Sunday, August 31, 2008

Oase Budaya: Surau

-- Arie MP Tamba

PROSA Indonesia menjadi ruang penelitian yang kaya dan mengasyikkan, tentang betapa besarnya pengaruh surau di dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Surau adalah sebuah tempat bersembahyang lima waktu (kecuali sholat Jum’at) umat Islam, yang lebih kecil dari masjid. Di pedesaan, keberadaan Surau demikian akrab dengan penduduk, karena di sana juga biasanya diadakan pengajian.

Adalah Kuntowijoyo, melalui cerpennya Sepotong Kayu untuk Tuhan (Horison, 1972), yang memperlihatkan secara eksplisit, bagaimana persoalan religiositas, agama, dan mistisisme disoroti di dalam jalinan kisah yang enak dibaca. Seorang lelaki tua ingin menyumbang kayu nangka (kayu bangunan yang paling mulia bagi orang Jawa) dari kebunnya untuk pembangunan sebuah surau di desanya.

Tapi si tokoh cerita bentukan Kuntowijoyo, demikian rendah hati, dan merasa malu bila sumbangannya untuk pembangunan rumah ibadah itu diketahui orang lain. Maka, ia pun sengaja menghanyutkan kayu itu malam-malam, melalui sungai yang akan melewati samping masjid. Diperkirakan, kayu itu nanti akan tersangkut di antara rimbunan semak tepi sungai di dekat masjid. Lalu, orang-orang desa pun akan menemukan kayu nangka itu dengan gembira dan bersyukur kepada Tuhan, karena mengirimkan gelondongan kayu yang sangat mereka butuhkan.

Dari sinilah religiositas sang tokoh dijabarkan secara samar namun matang. Religio berasal dari istilah Latin relego, yang berarti: memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan di kedalaman hati nurani. Sementara secara umum diartikan, manusia religios dengan aman dapat diartikan sebagai manusia yang berhati nurani serius, saleh, teliti dalam pertimbangan bathin. Jadi yang digarisbawahi adalah sebuah kualifikasi moral dan etik, yang diproyeksikan maksimal, bahkan sempurna; tanpa mempersoalan ia menganut agama yang mana (Mangunwijaya, 1982).

Sikap rendah hati si tokoh cerita dalam cerpen Kunto misalnya, bisa juga dipahami melalui pendekatan Kristiani yang menegaskan, ”apa yang kamu dermakan dengan tangan kirimu, kiranya janganlah diketahui tangan kananmu. Niscaya apa yang kau sumbangkan tetap tersembunyi, hanya diketahui oleh Tuhan.” Pilihan sikap pemberi seperti ini, tentu saja membutuhkan pertaruhan ketulusan penyerahan yang luar biasa. Setitik kesombongan pun harus dimusnahkan dari dalam hati.

Tapi, alam ternyata tak selalu bisa dibaca, dan suratan nasib tak bisa ditentukan. Di dalam kenyataan, dan juga di dalam fiksi, kejutan lazim terjadi. Apa yang sudah kita perkirakan secara ketat di dalam perencanaan hidup, hasilnya sering kali muncul berupa sesuatu yang lain. Acap kali, kita menjalani kenyataan hari ini, lari dari perkiraan kemarin. Lain sama sekali. Impian seperti rubuh tak berarti di atas kenyataan yang berbeda.

Pada malam pengiriman kayu nangka itu, terjadi hujan lebat dan kemudian diikuti oleh banjir. Di luar kelaziman selama berpuluh tahun, desa di tepi sungai itu pun kebanjiran. Dan tentu saja, kayu nangka kiriman si orangtua untuk pembangunan surau, hanyut entah ke mana. Desa itu seperti dilahirkan dengan persoalan baru: menunggu surutnya banjir, dengan bahan bangunan surau yang masih harus dicari.

Tapi si orangtua ternyata tidak merasa sedih karena kehilangan kayu nangkanya. Sebab, sebagaimana digambarkan Kuntowijoyo secara cemerlang dan mengharukan, di ujung cerpennya, terdengarlah gumam lirih, ”Telah sampai kepada-Mu-kah Tuhan?” kata lelaki tua itu tersenyum.

Dengan teknik penceritaan yang lebih di permukaan, namun tetap sarat renungan tentang makna agama dan fungsionalisasi surau di pedesaan, AA Navis pernah menuliskan sebuah cerpen yang kemudian mendapat sambutan diskusi para penggemar sastra, yakni Robohnya Surau Kami (Kisah, 1955).

Di dalam cerpen tersebut, AA Navis mempertemukan orang-orang yang bersalah dengan Tuhan dan menjadi pembicaraan ramai di kalangan agama. Di dalam ceritanya, Navis juga menyusun sebuah kisah dialog yang intens antara Tuhan dengan seorang haji bernama Saleh. Haji Saleh yang yang telah merasa cukup beribadah di surau itu, ternyata dimasukkan Tuhan ke neraka, karena kurang berbuat amal praktis di dalam hidupnya. Sebab, apalah arti agama bila tidak memuat kemanusiaan?

Tema religiositas memang melekat dengan kepengarangan Navis. Umar Junus di majalah sastra Horison (1972), pernah menyebut ”Navis dalam Dua Muka”, menyangkut isi kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami dengan Datangnya dan Perginya, dalam hubungannya dengan novel Kemarau yang merupakan ’gabungan’ persoalan dari kedua cerpen tersebut.

Ibadat harus disertai dengan pengolahan kehidupan. Itulah yang ditonjolkan cerpen Robohnya Surau Kami dan Datangnya dan Perginya. Sementara, dalam novel Kemarau, Navis seperti muncul dengan formalisme agama yang tertutup – sementara hal itu dibiarkan terbuka – dalam cerpen Datangnya dan Perginya.

Dalam Datangnya dan Perginya, dua kakak beradik yang tidak mengetahui sama sekali hubungan darah mereka, terlanjur jatuh cinta, menikah, dan dibiarkan hidup berbahagia oleh si pengarang. Orang-orang yang mengetahui persaudaraan itu, menutup mulut hingga akhir kisah.

Sementara di dalam Kemarau, dua kakak beradik yang terlanjur menikah, setengah mengetahui hubungan bersaudara mereka, kemudian memutuskan bercerai. Lalu, si pengarang membuka peluang bagi masing-masing tokoh memulai kembali hidup baru dengan rumah tangga masing-masing. Dan tentu saja, semua tokoh Navis itu, sedikit banyak bersinggungan dengan surau di tempat mereka.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 31 Agustus 2008

No comments: