JAKARTA, KOMPAS - Banyak benteng bersejarah di Indonesia tidak hanya belum terdata, tetapi juga belum dimanfaatkan. Permasalahan benteng tidak hanya fisik, tetapi juga sosial-ekonomi. Di balik fisik benteng yang sebagian sudah hancur dan rusak, sebenarnya memuat nilai-nilai penting yang perlu dilestarikan.
Hasil penelitian dari 170 benteng di kawasan Indonesia timur dipamerkan di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (29/8). Penelitian itu merupakan kerja sama Pusat Dokumentasi Arsitektur dengan Passchier, konsultan arsitek, serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. (KOMPAS/LASTI KURNIA)
Demikian benang merah yang mengemuka dalam seminar ”Masa Lalu dan Masa Depan 300 Benteng di Indonesia”, Jumat (29/8) di Museum Bank Indonesia, Jakarta. Seminar menghadirkan pembicara kunci Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat, ahli arkeologi dari Universitas Indonesia Mundardjito, ahli sejarah dan arkeologi Belanda Hans Bonke, planolog Bambang Eryudhawan dan Endy Subijono, arsitek konservasi Belanda Cor Passchier, serta pemerhati pelestarian dan pengembang ekoturism Ella Ubaidi.
Hari Untoro Dradjat mengatakan, ada 274 benteng di Indonesia dan sekitar 170 di antaranya berada di Indonesia bagian timur.
Bambang Eryudhawan yang meneliti tentang konsep pemanfaatan benteng di Indonesia timur mengungkapkan, pembangunan benteng erat kaitannya dengan potensi Indonesia timur pada masa lalu sebagai penghasil rempah-rempah. Benteng Oranje yang didirikan di Ternate tahun 1607 dan Benteng Victoria di Ambon tahun 1605 oleh kongsi dagang Belanda VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) adalah untuk menguasai dan mengendalikan perdagangan rempah-rempah di Maluku untuk dijual langsung ke Eropa.
”Pertumbuhan ekonomi Indonesia timur yang tertinggal dibanding wilayah lain di Indonesia menjadi salah satu kendala dalam pemanfaatan benteng-benteng kuno bernilai sejarah,” paparnya.
Mundardjito yang meneliti benteng-benteng dengan cara pandang arkeologi mengatakan, peneliti benteng perlu mengumpulkan data mengenai bentuk denah dan tampak bangunan beserta ukuran-ukurannya. Jika sebagian bangunannya hancur, arkeolog harus melakukan ekskavasi untuk mengetahui secara pasti bentuk denah bangunan dan ukurannya.
Menurut Mundardjito, penelitian mengenai benteng-benteng di Indonesia merupakan medan pertemuan setidak-tidaknya antara para arsitek, sejarawan, dan arkeolog. Sudah tentu para ilmuwan dari bidang lain dapat bergabung, seperti sosiolog, antropolog, ekonom, dan bidang ilmu lainnya. (NAL)
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment