Tuesday, August 05, 2008

Benda Bersejarah: Repotnya Merawat Cagar Budaya

-- Yurnaldi

DI antara banyak persoalan bangsa, salah satu hal yang mencemaskan adalah kurangnya minat dan perhatian generasi muda dalam melestarikan benda-benda cagar budaya yang merupakan kekayaan bangsa.

Kenapa perhatian dan kepedulian kepada benda-benda cagar budaya itu kurang? Kesalahan sistem pendidikan kita yang cenderung hafalan untuk pelajaran sejarah? Atau karena generasi muda itu tidak melihat dengan langsung kekayaan budaya bangsa itu?

Terlepas apa pun jawabannya, apa yang dilakukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Direktorat Nilai Sejarah, patut dicatat. Misalnya, dengan gencarnya menerbitkan buku-buku dan menggelar Lawatan Sejarah Nasional.

Baru-baru ini, misalnya, diterbitkan buku Album Benda Cagar Budaya dan Wisata Sejarah: Kenali Negerimu, Cintai Negerimu. Buku tersebut dicetak dalam edisi luks, dengan harapan agar sedikit-banyak masyarakat khususnya generasi muda tahu dan bisa mencintai sejarah dan budayanya.

Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat mengatakan, saat ini kebutuhan akan informasi tentang wisata sejarah menjadi bagian yang terpenting dalam mendorong dan menggairahkan kembali pariwisata nasional. Meski demikian, informasi berupa terbitan buku tentang wisata sejarah yang mencakup seluruh Indonesia masih sedikit.

Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, sejarah menuntun kita agar tidak menuju arah yang salah atau agar tidak mengulangi kesalahan. Seperti kata orang bijak: ”Kalau kau tidak tahu masa lalumu, maka jangan harapkan kau akan mampu bermimpi tentang masa depanmu”.

Dalam dilematik

Sebuah bangsa dapat dicitrakan dalam kaitannya dengan nilai-nilai sejarah dan budayanya.

Boleh jadi dengan membangun Museum Manusia Purba Sangiran, Indonesia ingin memelihara warisan budayanya. Museum itu berada di di kawasan perbukitan tandus yang terletak di perbatasan Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah.

Sangiran menjadi situs sangat penting bagi sejarah geologi di Indonesia karena mencakup lapisan stratigrafi dari 2 juta sampai 200.000 tahun yang lalu. Hal ini merupakan data terpenting untuk mengungkapkan proses evolusi manusia purba, budaya, dan lingkungannya.

Bahkan, >small 2small 0< telah menetapkan Sangiran sebagai Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) sejak tahun 1996. Walau sudah 12 tahun berjalan, barangkali belum banyak generasi muda yang tahu, dan ironisnya, masyarakat setempat tidak tahu akan itu.

Oleh karena itu, jangan heran, potensi yang dimiliki menghadapi ancaman yang disebabkan oleh proses alam dan kegiatan manusia. Jual beli fosil yang menjadi kekayaan dunia itu dilaporkan masih ada, walau secara diam-diam. Perburuan fosil berharga untuk diperdagangkan pun berlangsung secara sembunyi-sembunyi.

Begitu pun kesadaran masyarakat untuk menyerahkan fosil kepada pihak yang berwenang, jika tiba-tiba menemukannya, terasa masih kurang.

Terlepas dari persoalan itu, jika Anda pergi ke Museum Manusia Purba Sangiran, jangan kaget, tidak banyak yang bisa disaksikan dan belum tertata dengan baik. Di situ Anda tidak akan dapat menyaksikan fosil manusia purba, kecuali tayangan video tentang Sangiran.

Dijadikan obyek wisata

Pemerintah kini tengah mengembangkan Situs Manusia Purba Sangiran menjadi obyek wisata, yang merupakan salah satu upaya dalam pelestarian lingkungan dan budaya. Untuk mengelola Situs Sangiran, pada tahun 2008 ini telah terbentuk Balai Pelestarian Manusia Purba Sangiran.

Kini sedang dibangun museum senilai Rp 25 miliar dan tanggal 28 Juli lalu juga sudah ditandatangani Perjanjian Kerja Sama antara Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Sragen, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar tentang Perlindungan, Pengembangan Kawasan Sangiran sebagai Warisan Budaya Dunia ”Sangiran Early Man Site”.

Ternyata, di balik potensi luar biasa Situs Sangiran dan Situs Percandian Dieng, ada masalah yang tak kalah peliknya. Tampaknya, tak cukup membuat papan yang berisi kutipan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992, yang berisi larangan merusak, mengambil atau memindahkan, mengubah bentuk, dan memisahkan bagian, kelompok, dan kesatuan benda cagar budaya yang berada di dalam situs dan lingkungannya.

Walaupun dengan ancaman ”Barang siapa yang melanggar larangan ini, dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda setinggi- tingginya seratus juta rupiah”, masyarakat seakan-akan tak peduli.

Namun, bagi Menbudpar Jero Wacik, sebagaimana yang ia tulis dalam prasasti peresmian Candi Kailasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yang terpenting adalah: ”Museum adalah tempat mengabadikan benda-benda bersejarah. Perhatikan bendanya, pelajari filsafat-filsafat yang dikandungnya. Yang kita dapatkan adalah; Toleransi menghasilkan harmoni, harmoni melahirkan kebahagiaan”.

Sumber: Kompas, Selasa, 5 Agustus 2008

No comments: