Sunday, August 03, 2008

Wacana: Sastra Islam dan Kearifan Lokal

-- Sofie Dewayani*

SAAT menghadiri silaturahmi nasional Forum Lingkar Pena (FLP) di Depok, beberapa waktu lalu, saya tertegun oleh semangat yang meluap dari penjuru nusantara. Semangat ini diusung oleh sosok-sosok muda dengan mengarungi laut, bermalam di bus antar kota, hingga menaiki helikopter untuk mencapai kota besar terdekat. Tak tersembunyi oleh kantuk dan penat, energi maha dahsyat ini terpaut bukan oleh kepentingan politik atau uang, melainkan oleh keinginan berkarya dan mencipta.

Anak-anak muda itu terus-terang melontarkan keinginannya untuk belajar menulis, atau sekadar berfoto bersama dan mengoleksi tanda tangan penulis-penulis yang dikenalnya. Belum pernah saya saksikan, setidaknya di Indonesia atau Amerika Serikat, semangat bening yang mengalir deras tak terkontaminasi oleh iming-iming materi atau jabatan.

Setelah sekian lama menggeliat, sastra Islam semakin melembaga. FLP yang dulu diikrarkan di ibu kota Jakarta, kini menghunjamkan cakarnya di seluruh pelosok nusantara bahkan manca negara. FLP tak hanya menjadi lembaga yang besar secara kuantitas, namun juga kaya oleh keragaman.

Multikultural
Berbicara tentang sastra dan semangat multikulturalisme, kita tak bisa mengabaikan internalisasi dan reproduksi budaya dalam proses berkarya. Karya tidak tercipta dalam ruang vakum, menurut Bakhtin, melainkan dilahirkan oleh sebuah dialog. Karya adalah produk ideologis, hasil pergulatan batin penulis, yang merupakan responnya terhadap ideologi atau situasi tertentu.

Dengan kata lain, karya terakumulasikan dari sebuah pengalaman batin, pengalaman lahir, dan pengalaman nalar penulis. Karena pengalaman personal ini sangat spesifik dan bertalian erat dengan konteks budaya, sudah selayaknya apabila sebuah karya bukan hanya mencerminkan keunikan individu, namun juga menggambarkan bagaimana seorang 'memproduksi' budayanya.

Budaya tidak lagi dikenal sebagai lingkungan luar (outer layer), atau pola hidup yang terlembaga dalam etnisitas yang mempengaruhi individu. Budaya telah lama dikenal sebagai sesuatu yang dinamis dan organik, sebuah jejaring yang dipintal sendiri oleh manusia (Clifford Geertz, 1969).

Dengan perspektif ini, multikulturalisme tidak saja dimaknai sebagai ruang yang mengakomodasi beragam cara pandang dan cara hidup, tetapi juga ruang yang menghargai subyektifitas manusia dalam memaknai, menafsirkan, dan menciptakan sebuah pemahaman baru dalam pengalaman budayanya.

Interpretasi keislaman pun merupakan bagian dari jejaring pengalaman budaya ini. Keberislaman bukan merupakan tindakan pasif seseorang dalam menerima nilai-nilai, melainkan merupakan upaya produksi dan reproduksi ketika seorang muslim atau muslimah secara aktif memaknai identitas diri, pengalaman budaya dan keislamannya. Keberislaman, dengan demikian merupakan suatu proses yang aktif, unik, dan tidak bisa dipisahkan dari konteks berbudaya.

Sebagai karya yang tercipta dari dialog kontekstual seperti ini, fiksi Islami seharusnya tampil dengan individualitas yang unik dan banyak wajah. Multikulturalisme dalam sastra Islam selayaknya memberi ruang kepada penerjemahan keislaman dalam konteks budaya yang beragam.

Ironisnya, sastra Islam, setidaknya fiksi Islami, masih tersaji dalam tema, gaya penyampaian, dan format fiksi yang seragam. Penyajian ini dikemas dalam budaya populer yang menjadikan genre atau tema tertentu sebagai kiblat penulisan karya. Penulis karya Islami berbondong-bondong menggarap tema yang diprediksi akan diserap dengan cepat oleh pasar. Hal ini tentunya bukan perilaku yang tabu.

Trend perbukuan adalah hal yang jamak bahkan di negara yang budaya literasinya sudah mapan seperti Amerika Serikat. Satu hal yang terabaikan dalam fenomena ini adalah terabaikannya dialog reflektif dalam proses kreatif. Menulis menjadi aktivitas terburu-buru untuk merespons selera pasar perbukuan. Yang sering terjadi adalah, pasar cepat jenuh oleh tema dan gaya penyajian yang relatif seragam, sedangkan selera pasar berubah dengan kecepatan yang tak terduga.

Ayat-ayat Cinta adalah salah satu contoh dialog antara pengalaman personal dan konteks budaya yang dituangkan dalam novel relijius yang unik. Terlepas dari jalan cerita yang bagi banyak kritikus sangat utopis dan tak realistis, novel ini menyajikan perspektif seorang muslim minoritas terhadap keyakinan dan praktek keislaman yang membudaya di sebuah negara Timur Tengah.

Orisinalitas novel ini terletak pada upaya aktif beberapa tokoh utama untuk melakukan reinterpretasi terhadap budaya Islam yang dominan. Kritik Aisha terhadap perlakuan tak adil yang diterima oleh seorang turis non-muslim di dalam kereta menjelaskan hal ini.

Prestasi Ayat-ayat Cinta seketika diikuti secara latah oleh terbitnya buku-buku bertema cinta dengan latar belakang negara-negara Timur Tengah atau setting lain yang eksotik. Sayangnya, dialog multikultural antar beragam pemahaman Islam tidak tereproduksi dengan baik. Banyak penulis yang sekadar memindahkan nama dan jalan cerita kepada setting tertentu tanpa diikuti oleh upaya riset mendalam terhadap keunikan budaya lokal.

Fenomena aktual lain adalah merebaknya kisah fiksi epik sejarah yang juga direspons dengan cukup baik oleh pasar. Buku-buku ini menyajikan kisah petualangan dalam setting sejarah tertentu yang sayangnya, tidak digarap dengan riset yang serius. Dalam genre populer, bahkan tak sedikit penulis yang memindahkan gaya bertutur, penokohan, dan plot khas ibukota ke dalam karya berlatar daerah.

Kenyataan ini menegaskan tereduksinya muatan multikultural dalam karya sastra menjadi sekadar tempelan nama dan lokasi peristiwa tanpa pemahaman dan penafsiran terhadap budaya dan pengalaman "berbudaya" yang seharusnya sarat dengan konflik subyektifitas seseorang dengan lingkungan sosialnya.

Apabila menulis dimaknai sebagai sebuah dialog personal yang merupakan proses pengalaman berbudaya, seharusnya sastra Islam bisa tampil dalam kemasan kearifan lokal yang kental dan beragam. Menulis bukan sekadar kegiatan mengarang cerita (crafting the plot) melainkan sebuah proses interpretasi dan reinterpretasi penulis terhadap fenomena sosial di sekitarnya. Penulis selayaknya menajamkan intuisi sosial ini dan menajamkan kemampuan mengemasnya untuk memikat pembaca.

* Sofie Dewayani, Cerpenis dan pengamat sastra

Sumber: Republika, Minggu, 3 Agustus 2008

No comments: