MENIKMATI kegiatan ART|JOG seraya mempertanyakan mampukah Kota Bandung, yang menyebut dirinya sebagai kota seni dan budaya, menyelenggarakan kegiatan sejenis, sering kali menimbulkan rasa pesimis. Padahal, dalam konteks kekaryaan atau potensi para senimannya, Bandung memungkinkan untuk menyelenggarakan kegitan sejenis. Hanya, bicara kegiatan seni rupa di Kota Bandung, apalagi yang berurusan dengan perhatian birokrasi, selalu menimbulkan rasa pesimistis.
Pesimisme inilah yang dirasakan Aminuddin T.H. Siregar, kurator ART|JOG yang sekaligus juga adalah dosen FSRD ITB. Dalam pandangannya, di Bandung terlalu banyak orang punya rencana, tetapi tidak pernah menyentuh persoalan yang paling mendasar bagi perkembangan seni dan budaya. Berikut wawancara seputar ART|JOG dan Bandung
ART|JOG mengambil tema "Indonesia Art Now:The Strategies of Being". Bisa Anda jelaskan tema ini dalam konteks praktik-praktis seni rupa Indonesia hari ini?
Tema ini digunakan seiring dengan pergantian nama, yang tadinya "Jogja Art Fair" menjadi ART|JOG. Saya mengusulkan perubahan nama itu sebab dalam pandangan saya penggunaan istilah Jogja Art Fair (JAF) sebagaimana yang sudah dipakai dalam dua penyelenggaraan sebelumnya terlalu memberi kesan yang sempit. Artinya JAF cenderung berkonotasi semata art fair. Sementara dengan ART|JOG, lebih membuka ruang gerak yang leluasa. Dengan nama ini saya harap cukup bisa mewakilkan perkembangan seni rupa secara lebih luas, tanpa dibebani dengan bingkai art fair. Sementara istilah JOG sebagai akronim kota Yogyakarta hendaknya jangan dilihat sebagai lingkup geografis. Dalam praktiknya dia bisa mewakilkan perkembangan seni rupa tanah air secara menyeluruh. Kebetulan Kota Yogyakarta adalah kota yang sampai saat ini bisa mewakili perkembangan tersebut. Karena nama berganti, saya pikir perlu diberikan sebuah tema yang mengesankan sesuatu yang bermakna "menjadi "sekaligus mengandaikan "strategi". Pendek kata, istilah "strategies of being" atau kurang lebih dapat diartikan "strategi untuk menjadi" kemudian saya ajukan. Sementara istilah "Indonesian Art Now" adalah pengandaian saya personal bahwa kekinian seni rupa Indonesia sesungguhnya masih berada dalam taraf "menjadi". Pendek kata "ART|JOG" bicara soal "ke-menjadi-an". Dari sesuatu yang masih diraba, menuju ke sebuah entitas. Sebuah identitas.
Bisa Anda jelaskan konsep kuratorial kegiatan ini?
Ini terkait dengan identitas yang saya katakan sebelumnya. Tentu saja orang dengan segera bisa membaca bahwa ART|JOG bicara identitas seni rupa Indonesia. Akan tetapi, yang kemudian ingin lebih dibicarakan di sini adalah ART|JOG membidik aspek neurotik di dalam sejarah seni rupa. Gagasan ini saya peroleh sebab secara bersamaan saya sedang meriset adanya identitas ketiga dalam sejarah, alih-alih kubu Yogya atau kubu Bandung. Ini yang lazim kita kenal. Sementara ada kubu lain yang jarang mendapat tempat, jarang dibicarakan. Saya katakan itu adalah kubu yang trahnya berasal dari Oesman Effendi, Nashar, Zaini, dan kawan-kawan, yaitu mereka yang mengedepankan sisi-sisi psikologis dalam kesenian mereka. Ya, itu, sisi neurotiknya. Pendek kata, yang saya pilih dalam ART|JOG kali ini adalah karya-karya yang banyak sisi neurotiknya. Ada unsur "gilanya" yang bisa kita rasakan muncul dalam diri seniman. Perhatikan saja tampilan-tampilan karya dalam ruang pamer. Bagi saya, itu merefleksikan kegamangan, kegelisahan, tegangan yang terus-menerus berkelindan dalam perjalanan seni rupa kita.
Menurut Anda, infastruktur apa yang menyebabkan Yogyakarta bisa menggelar acara semacam ini?
Sebenarnya sih, Yogyakarta tak ada bedanya dengan kota-kota lain dari segi infrastruktur. Boleh jadi Yogya cukup beruntung karena memiliki Sultan Hamengkubuwono X yang peduli dengan kesenian. Selama saya di Yogya mengurus ART|JOG suatu ketika ada headline koran setempat yang mengutip ucapan Sri Sultan tentang perlu segera dibentuk komite Biennale Seni Rupa yang permanen…kurang lebih begitu. Itu saja sudah menunjukkan bahwa istilah "bienalle" buat pemimpin seperti Sri Sultan bukanlah istilah asing. Saya kira ini tidak terjadi di kota-kota lain. Kalau Jakarta, masih mungkin gubernurnya bicara biennale.
Selain itu, atmosfer seninya memang kondusif. Banyak lapis-lapis seniman. Sejumlah hal seperti tenaga kerja relatif murah. Dan selalu ada orang yang mau bekerja di lapangan seni rupa tanpa harus menjadi seniman atau kurator... artinya bekerja manajerial, dan sebagainya. Dan juga pihak Taman Budaya yang sangat kooperatif, tanpa birokrasi bertele-tele. Hal-hal semacam itu bisa saya rasakan sendiri selama terlibat dalam ART|JOG.
Masyarakat dari segala lapisan bisa menikmati acara kesenian. Saya perhatikan yang datang ke ART|JOG itu beragam: dari kolektor besar sampai keluarga kecil dengan anak-anaknya yang senang dengan bentuk-bentuk aneh dalam seni rupa. Mereka enjoy. Tukang becak pun kelimpahan rezeki sebab mengantar tamu dari hotel yang khusus mau nonton ART|JOG.
Mereflesikan pelaksanaan ART|JOG ke Bandung, bagaimana Anda melihatnya? Mengapa Bandung hingga hari ini belum juga memiliki kegiatan serupa? Apa sebenarnya yang menjadi kendala?
Wah, menurut saya kendalanya sangat banyak. Ceritanya bisa panjang. Saya sih selalu pesimistis kalau bicara di tingkat Bandung. Apakah gubernur tahu istilah biennale seni rupa? Hehehehehe…ini misal..untuk menakar bagaimana dunia seni rupa dipahami dunia birokrasi. Dilihat dari atas ke bawah, komitmen Kota Bandung untuk mengembangkan seni budaya saya ragukan. Sementara di kalangan bawah sendiri atau kita-kita yang bekerja di lapangan seni sudah berpuluh-puluh tahun berjibaku menghidupkan Kota Bandung dengan berbagai aktivitas seni tanpa pamrih. Kita bekerja sukarela tanpa bantuan ini itu. Kita hanya pengen Bandung punya seni rupa yang bisa dibanggakan. Dan ini sudah berlangsung lama. Mungkin di Bandung itu terlalu banyak orang yang punya rencana: Bandung kota inilah, kota itulah, kota kreatif industrilah..terlalu banyak jargon dan klaim, tetapi tidak menyentuh lapisan persoalan yang signifikan. Terlalu banyak intrik kepentingan..entah itu bermotif ekonomi atau politik. Belajar dari Yogyakarta aja dulu deh..tidak usah jauh-jauh banding-bandingin dengan kota-kota di Amerika... (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 8 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment