KEKUASAAN dalam arti hubungan yang mengandung otoritas, menurut Maurice Duverger (The Study Of Politics, 1979), memengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas-komunitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan kekuasaan. Pertama, jika kita melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran.
Kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang menentang dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Di sini, kita melihat kekuasaan memainkan peran sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu, Duverger menyebut ini sebagai aspek antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik.
Aspek kedua muncul jika kita menganggap politik adalah sebuah upaya menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini, kekuasaan dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Di sini, kekuasaan memainkan peranan integratif, memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-à-vis kepentingan golongan atau kelompok.
Cinta akan kekuasaan, dalam arti yang seluas-luasnya, adalah keinginan memiliki kemampuan guna menimbulkan pengaruh yang diinginkan atas dunia di luar diri seseorang. Keinginan berkuasa merupakan bagian kodrat manusia sebagai manusia. Namun, ada perbedaan mendasar antara kekuasaan yang diinginkan sebagai alat dan kekuasaan yang diinginkan sebagai tujuan.
Orang yang menginginkan kekuasaan sebagai alat lebih dulu memiliki keinginan lain, kemudian ia berangan-angan memiliki kekuasaan sebagai alat untuk mencapainya. Orang yang menginginkan kekuasaan sebagai tujuan akan memilih sasarannya berdasarkan kemungkinan mencapainya.
Dalam politik, misalnya, seseorang ingin melihat hukum atau aturan tertentu diberlakukan. Dengan begitu, ia terdorong mengambil bagian dalam urusan publik, sementara orang lain yang hanya menginginkan keuntungan bagi diri sendiri, akan menerima program apa pun yang tampaknya memberi kemungkinan paling besar untuk mencapai kekuasaan tersebut.
Agar kekuasaan bisa menjadi alat yang efektif mendatangkan kemaslahatan bagi orang lain, Bertrand Russel (Power: A New Social Analysis) menyarankan semacam etika kekuasaan menyangkut empat hal. Pertama, kekuasaan harus dikaitkan dengan tujuan selain kekuasaan itu sendiri. Kedua, cara-cara mencapai tujuan itu tidak boleh menimbulkan akibat yang mengalahkan kebaikan tujuan.
Ketiga, etika yang akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang paling baik adalah etika yang membenci cinta akan kekuasaan lebih daripada yang dapat dibenarkan akal budi dan nurani kemanusiaan kita. Keempat, tujuan mereka yang memiliki kekuasaan dalam segala bentuk dan implementasinya hendaknya untuk memajukan kerja sama sosial, bukan kerja sama dalam satu kelompok untuk menghadapi kelompok lain, tetapi kerja sama di kalangan umat manusia secara keseluruhan.
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Juli 2006
No comments:
Post a Comment