-- Afrizal Malna*
APA yang harus digugat dengan imperium puisi liris di Indonesia? Apakah karena kita mulai takut bahwa bahasa Indonesia sedang tenggelam oleh globalisasi bahasa-bahasa internasional, oleh hancurnya perilaku politik nasional, oleh kebingungan memandang masa lalu dan masa depan?
Pak Sarip, di Stren Kali Surabaya, meninggalkan desanya di Mojokerto karena menurutnya desa sudah bangkrut. Di kota, dia hidup miskin. Pak Sarip hampir tidak memiliki kehidupan sosial dan ruang aktualisasi sosial dengan warga kampung.
Saya mencoba memintanya menyanyikan lagu berbahasa Jawa yang masih diingatnya. Tiba-tiba wajah dan tubuhnya seperti baru saja hadir di depan saya menjadi tubuh yang hidup. Dia mulai menyanyi dengan gerak tubuh yang berusaha mengikuti irama yang dinyanyikan. Geraknya seperti alang-alang yang tertiup angin.
Pak Sarip, di kota menghadapi dua hal sekaligus: Pertama, kebangkrutan desa itu berlanjut lewat formalisme kota yang tidak bisa menerima kehadiran warga seperti Pak Sarip yang tidak memiliki pendidikan, akses pekerjaan, modal, dan pemukiman.
Kedua, konstruksi budaya yang dibawanya dari desa, yang hidup dalam tubuhnya, harus berhadapan dengan gaya hidup kosmopolitan yang menuntut tubuh yang lain. Akhirnya tubuh Pak Sarip ikut tenggelam bersama konstruksi budaya masa lalu yang membentuknya. Tubuh desa dan tubuh agrarisnya tidak mampu mengakses tubuh kosmopolitan.
”Pak Sarip, kenapa tidak kembali ke desa?”
”Di desa sudah tidak ada apa-apa lagi,” jawabnya. Jawaban untuk mengatakan bahwa sisa hidupnya sebenarnya hanya tinggal bertahan untuk bisa makan.
Bertahan dalam bahasa
Bahasa, sejarah, dan seni memberikan kepada kita imajinasi tentang kehidupan bersama, waktu dan ruang yang kita kenali, penghormatan kepada bendera kebangsaan dan foto keluarga, termasuk membuat wacana terhadap tubuh. Karena itu Amir Hamzah percaya, walaupun Malaka direbut Portugis, selama bahasa Melayu dijaga lewat pantun dan syair, bangsa Melayu tidak akan hancur.
Di Desa Tutup Ngisor, lereng Gunung Merapi, masyarakat juga masih percaya, orang Jawa belum menjadi Jawa kalau tidak bisa nembang atau nabuh gamelan. Bahasa Jawa diajarkan kepada anak-anak lewat kesenian dan sastra yang mereka miliki, yang memperlihatkan bahwa bahasa tidak semata-mata soal tata bahasa. Masyarakat Bali, termasuk Dayak, juga masih melakukan hal yang sama.
Lalu, apa yang kita cemaskan dengan lirisisme?
Hampir seluruh budaya tradisi kita sebenarnya ditopang oleh lirisisme. Estetika ini pada awalnya hampir tidak terpisahkan dengan teologi masyarakat tradisi, yang sebagian besar hidup dalam budaya agraris. Estetika di mana ”aku” belum dibaca sebagai ”aku-individu”, masih sebagai ”aku-bersama”.
Estetika lirisisme diturunkan hampir ke seluruh pernik-pernik kebudayaan dari pakaian (batik atau songket, misalnya), senjata (keris, misalnya) hingga ukiran-ukiran untuk rumah.
Lirisisme seakan-akan lahir dari masyarakat yang sudah melampaui masalah-masalah ekonomi dan politik.
Dalam masyarakat budaya lisan, lirisisme merupakan produk dari ”bagian-dalam” budaya lisan: inside dari budaya lisan itu sendiri. Dan folklore sebagai outside-nya. Karena itu, lirisisme seperti memiliki watak kromonisasi yang berlangsung di dalamnya.
Aku yang individu
Perubahan ekonomi untuk pengembangan investasi, penguasaan terhadap sumber-sumber alam yang melahirkan kolonialisme, membuat prosedur baru terhadap posisi ”aku” menjadi ”aku-individu” yang mengubah dan menaklukkan.
”Aku-liris” tidak siap berhadapan dengan ”aku-modern” seperti ini. Rustam Effendi dan Sutan Takdir Alisjahbana mengatakannya sebagai kebudayaan yang kalah yang harus ditinggalkan, seperti melemparkan seruling dan pantun.
Chairil Anwar menjadi penting karena dialah yang kemudian berhasil mengubah sifat mendasar dari estetika lirisisme ini dengan munculnya ”aku-individu” yang penuh luka, sudah jadi binatang. Chairil Anwar tiba-tiba menjadi sebuah perayaan baru dalam sastra Indonesia.
Lirisisme yang menjadi nakal dan sehari-hari pada puisi-puisi Rendra maupun Subagio Sastrowardoyo, lirisisme yang berjalan ke mana-mana yang dibawa oleh Sitor Situmorang. Juga harus disebut Ramadhan KH dengan Priangan Si Jelita-nya, Toto Sudarto Bachtiar dan Amarzan dengan puisi-puisi baladanya.
Sapardi Djoko Damono, lewat jalan imajisme, tiba-tiba mengembalikan lirisisme kepada watak dasarnya sebagai ”aku-mistis”.
Imajisme puisi-puisi Sapardi ”aku telah menjadi kata”, merupakan pembebasan baru di mana lirisisme memasuki medan penuh dengan imaji-imaji tak terduga.
Lirisisme memang merupakan mainstream dalam puisi Indonesia modern, termasuk Yudhistira M Massardi, Sutardji Calzoum Bachri, maupun Wiji Thukul.
Sementara itu, F Rahardi seperti dinding luar dari lirisisme yang tidak sepenuhnya berada di luar lirisisme, termasuk Darmanto Jt.
* Afrizal Malna, Penyair, menetap di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment