-- Hikmat Gumelar
DALAM bidang teater, Kabupaten Majalengka belum seperti Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, dan Indramayu, apalagi Kota Bandung. Kabupaten ini bisa disebut belum ada dalam peta teater Jabar.
Hal tersebut buah dari kenyataan bahwa di Majalengka, sepengetahuan saya, sampai kini belum pernah ada satu pun kelompok teater yang rutin mengadakan pertunjukan. Kelompok-kelompok teater yang (pernah) ada keberadaannya paling hanya mengadakan sekali-dua pertunjukan. Mereka yang terlibat di kelompok-kelompok itu pun orang-orangnya sama. Pun sangat jarang ada kelompok teater dari luar Majalengka bermain di wilayah kabupaten tersebut.
Namun, justru karena itu, Teater Nalar dan Forum Sastra Bandung memilih Majalengka sebagai tempat pertama "Safari Teater & Sastra". Sebagian dari kami menganggap pilihan ini sebagai pilihan konyol. Namun apa yang kemudian kami alami selama tiga hari (13-16 Juli) sungguh di luar dugaan.
Sekolah jadi pilihan Teater Nalar dan Forum Sastra Bandung untuk bermain. Memang kebanyakan kita memandang remeh teater dan sastra. Teater dan sastra dipandang sekadar sumber kesenangan yang membantu kita lari sesaat dari kepungan masalah keseharian yang kian memberat.
Penalaran seperti itulah yang mendorong kami membawa "Yang tak Sampai" ke Majalengka. Repertoar ini pendek dan sederhana. Setting-nya sebuah taman kota. Perannya empat tokoh; lelaki, perempuan, dua pengamen. Perempuan diperankan bergantian oleh Risnasari Rosman, Ratih Chrise, Choirunnisa. Lelaki juga begitu. Pemerannya Refki Bahari, Harri Pratama Aditya, Adam Hairul Azhar. Dua pengamen diperankan oleh Reza Ganes dan Yoga. Ada yang menafsir repertoar ini bertema cinta. Ada juga yang melihatnya sebagai teks yang menyoal perkara kegagalan komunikasi dan kesepian sebagai buah dari cara hidup instan dan instrumental. Mungkin masih ada tafsir lain lagi. Yang pasti, seluruh dialog tokoh lelaki adalah puisi bertema cinta karya Sitor Situmorang, Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Juniarso Ridwan, dan W.B. Yeats. Dan tokoh lelaki yang bekerja sebagai copy writer ini amat suka "Sound of Silence", lagu Simon-Garfunkel.
Hasrat besar
Di Kabupaten Majalengka, semula kami hanya akan main di SMAN 1 Majalengka, SMAN Maja, SMAN Jatiwangi, dan SMA Islam Al-Mizan. Di SMAN 1 Majalengka, kami akan main dua kali. Pertama, mulai pukul 10.00 WIB, untuk para siswa SMAN itu. Kedua, mulai pukul 13.00 WIB, untuk guru bahasa Indonesia se-Kabupaten Majalengka. Namun, saat kami menata panggung di SMAN 1 Majalengka, Asikin Hidayat, guru SMP dan penyair yang bergiat di Komunitas Sastra Majalengka (KSM), panitia penyelenggara "Safari Sastra & Teater" di Majalengka, memanggil saya. Dia membawa saya bertemu kawan lama yang ternyata mengajar bahasa Indonesia di satu SMA di Majalengka. Kawan ini rupanya bukan saja mau sosonoan, tetapi utamanya meminta Teater Nalar untuk main juga di SMA tempatnya jadi guru. Tiga guru lagi, dari SMA yang berbeda-beda, dan dalam waktu yang juga berbeda-beda, meminta hal sama.
Kami merasa tersanjung dan terharu. Betapapun, permintaan itu sebuah penghormatan. Namun kami pun menyesal karena hanya bisa memenuhi satu dari empat permintaan itu. Kami hanya bisa menambah satu hari di Majalengka untuk main, yakni di SMAN 1 Jatitujuh.
Kami sungguh mau benar memenuhi permintaan para guru itu. Terlebih pentas pertama di hari pertama yang padahal berlangsung di aula yang lebih pas untuk main bulu tangkis, rasa-rasanya berjalan mulus. Penonton yang terdiri dari para siswa dan guru-guru tampak apresiatif. Beberapa siswa mengajukan tanggapan yang bukan saja menunjukkan bahwa mereka menyimak "Yang tak Sampai", tetapi mengkritisinya dengan cerdik. Seorang siswa berkata, "Bagaimana caranya membuat teater yang komunikatif?"
Pertunjukan kedua masih di SMAN 1 Majalengka. Akan tetapi tempatnya bukan lagi di aula, melainkan di kelas. Penontonnya yang semuanya guru bahasa Indonesia duduk dengan menghadapi meja, persis para siswa saat jam pelajaran berlangsung. Ruang 2 meter x 4.5 meter ini disulap jadi taman kota dengan membuat dua bangku taman dari empat kursi, dua kursi untuk pengamen, dan satu pohon yang pura-puranya bunga kertas. Para pemeran berperan tanpa rias dan kostum khusus. Meski begitu, para guru tampak menyimak pertunjukan dari mula hingga ujung. Dan saat diskusi, mereka mengajukan berbagai tanggapan yang berkaitan dengan "Yang tak Sampai". Salah seorang melontar tanya, "Bagaimana caranya membuat teater yang murah dan mudah?"
Pengalaman di hari pertama itu keruan membuat kami mau main di sebanyak mungkin SMA di Kabupaten Majalengka. Namun, apa hendak dikata, kami harus pula menyiapkan pementasan di Ciamis. Maka di Kabupaten Majalengka, kami semata bisa main di tempat-tempat yang telah disebutkan. Di tempat-tempat itu pun, kami mencecap pengalaman yang lebih dari yang diharap.
Dengan dipimpin Ibu Nunung, panitia di SMAN Jatiwangi, betul-betul sangat membantu. Dalam waktu tak sampai satu jam, bersama mereka, kami menyulap tiga ruang kelas yang dua dindingnya disekat papan jadi gedung pertunjukan yang terdiri dari panggung arena dan ruang yang sanggup menampung sekitar 300 penonton. Mereka berhasil menciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara pementasan dan penonton. Sebagian dari mereka, turut bernyanyi bersama dua pengamen.
Di SMAN 1 Jatitujuh, kami main di dua ruang kelas yang disulap jadi gedung pertunjukan. Yang menyulapnya panitia dari SMA ini, yang dipimpin oleh Pak Memet. Bahkan dinding belakang panggung mereka buat seperti yang kami harap, yakni ditutup layar hitam. Dan di sini, selama dua kali pertunjukan, penontonnya, seperti dikata Nandang Darana, penyair yang bergiat di KSM, "sangat responsif". Berulang mereka tertawa menyusul Perempuan yang diperankan Risnasari berulang mengucap, "Kamu baik. Tak seperti orang-orang."
Di SMAN Maja, kami main di aula. Dan seperti aula SMAN 1 Majalengka, aula SMAN Maja pun lebih pas untuk main bulutangkis. Akan tetapi di aula SMAN Maja, kami bisa dengan mudah memasang layar putih sebagai dinding belakang panggung. Dan di situ, usai pertunjukan, kami bisa leluasa memberikan lokakarya bagi sekitar 250 siswa. Mereka dibagi jadi enam kelompok. Tiap kelompok dibimbing seorang dari kami. Mereka riang dan penuh mau mempraktikkan materi demi materi lokakarya. Puncak dari lokakarya selama hampir satu jam ini adalah pertunjukan tanpa kata dari masing-masing kelompok.
Pada malam sehabis kami main dan mengadakan lokakarya di SMAN Maja, "Yang tak Sampai" main di Aula Bina Asih. Di sinilah satu-satunya saat di mana "Yang tak Sampai" main dengan menggunakan lampu. Dan di sini ada juga musikalisasi puisi dan pembacaan puisi oleh Asikin Hidayat, Nandang Darana, Diah (aktor), Rizal (musisi), Rahmat Iskandar (wartawan), H. Rieswan Graha (Kadisporabudpar Majalengka). Mereka menghadirkan puisi di panggung dengan cara masing-masing yang khas dan menarik.
Rieswan tampil santai. Pembacaannya diawali dengan humor, "Sebetulnya, daripada membaca puisi, saya lebih bisa pidato seratus kali. " Semua penonton tertawa, termasuk Novan dan Yerma, dua anak SD yang duduk tepat di samping saya. Lepas susut tawa, pelan Riswan mengucap judul puisi. Sejak itu hingga ia usai membacakan puisi berbahasa Sunda, hening memenuhi aula Bina Asih. Hal ini, hemat saya, merupakan tanda bahwa Rieswan dekat dengan puisi dan teater. Dan tanda ini agaknya menggarisbawahi perkataannya yang dilontar dalam diskusi yang berlangsung di aula itu, pada sore sebelum ia membaca puisi, yakni bahwa "Disporabudpar siap memfasilitasi penyelenggaraan seminar seni dan budaya, dan pendirian sangar sastra dan teater di sekolah-sekolah".
Oleh karena itu, diam-diam saya merasa masygul. Kabupaten Majalengka beruntung memiliki potensi besar untuk berteater dan bersastra. Akan tetapi, kenapa teater dan sastra belum pula tampak mewarnai perjalanan kabupaten ini? Apa gerangan sebabnya?**
Hikmat Gumelar, Koordinator Institut Nalar Jatinangor dan sutradara "Yang tak Sampai".
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 8 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment