-- Sarie Febriane
KERINDUAN warga Jakarta akan taman mungkin seperti ilusi akan kekasih yang sulit direngkuh. Ketika taman itu hadir, terentang jarak yang membuat emosi malah tak terhubung. Mungkin inilah macam hubungan yang kadang disebut orang sebagai: ”it’s complicated”.
Hutan Kota di Bandar Baru Kemayoran, Jakarta Pusat. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)
Begitulah, sebagian taman-taman yang hadir di Jakarta seperti sekadar karya seni di galeri yang tak boleh dijamah. Pagar taman yang tinggi, pos satpam di gerbang taman, petugas yang menegur saat ada aktivitas memotret atau merekam adegan menjadikan warga kerap segan melebur bersama taman. Seolah tak ada ikatan emosi antara warga dan tamannya.
Coba kita jenguk Taman Langsat di Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Eka (19) dan Nur (18), misalnya, kini adalah pengunjung setia taman yang apik ini. Kedua mahasiswi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka yang berlokasi tak jauh dari Taman Langsat ini sebelumnya telah berkali-kali melintasi Taman Langsat. Namun, keduanya tak yakin taman tersebut merupakan taman publik. Mereka kadang sekadar melongok dari balik pagar besi, mengintip seperti apa taman di dalam.
”Sekelilingnya, kan, dipagari dan ada pos satpam, segan mau masuk. Takutnya punya orang,” ujar Eka, lugu.
Sampai suatu saat, ketika keduanya celingukan di depan gerbang taman, petugas satpam yang berjaga mengundang mereka berdua. ”Satpamnya bilang masuk aja, baru deh berani masuk. Ternyata bagus, teduh banget, enak buat istirahat,” tutur Nur.
Sejak saat itu, keduanya kian sering bertandang ke Taman Langsat melepas penat selepas kuliah. Seperti Rabu siang (4/8), keduanya asyik berpiknik di bawah pohon palem sambil menyantap burger.
Di hari-hari kerja, Taman Langsat sungguh sepi, teduh, dan amat sejuk. Baru masuk ke taman ini langsung terasa nyeess.... Padahal, tak sampai beberapa meter di luar areal taman, di balik pagar tinggi taman ini, hiruk pikuk lalu lintas di Jalan Kyai Maja dan Barito I amat riuh. Sementara pintu gerbang utama taman sendiri berada di Jalan Langsat, yang dapat dicapai melalui Jalan KH Ahmad Dahlan.
Taman Langsat memang seperti terasing. Lokasinya yang menjorok ke bawah, jauh lebih rendah dari lingkungan sekitarnya, membuat taman ini menjadi tersembunyi. Terlebih, di sepanjang Jalan Barito I, tepat di balik pagar taman, berderet kios penjual burung, buah, hingga warung makan. Pelintas jalan tak akan menyadari di balik deretan kios itu ada taman seluas 53.000 meter persegi yang cukup cantik dan terawat.
Warga yang telah mengetahui ”taman rahasia” ini biasanya menjadi rajin berkunjung seperti Eka dan Nur. Saban akhir pekan, taman relatif lebih ramai oleh warga yang menikmati lari pagi menyusuri jogging track yang mengelilingi taman. Atau sekadar duduk-duduk di bangku besi berdesain serba melengkung yang tampak romantis.
Tiada ikatan
Arsitek lanskap Nirwono Joga berpandangan, taman-taman kota di Jakarta sebagian memang cenderung ”steril” dari jamahan warga. Beberapa taman dipagari, tak jarang dengan pagar cukup tinggi, dipasangi peringatan larangan menginjak rumput, bahkan untuk memotret bisa ditegur satpam. Taman akhirnya menjadi sekadar sedap dipandang, tetapi tidak bisa dimanfaatkan.
”Ini menjadikan warga kota tidak memiliki ikatan sosial dengan taman,” tutur Joga.
Taman lain yang juga ”tersembunyi” adalah Taman Leuser di Jalan Leuser, Kebayoran Baru, atau tepatnya di samping Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Posisi taman yang dipagari tinggi ini juga menjorok ke bawah. Bahkan, pintu gerbang kerap senantiasa tampak tertutup.
Kamis (5/8), tim dari sebuah media televisi yang tengah shooting segmen acara Ramadhan untuk televisi lokal tiba-tiba didatangi petugas keamanan di Taman Leuser. Sang petugas menanyakan izin pengambilan gambar di taman tersebut. Akhirnya setelah berbicara baik-baik, kru meminta agar proses perizinan dapat menyusul. ”Kami pikir ini, kan, taman publik, siapa saja boleh beraktivitas di sini. Enggak nyangka ditegur begini,” ujar Hardi, salah satu kru.
Sementara seorang petugas kebersihan di taman itu mengaku, saban hari, termasuk akhir pekan, taman itu nyaris tak pernah dikunjungi orang. Taman benar-benar teralienasi dari warga kotanya. Areal parkir yang hanya sepetak pun malah dipenuhi tumpukan papan reklame bekas. Walaupun tamannya sendiri cukup terawat, bersih, dan apik.
Alih fungsi
Joga mengatakan, ketiadaan ikatan sosial antara taman dan warganya kerap membuat warga tak peduli, misalnya, ketika sebuah taman digusur dijadikan kawasan bisnis.
Soal isu alih fungsi taman ini salah satu contoh yang baru-baru ini menghangat adalah isu perubahan Taman Ria Senayan menjadi mal. Soal ini, Managing Director PT Ariobimo Laguna Perkasa Kurnia Achmadin membantahnya. Menurutnya, Ariobimo sejak 1995 sudah menjalin kontrak (hingga 2027) dengan pihak pengelola Gelora Bung Karno. Hanya saja, tempat rekreasi yang sempat dibangun pada 1998 gagal dan terbengkalai hingga kini mirip taman hantu.
Oleh karena itu, sejak tahun 2004 mereka mulai menyusun rencana untuk membangun taman di areal 10,5 hektar (termasuk 4,5 hektar danau). Di lahan selain danau itu, seluas sekitar 25.000 meter persegi akan dibangun fasilitas untuk bisnis kuliner dan toko suvenir. Kurnia menjamin tak akan ada supermarket ataupun department store, di areal itu, sementara sisa sekitar 5 hektar lebih akan dijadikan taman kota.
Indra Simarta, arsitek yang merancang, menuturkan, gedung yang dibangun pun akan diupayakan hijau, yaitu diselimuti tanaman rambat. Selain itu, di atap bangunan, yang maksimal empat lantai, akan dijadikan roof garden.
”Orang Jakarta, kan, baru akan ke taman kalau diberi pemancing, ada fasilitasnya. Misalnya, ada tempat untuk makan-makan,” tutur Kurnia.
Apakah memang orang Jakarta harus dirayu perutnya dulu untuk mau berinteraksi dengan taman? Kita lihat saja nanti. Yang pasti, taman yang seindah apa pun akan terlihat lebih apik jika diramaikan oleh manusia. Bukan oleh makhluk yang lain. (IND)
Sumber: Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment