Friday, August 01, 2008

Bentara: Menilik Komunikasi Belarasa

-- Alfons Taryadi*

SARAN P Ari Subagyo dalam ”Kesalehan Lingual” pada Kompas 28 Juni agar bangsa ini memendam kata-kata yang menebar permusuhan dan memicu kekerasan mencuatkan lagi di benak saya catatan atas berita: ”Adik Kakak Duel, Satu Tewas”(Pos Kota, 4/9/2007), ”Tawuran di LP, Satu Napi Luka Parah” (Kompas, 10/11/2007), ”Tawuran, 1 Siswa Tewas” (Kompas, 14/12/2007), ”LP Kesambi Cirebon Rusuh Satu Napi Tewas” (Kompas, 19/12/2007), ”Bentrok Antarkampung di Maluku Tengah, 2 Tewas” (Kompas, 4/2/2008). Empat dari lima insiden itu dironai saling ejek; satu dipicu caci-maki. Keprihatinan ini melatari pembacaan saya atas Marshall B Rosenberg, Nonviolent Communication A Language of Compassion (2001), yang memperlihatkan kelindan kata dengan kekerasan.

Dalam perang Vietnam, kata Fromm (Akar Kekerasan, 2001), tentara Amerika Serikat menjuluki orang Vietnam Gook ’tahi kuning’. Letnan Calley, tersangka penjagal sejumlah orang sipil Vietnam termasuk anak-anak di My Lai, dalam pengadilan menyatakan tak pernah diajari memandang tentara ”Viet Cong” sebagai manusia. Hitler menyebut musuh yang akan ia bunuh manusia tak berguna. Memang dunia Barat abad ke-20, yang dalam satu abad terakhir telah membangun kesejahteraan material lebih besar dari masyarakat mana pun, diragukan kesehatan mentalnya oleh Fromm (Masyarakat Yang Sehat, 1955). ”Namun, sementara itu,” katanya, ”kami berhasil membunuh jutaan penduduk kami dalam suatu rekayasa yang disebut ’perang’. Di samping perang kecil, kami membuat perang besar pada 1870, 1914, dan 1939. Selama perang itu setiap peserta dengan teguh percaya bahwa ia bertempur dalam pembelaan diri demi kehormatan atau dalam dukungan Tuhan.”

Teknologi telah membuka berbagai cara komunikasi baru. Semakin banyak manajer penjualan atau konsultan teknik memakai instant messenger untuk bertanya kepada bos mereka saat bertelepon dengan klien. Banyak manajer bangunan di Manhattan memakai perangkat lunak berbasis internet untuk mengelola bangunan mewah, mereparasi tempat cuci yang bocor di dapur bahkan saat penghuni sedang di luar negeri. Di Filipina, tentara pemerintah dan pemberontak di Moro saling menghina lewat SMS (Zweifel, Communicate or Die Mencapai Tujuan dengan Berbicara dan Mendengarkan, 2007).

Namun, aktivis perdamaian John Wallach bertanya, ”Apakah kita tengah memasuki era ketika kita tak lagi menyentuh atau merasakan orang lain? Akankah kita memanfaatkan teknologi baru ini untuk menjadi lebih dekat? Ataukah justru menjadi lebih jauh?” Pilihan kedualah yang ditemukan oleh Universitas Carolina Utara dalam riset tentang aktivitas tempat kerja: sikap kasar dan cuek kepada orang lain telah berkembang hingga ke tingkat tidak memikirkan orang lain. Seorang manajer berkata: ”Teknologi yang muncul menyingkirkan wajah manusia: mudah sekali ’membakar’ seseorang yang tak perlu Anda lihat.” (Zweifel, 2007)

Memberi dari hati

Pun dalam situasi dunia seperti itu, Rosenberg yakin bahwa secara alami manusia suka memberi dan menerima dalam belarasa. Itu sebabnya, ia sibuk dengan pertanyaan: apa yang menjauhkan manusia dari spirit belarasa? Apa yang membawanya ke arah perilaku keras dan eksploitatif? Kenapa orang tertentu tetap lekat dengan sifat belarasa mereka, pun di bawah situasi yang sangat menekan? Dalam mengamati faktor yang memengaruhi kemampuan orang tetap berbelarasa, ia terperangah oleh peran krusial bahasa dan kata-kata di dalamnya. Di situ ia mengidentifikasi pendekatan khas dalam aktivitas berkomunikasi yang menuntun orang memberi dari hati, mengaitkannya dengan diri sendiri dan seorang dengan yang lain dalam cara-cara yang memekarkan sifat alami belarasa. Pendekatan ini ia sebut komunikasi nonkekerasan, mengacu pada sifat alami belarasa saat kekerasan menyingkir dari hati seseorang. Pada sejumlah komunitas, proses yang digambarkan ini dikenal sebagai komunikasi belarasa. Singkatan NVC dalam buku itu mengacu ke nonviolent atau compassionate communication.

NVC berdasarkan keterampilan bahasa dan komunikasi yang memperkuat kemampuan kita tetap manusiawi. Tujuannya mengingatkan orang tentang apa yang telah ia ketahui: bagaimana manusia dimaksudkan saling terhubung dan saling bantu mengembangkan diri. NVC menuntun kita merumuskan ulang bagaimana mengungkap diri dan mendengar orang lain. Di sini kata-kata kita jadi respons sadar berdasarkan suatu kesadaran atas apa yang kita cerap, rasa, dan inginkan. Kita dituntun mengungkapkan diri jujur dan jelas, sekaligus memerhatikan orang lain penuh respek dan empati.

Setiap wicara tentu membawa kita mendengar kebutuhan kita sendiri dan kebutuhan orang lain. NVC melatih kita cermat mengamati serta mampu jelas dan definitif menyatakan perilaku dan kondisi yang memengaruhi kita. Kita belajar mengidentifikasi dan secara jelas merumuskan apa yang konkret kita inginkan dalam situasi tertentu. Bentuknya sederhana, tetapi amat kuat berdaya transformatif (Rosenberg, 3).

Karena NVC menggantikan pola lama kita membela dan menarik diri, atau melawan dalam konfrontasi dengan penilaian dan kritik, kita terbantu memersepsikan diri sendiri dan orang lain, semua intensi dan relasi kita, dalam terang baru. Resistensi, pertahanan diri, dan reaksi dengan manifestasi kekerasan diminimalkan. Saat berfokus memperjelas apa yang diamati, dirasakan, dan dibutuhkan ketimbang mendiagnosis dan mengadili, kita menemukan kedalaman belarasa kita sendiri. Lewat penekanannya pada mendengarkan secara mendalam, NVC memupuk rasa hormat, sikap atentif, dan empati, serta melahirkan suatu dambaan timbal-balik memberi dari hati (Rosenberg, 4).

Penggunaan NVC tak menuntut teman wicara mesti memahami seluk-beluk NVC atau termotivasi berkomunikasi dalam spirit belarasa. Jika kita bertahan dalam prinsip NVC, dengan termotivasi belaka memberi dan menerima dengan spirit belarasa, dan berbuat apa yang bisa kita lakukan untuk membuat orang lain tahu bahwa itu satu-satunya motivasi kita, mereka akan ikut dalam proses dan akhirnya kita saling merespons dalam semangat belarasa. Ini tak selalu cepat terjadi. Semangat belarasa tak terelakkan akan mekar jika kita tetap setia pada prinsip dan proses NVC (Rosenberg, 5).

Agar mencapai dambaan timbal-balik untuk memberi dari hati, kita fokuskan cahaya kesadaran kita pada empat area: observasi, perasaan, kebutuhan, dan permintaan. Pertama, kita amati apa yang terjadi dalam suatu situasi: apakah yang kita amati dikatakan atau dilakukan orang lain itu memperkaya hidup kita atau tidak? Kiatnya ialah mampu mengartikulasikan observasi ini tanpa memasukkan suatu evaluasi—semata-mata hanya mengatakan apakah yang dibuat oleh orang itu kita sukai atau tidak. Kedua, kita nyatakan apa yang kita rasakan saat mengamati tindakan itu: merasakah kita terluka, takut, gembira, terhibur, atau terganggu? Ketiga, kita nyatakan macam apa kebutuhan kita terkait dengan perasaan yang telah kita identifikasi itu. Kesadaran atas tiga unsur ini hadir saat kita menggunakan NVC untuk secara jelas dan jujur mengungkapkan bagaimana diri kita (Rosenberg, 6).

Suatu contoh. Seorang ibu mungkin akan menyampaikan tiga hal tersebut kepada anaknya: ”To, saat kulihat dua gulungan kaus kaki kotor di bawah meja dan tiga lagi di dekat TV, aku terganggu sebab aku mau yang ada di dalam kamar yang kita huni bersama lebih rapi.” Pernyataan ini lekas disusul dengan unsur keempat, permintaan spesifik: ”Tolong taruh kaus itu di kamarmu atau di mesin cuci.” Unsur keempat ini mengurus apa yang kita inginkan dari orang lain, hal yang akan membuat hidup kita bersama enak dijalani.

Meski NVC disebut bahasa, tentu mungkin mengalami empat unsur model NVC tanpa berucap sepatah kata pun. Esensi NVC ada dalam kesadaran kita tentang empat unsur ini, bukan pada kata yang saling dipertukarkan (Rosenberg, 7).

Mengalienasi hidup

Dalam mempelajari apa yang mengalienasi orang dari belarasa alami, Rosenberg (15) mengidentifikasi bentuk khas bahasa dan komunikasi yang ia yakini mendorong kita melakukan tindakan yang mengandung kekerasan atas diri kita sendiri maupun seseorang kepada yang lain. Bentuk komunikasi semacam itu ia sebut komunikasi yang mengalienasi hidup. Salah satu: memakai penilaian moralistis yang mengandaikan keburukan atau kejahatan di pihak orang yang tak bertindak sesuai dengan nilai-nilai kita. Penilaian macam itu tecermin dari kalimat seperti: ia kasar; itu tak patut. Menyalahkan, menghina, meremehkan, melabeli orang lain, mengkritik, membandingkan, mendiagnosis adalah segala bentuk tindak mengadili.

Penyair Rumi menulis, ”Di luar ide tindakan salah dan benar, ada ranah tempat aku bertemu denganmu di sana.” Namun, kata Rossenberg (16), komunikasi yang mengalienasi hidup menjebak kita pada dunia ide tentang apa yang benar apa yang salah, suatu dunia penilaian. Itulah dunia yang kaya dengan kata-kata yang mengklasifikasi dan mendikotomi orang dan tindakan mereka. Saat memakai bahasa ini, kita menilai orang dan perilakunya sambil bersibuk dengan siapa yang baik, jahat, normal, abnormal, bertanggung jawab, tak bertanggung jawab, cerdas, goblok, dan seterusnya. Minat kita terfokus pada ihwal mengklasifikasi, menganalisis, dan menentukan tingkat kesalahan ketimbang pada apa yang kita dan orang lain butuhkan dan tidak kita peroleh. Jadi, jika mitra kita menginginkan lebih banyak afeksi daripada yang bisa saya berikan, ia ”kekurangan dan tergantung”. Namun, jika saya lebih banyak membutuhkan afeksi daripada yang bisa ia berikan, ia ”bersikap jauh dan tak peka”.

Dari keyakinan Rosenberg, analisis atas orang lain seperti itu adalah ungkapan tragis nilai dan kebutuhan kita sendiri. Itu tragis sebab jika mengungkapkan nilai dan kebutuhan kita dalam bentuk ini, kita meningkatkan sikap defensif dan resistensi pada mereka di antara orang yang perilakunya justru kita pedulikan. Atau, seandainya mereka sepakat berperilaku sesuai dengan nilai kita, mereka sangat mungkin berbuat itu karena takut merasa bersalah atau malu.

Di sini penting membedakan evaluasi tentang nilai dengan penilaian moralistis. Kita semua mengevaluasi nilai dalam hidup: kita mungkin menghargai kejujuran, kebebasan, dan damai. Evaluasi kita atas nilai mencerminkan keyakinan kita tentang bagaimana hidup dapat dilayani dengan cara terbaik. Kita membuat penilaian moralistis atas orang dan perilaku yang gagal mendukung evaluasi kita akan nilai, misalnya ”tindak kekerasan buruk, orang yang membunuh jahat.” Andai terdidik memakai bahasa belarasa, kita akan mengartikulasikan langsung kebutuhan dan nilai kita ketimbang menginsinuasikan keburukan jika kebutuhan itu tak terlayani. Jadi, alih-alih mengatakan ”tindak kekerasan itu buruk”, kita sebaiknya berkata, ”Saya takut menggunakan tindak kekerasan untuk menyelesaikan konflik; saya menghargai penyelesaian konflik dengan cara lain.”

Kaitan antara bahasa dan tindak kekerasan pernah diriset profesor psikologi OJ Harvey di Universitas Colorado. Ia mengambil acak nukilan karya literatur dari banyak negeri di dunia dan menabulasikan frekuensi kata yang mengklasifikasi dan menilai orang. Studinya menunjukkan korelasi tinggi antara frekuensi tinggi pemakaian kata-kata seperti itu dan insiden kekerasan. Sebaliknya, kurang terjadi peristiwa kekerasan dalam kebudayaan di mana orang berpikir dalam istilah kebutuhan manusiawi ketimbang di dalam kebudayaan di mana orang saling memberi label baik atau jahat dan percaya bahwa yang jahat mesti dihukum. Dalam 74 persen program televisi di Amerika Serikat selama jam tayang bagi anak-anak, besar kemungkinan mereka menonton si pahlawan membunuh atau menghajar orang. Tindak kekerasan ini secara khas menjadi klimaks pertunjukan. Setelah diajari bahwa orang jahat patut dihukum, para pemirsa merasa nikmat dalam menonton tindak kekerasan (Rosenberg, 17).

NVC membantu kita mengungkapkan diri secara jujur, jelas, serta memerhatikan pesan mitra wicara dengan penuh respek dan empati. Ini sumbangan penting bagi perdamaian di dunia. Kekhasan NVC dalam hal obyektivitas rumusan hasil observasi atas dialog kita dengan mitra wicara dan atas apa pengalaman kita selama dialog cocok dengan pendekatan rasional kritis obyektif menyangkut pembedaan antara proses pemikiran dan isi pikiran. Namun, NVC berpantang ”mengkritik” agar tidak mengadili secara negatif maupun positif, padahal pendekatan rasional obyektif kritis mengandalkan kritik sebagai sarana pertumbuhan pengetahuan.

Perbedaan pandangan ini bisa didamaikan karena model komunikasi khas yang diajukan oleh NVC ditawarkan untuk secara bebas dipakai oleh siapa saja. Kritik yang terdiri dari penguakan problem, diikuti dengan solusi atasnya pun, bisa dipahami sebagai tawaran bantuan yang secara bebas boleh diterima atau ditolak. Jika demikian, tak ada pasal untuk bersengketa antara pengkritik dan terkritik.

Berhadapan dengan disiplin lain seperti hukum dan tata negara, misalnya, model komunikasi NVC kiranya memancing banyak pertanyaan. Pembahasan atas hal-hal seperti itu berada di luar jangkauan tulisan ini.

* Alfons Taryadi, Sarjana Filsafat

Sumber: Kompas, Jumat, 1 Agustus 2008

No comments: