Bandung, Kompas - Kearifan lokal astronomi masyarakat Indonesia semakin dilupakan karena dianggap merepotkan dan tidak sesuai perkembangan zaman. Padahal, kearifan lokal semula dijadikan pegangan dan tuntunan hidup masyarakat.
Menurut Guru Besar Antropologi Sosial Universitas Padjadjaran Kusnaka Adimihardja, Selasa (26/8), di sela-sela rangkaian acara Olimpiade Internasional Astronomi dan Astrophysic (IOAA), kearifan lokal astronomi Indonesia semakin dilupakan dan dianggap kuno. Padahal, kearifan lokal astronomi seringkali tetap relevan apabila dilakukan dengan cara yang tepat.
Kusnaka memberi contoh dalam dunia pertanian. Dulu petani memperhitungkan tanda-tanda astronomi untuk mulai menanam hingga panen sehingga hasilnya sangat baik. ”Sekarang hanya berpikir, bagaimana bisa panen sebanyak-banyaknya,” ujarnya.
Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Soepardiono Sobirin mengatakan, kearifan lokal astronomi banyak dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam.
Menurut Sobirin, orang-orang zaman dulu sudah bisa melakukan pengaturan air menghindari banjir atau kekeringan. Mereka sudah memperhitungkan waktu tepat melakukan aktivitas pertanian. Salah satu contoh ketika melihat lintang waluku atau lintang layang-layang. Mereka yakin hanya menanam padi saat lintang waluku atau musim hujan datang. Alasannya, banyak air yang bisa didapatkan petani.
Namun, pada saat musim kemarau, mereka tidak memaksakan menanam padi karena yakin tidak mendapat air. Bukti itu mengatakan, mitos dan keyakinan seperti itu digunakan sebagai kontrol sosial bagi masyarakat. Mereka diajari tidak rakus sekaligus peduli daya tahan alam.
Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Marsono, mengatakan, bangsa Indonesia telah mengenal sistem astronomi sejak abad I Masehi lewat sistem tahun Saka yang merupakan perpaduan dari akulturasi Jawa dengan agama Hindu dan Buddha.(CHE)
Sumber: Kompas, Rabu, 27 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment