-- Djasepudin*
KETIMBANG jejak sejarah dan budaya Sunda macam keraton, prasasti, candi, atau artefak lainnya--meski pendokumentasiannya kurang rapi dan baik, malah sebagian besar disimpan di luar negeri--jumlah naskah Sunda terbilang banyak. Namun, banyaknya naskah Sunda tidak berbanding lurus dengan jumlah yang mencintai, meneliti, memublikasikan, dan menerapkan nilai-nilai mulia yang tersurat dan tersirat dalam teks naskah Sunda.
Di antara enam ragam aksara dalam naskah Sunda: Palawa/Pra-Nagari, Jawa Kuna, Sunda Kuna, Pégon, Cacarakan, dan Latin, menurut (alm.) Prof. Dr. Edi S. Ekadjati naskah Sunda yang menggunakan aksara pégon jumlahnya lebih banyak ketimbang yang menggunakan aksara lainnya. Aksara pégon umumnya digunakan dalam naskah jenis wawacan. Wawacan, menurut Dr. Kalsum M. Hum., merupakan awal perkembangan karya sastra Sunda naratif tertulis, yang sebelumnya telah lahir karya sastra tertulis yang secara khusus mengemas ajaran.
Di antara ratusan naskah wawacan, yang telah dibaca dan dikaji secara sastra dan filologi adalah naskah Wawacan Batara Rama. Naskah Wawacan Batara Rama koleksi Museum Geusan Ulun di Sumedang yang terdiri atas 89 runtuyan pupuh meliputi 3.027 pada/bait telah diteliti oleh ahli filologi dari Universitas Padjadjaran, Dr. Kalsum M. Hum.
Berdasarkan disertasi Wawacan Batara Rama: Edisi Teks, Kajian Struktur, dan Intertekstualitas, dijelaskan, Wawacan Batara Rama (WBR) karya R.A.A. Martanagara (1845-1926), seorang ménak, keturunan Sumedang yang menjadi bupati Bandung (1893-1918). Awal penulisan WBR ketika pengarang diangkat menjadi Bupati Bandung, pada 29 Juni 1893, adapun WBR selesai ditulis pada 4 Oktober 1897.
Naskah WBR diduga kuat ditulis oleh R. Adiwangsa panghulu Conggeang dengan cara didikte oleh R.A.A. Martanagara dalam lantunan tembang. Perkiraan itu didukung oleh bukti: terdapat penyimpangan tanda padalisan yang terpola, diletakkan pada pedotan sebanyak 7 kali, serta munculnya bunyi bahasa yang tak bermakna (kontaminasi) akibat penggabungan sejumlah kata atau morfem.
WBR mengisahkan kehidupan Sri Rama yang terkenal dengan sebutan Ramayana. Ramayana berasal dari cerita India Kuno, diciptakan beberapa abad sebelum Masehi. Mengutif Willem Stutterheim, Kalsum menyebutkan, Ramayana memasuki khazanah kesusastraan Nusantara Kuno ke pulau Suwarna Bhumi Sumatra dan Jawa.
Dalam kesusastraan Melayu kisahnya terkenal Hikayat Sri Rama, di pulau Jawa Kakawin Ramayana (KR) dan Pantun Ramayana (PR). WBR dan PR sama-sama diciptakan di wilayah Sunda. Namun WBR hasil gubahan Martanagara dari Serat Rama (SR) berbahasa Jawa yang memiliki asal-usul yang sangat jauh dengan KR. Kalsum menandaskan, penggubahan kisah dari KR ke SR dipisahkan jarak waktu kurang lebih 10 abad. Penggubahan dari SR ke WBR jarak waktu penggubahan dan penciptaannya kurang lebih 2 abad.
Rentang waktu yang sangat panjang Ramayana dari cerita kuno di wilayah India hingga dicipta Martanagara di tanah Sunda, berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan penafsirannya, otomatis WBR memiliki ciri mandiri di berbagai segi, di antaranya pengubahan struktur dan makna. Sehingga WBR bisa dipandang sebagai kisah Sri Rama yang khas Sunda.
WBR tergolong wawacan mite, yang dieksplisitkan pada judul kata batara. Sri Rama sebagai tokoh utama dan tokoh sentral titisan Wisnu, dalam rangka menghancurkan kezaliman dan kemurkaan Raja Dasamuka. Sebagai mite, WBR dilatarbelakangi agama atau keagamaan pra-Islam Hindu Budha. Adapun WBR diciptakan 1893-1897, pada waktu itu masyarakat Sunda sudah memeluk agama Islam selama kurang lebih 3 abad sejak abad ke-16. Bentuk wawacan itu sendiri merupakan genre produk sastra zaman Islam.
Salah satu ciri WBR diwarnai unsur Islam adalah hadirnya kosa kata Islam yang bernapas Sunda. Adanya kata masjid dan kulah adalah salah satu penandanya: Aya masjid paragi semédi/ ditarétes ku inten berlian/ saéstu diahéng-ahéng/ paragi ratu munjung/ reujeung aya nu hébat deui/ kakayon dasar emas/ tangkal katut daun/ kembangna inten berlian/ diréréka dikuriling maké cai/ kulah tambakan emas// (Ada masjid untuk beribadah/ ditatah intan berlian/ sungguh dibangun megah/ untuk raja bersembahyang/ ada yang lebih mengagumkan/ pepohonan terbuat dari mas/ batang dengan daunnya/ bunganya intan berlian/ dihiasi dikelilingi air/ kulah ‘tempat berwudu’ kolam dari mas//.
Kalsum menyimpulkan, konsep keislaman yang tampak dalam WBR adalah bercampurnya/sinkretisme teosofi tasawuf dengan seruan jaman pra-Islam. Pemikiran-pemikiran tasawuf yang disajikan dalam WBR terjalin sangat halus ditenunkan dalam hamparan karya berlatar belakang Hindu Budha yang pekat mewarnai seluruh karya dari awal sampai akhir.
Menurut Kalsum, WBR menyajikan kepemimpinan secara adil dan berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Ajaran ini sangat bermanfaat untuk para pemimpin masa kini dalam menjalankan roda pemerintahan guna mengikis tujuan meraih keduniawian secara berlebih-lebihan.
Seperti tercermin dari epilog dalam kisahan yang berbunyi: Réh maksudana nyundakeun Sri Rama, pakeun ngalolongsong haté, nyegah napsu ka batur, mamrih kana budi manis, sabab carita Rama, éta leuwih alus, réa keur baris tuladan, lalampahan nu murka reujeung nu adil, kabéh bukti jadinya.
Untuk memudahkan masyarakat menikmati dan mengkaji disertasi super tebal ini akan lebih baik bila hasil penelitian tentang salah satu karya Bupati Bandung R.A.A. Martanagara ini dipindahkan dalam bangunan buku. Adakah yang mau peduli?***
* Djasepudin, Alumnus Program Studi Sastra Sunda Unpad, tinggal di Bogor dan Jatinangor.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 11 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment