Wednesday, July 05, 2006
Rampai: Mencoba Bangkit Lewat Radio
-- Helena F. Nababan
Semuanya berawal pada tahun 2000 ketika setiap malam Radio Republik Indonesia Bandar Lampung menyiarkan acara Manjau Debingi, acara yang memutar lagu- lagu daerah berbahasa Lampung. Para penggemar acara itu dapat berbalas-balasan mengirim lagu dengan disertai kiriman pantun berbahasa Lampung.
"Kami merasa saat itu sudah terbentuk komunitas kecil penggemar bahasa Lampung. Dari situ, para penggemar mengadakan kumpul-kumpul dan membentuk komunitas kecil penggemar budaya Lampung," kata Riagus Ria, pemerhati seni tradisi Lampung, di Bandar Lampung, Kamis (22/6).
Dari komunitas itulah pada tahun 2001 muncul acara di RRI Bandar Lampung dengan nama Ragam Budaya Lampung setiap Sabtu malam. Riagus menuturkan, betapa sulitnya mengembangkan acara budaya itu. Hanya sedikit masyarakat yang mau terlibat dalam acara sastra tutur.
Kesulitan timbul karena kurangnya pemahaman dan penguasaan masyarakat terhadap bahasa Lampung, sebagai bahasa pengantar acara. Padahal, penguasaan bahasa Lampung menjadi kunci utama mengapresiasi sastra tutur.
"Sayang, masyarakat Lampung kurang menghargai dan tidak memiliki rasa bangga terhadap bahasa Lampung. Sementara pemerintah sepertinya tidak mau dipusingkan dengan hal-hal demikian," ucap Riagus.
Akibatnya, kendati sastra tutur yang disiarkan masih dalam tingkat sederhana, masyarakat tetap kesulitan mencerna maksud dan isi syair yang disiarkan.
Pada perkembangannya, berbagai upaya mengenalkan sastra tutur melalui forum-forum diskusi ataupun acara dokumentasi sastra tutur, penggemar mulai bertambah. Jenis sastra tutur yang ditampilkan mulai bervariasi, mulai yang biasa dipakai masyarakat pedalaman atau yang biasa disebut pepadun hingga daerah pesisir atau sai batin.
Pendengar bisa mengenal sastra tutur mulai dari pepanco atau nasihat, kepisaan atau syair doa yang biasanya berisi bait-bait doa yang panjang, warahan atau ajaran, hingga dadi atau sastra tutur tingkat tinggi.
Kendati demikian, penggagas acara selalu kesulitan menghadirkan pemateri yang tepat. Penyebabnya, penutur asli bahasa Lampung yang memiliki kemampuan sastra tutur hanya segelintir. "Itu pun ada di daerah pedalaman. Di kota tidak ada. Kami kesulitan menghadirkan mereka atau kadang jadwal mereka tidak sesuai dengan kebutuhan kami," papar Riagus.
Solusinya, setiap penggagas lantas menjadi pengisi acara RBL tersebut. Melalui acara itu, lantas muncul nama-nama seperti Amir Mardani, Sutan Purnama, Sutan Way Kuning, Ratu Angguan, dan Riagus Ria sendiri sebagai penggerak dan pelaku sastra tutur Lampung.
Sampai sekarang, kendati masih tertatih-tatih, penggagas RBL menilai keberadaan acara itu secara terus-menerus hampir lima tahun, sebuah prestasi.
Sumber: Kompas, Jumat, 23 Juni 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment