Sunday, August 08, 2010

Mengenang Rendra

SATU tahun sudah Rendra meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Ia dipanggil Allah SWT pada 6 Agustus 2009, di Depok Jawa Barat. Sastrawan sekaligus budayawan yang bernama lengkap Willibrordus Surendra Bawana Rendra itu, lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 7 November 1935 lalu, hasil dari perkawinan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dengan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo. Selain itu, ia juga dikenal sebagai dramawan tradisional. Sementara ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta.

Sepulang dari Amerika pada 1967, ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Bengkel Teater pada masa pemerintahan Orde Baru sempat mendapat tekanan politik, sehingga tidak aktif. Hal itu disebabkan oleh daya kritis Rendra terhadap rezim Soeharto yang dinilainya korup dan represif terhadap rakyatnya sendiri, yang diungkap lewat berbagai naskah teater seperti Mastodon dan Burung Kondor, Sekda dan Perjuangan Suku Naga yang secara esensial selain bicara soal masalah lingkungan hidup, juga bicara soal penghisapan yang menyebabkan rakyat kecil senantiasa diposisikan sebagai korban pembangunan. Akibat naskah yang ditulisnya itu, Rendra pada satu sisi dinilai sebagai orang berbahaya, dan dianggap sebagai penghasut.

"Apa yang saya tulis sesungguhnya menumbuhkan daya kritis rakyat terhadap jalanannya roda pembangunan yang tidak hanya merusak lingkungan hidup pada satu sisi, tetapi juga merusak tatanan ekonomi rakyat. Ekonomi desa menjadi macet, karena uang berpusat di kota," ujar Rendra dalam sebuah kesempatan di Leiden, yang saat itu berbincang-bincang dengan Prof. Dr. A. Teeuw, Indonesianis asal Belanda, pada 1999, Rendra selain diundang mengikuti Festival de Winternachten juga mendapat undangan kehormatan tinggal di Belanda selama enam bulan dengan sponsor dari Kerajaan Belanda untuk kerja budaya, antara lain menerjemahkan puisi penyair Belanda, Remco Campert ke dalam bahasa Indonesia.

**

Rendra menerbitkan kumpulan puisinya yang cukup terkenal, Blues Untuk Bonnie. Kumpulan puisi ini untuk pertama kalinya ini diterbitkan penerbit buku Tjupumanik, Cirebon. Selanjutnya diterbitkan oleh PT Pustaka Jaya. Kedua penerbitan buku puisi tersebut dikelola penyair Ajip Rosidi. Buku itu kemudian diterbit ulang oleh PT Bentang Pustaka (Yogyakarta) dengan judul Stanza dan Blues, dengan tambahan dari kumpulan puisi lainnya, yang juga ditulis oleh Rendra, diambil dari antologi puisi "Kakawin-kawin" atau "Empat Kumpulan Sajak". Adapun kepergiannya ke Amerika pada 1964-1967, selain memperdalam teater di American Academy of Dramatical Art, Rendra memperdalam juga ilmu sosiologi, yang di kemudian hari menjadi titik pijak bagi dirinya dalam mengamati berbagai situasi sosial yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Ia juga memperdalam ilmu sejarah. Daya bacanya cukup kuat, dan yang penting, Rendra tidak pelit ilmu dan juga tidak pelit dengan uang bila ada orang yang harus ditolongnya, entah untuk kawinan, biaya melahirkan, atau untuk biaya sekolah.

"Menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain itu susah. Saya sedang belajar tentang itu. Tak ada gunanya pelit dengan ilmu maupun harta, karena tidak bermanfaat bagi kehidupan itu sendiri," kata Rendra, yang berkali-kali diucapkannya tidak hanya di Belanda, juga di rumah pelukis Herry Dim di Cibolerang, Bandung.

Berkait dengan keberpihakan Rendra terhadap lingkungan hidup, dan daya kritisnya terhadap rezim Orde Lama maupun rezim Orde Baru dalam penulisan puisi, sesungguhnya sudah bisa kita lacak mulai dari kumpulan puisinya yang diberi judul Blues Untuk Bonnie. Puisinya yang diberi judul Kesaksian Tahun 1967 selain mengungkapkan harapan atas pergantiannya alih kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru juga mengungkapkan kekecewaannya atas dicanangkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dan itu berarti pada satu sisi bakal terjadi perusakan lingkungan hidup atas nama pembangunan. Tambang-tambang baru dibuka, hutan dibabat habis, dan isi bumi dikeruk. Yang untung dari semua itu secara esensial sebagaimana diungkap Rendra, bukan rakyat atau negara tetapi pemilik modal asing.

Rendra tidak anti dengan pembangunan, apapun bentuk pembangunan itu sendiri. Yang ia sesalkan, mengapa pembangunan di negeri ini selama ini, selalu tidak mengindahkan lingkungan hidup dan keadilan sosial bagi rakyat kecil? "Jadi salah kalau selama ini saya dituduh antipembangunan? Apa salah orang mengingatkan lingkungan hidup dan lingkungan sosial-politik yang sehat dalam berbangsa dan bernegara?"

Apa yang dikatakannya itu, dan apa yang ditulisnya itu menjadi kekayaan yang tak terduga bagi bangsa dan negara Indonesia. Berkaitan dengan itu, sudah selayaknya kita mengenang Rendra, karena apa yang dipikirkannya itu ada benarnya. Misalnya soal lingkungan hidup. Jika lingkungan hidup rusak, lalu bagaimana nasib keturunan kita di masa mendatang? Toh nyatanya, kehidupan bukan hanya untuk hari ini. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 8 Agustus 2010

No comments: