasi patriarki, perempuan tidak harus menjadikan laki-laki sebagai sasaran tembak, tetapi lebih menempatkan tubuh perempuan sebagai pusat kegelisahan. Konflik gender pun kurang dipandang sebagai konflik sosial, tetapi lebih pada konflik fisik dan psikologis. Dalam analisisnya, Freud menyebutnya sebagai sisa-sisa kecemburuan terhadap penis (residual of penis envy), sebagai dampak dari tidak adanya penis di tubuh perempuan sehingga membuat perempuan menjadi narsis serta memfokuskan pada fisik sebagai daya tarik agar dicintai laki-laki. Apa yang ditulis oleh pengarang perempuan hari ini adalah salah satu contoh krisis itu. Kendati demikian, gugatan terhadap laki-laki, bagaimanapun bentuknya adalah sebuah representasi zaman postmodernisme yang berusaha menolak narasi-narasi besar dan lebih bertendensi dalam memproduksi suara-suara lemah. Dalam cerpen-cerpen itu tampak jelas bahwa pengarang berupaya menyaringkan suara-suara kecil perempuan yang selama ini terkubur dalam oleh tirani sistem. ***
* Jafar Fakhrurazi, Pegiat sastra.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 16 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment