-- Dede Syarif*
SEPERTI ribuan kaum urban yang lain, pada Idulfitri 1429 H yang baru lalu, saya mudik ke kampung halaman saya, Kampung Sukamandi, Kabupaten Garut. Hampir satu pekan saya berada di sana. Akan tetapi, rasanya seperti berada di Jakarta, bukan di kampung yang dulu saya kenal. Di kampung itu tidak lagi terdengar tegur sapa dalam bahasa Sunda, sikap someah pada sesama, bahkan jenis makanan yang dikonsumsi para pemudik, air yang mereka minum, bukan jenis makanan dan minuman yang dihasilkan dari perut bumi yang ada di kampung halaman saya.
Mudik yang terjadi setiap tahun meninggalkan cerita tersendiri bagi warga kampung. Hari Lebaran menjadi saat yang paling ditunggu. Alasannya, selain akan bertemu sanak saudara, Lebaran juga menjadi ajang pertunjukan (show off) kesuksesan para warga kampung yang nyaba ke kota. Pakaian, handphone, kendaraan, bahkan celotehan bahasa mereka menjadi bukti nyata bahwa mereka sudah beda, bukan warga kampung yang dulu lagi.
Anomali pembangunan
Fenomena mudik mungkin merupakan sebuah anomali dari pembangunan yang berpusat di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lain di tanah air. Para penduduk desa berduyun-duyun ke kota untuk mengubah nasib yang tak kunjung berpihak pada mereka. Tanah dan ladang di hampir semua desa di Indonesia tak lagi menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan penduduk desa. Pekerjaan juga tidak tersedia. Akhirnya, mereka nyaba (pergi ke kota) ikut mengadu nasib bersama saudara-saudara mereka yang sudah dulu berangkat ke kota.
Secara sosiologis, gejala sosial seperti mudik disebabkan antara lain ketidakmerataan pembangunan. Pilihan strategi pembangunan yang sentralistis di kota-kota besar menjadi faktor terjadinya ketimpangan ini. Sementara itu, desa-desa dijadikan pendukung, penyangga bahkan tumbal pembangunan yang dipusatkan di kota tersebut. Warga desa yang tidak kebagian kue pembangunan terpaksa harus pergi meninggalkan desa dan berebut kesuksesan di kota-kota besar. Setiap Lebaran tiba, mereka membawa sebagian kue pembangunan tadi untuk dibagikan kepada sanak saudara mereka di kampung-kampung. Inilah fenomena mudik yang oleh masyarakat kita telanjur dianggap sebagai tradisi yang bernuansa agama. Padahal, mudik lebih merupakan efek domino dari ketidaktepatan strategi pembangunan selama ini.
Arogansi kota tidak hanya merampas fisik warga desa dengan menjadi kaum urban di kota-kota, tetapi juga merampas sisi subtil dari manusia desa, yaitu kebudayaan, adat istiadat, bahkan pikiran dan rasa yang ada pada indra mereka. Pada satu sisi, urbanisasi bisa jadi merupakan medium mobilisasi sosial bagi warga desa untuk memperbaiki kualitas kehidupan, terutama ekonomi. Mobilitas tersebut seakan telah mengangkat derajat manusia-manusia desa, tetapi mereka harus membayarnya dengan kehilangan cita rasa budayanya. Mereka tercerabut dari rahim budaya yang melahirkan dan membesarkan mereka. Maka tidak heran jika setiap mudik, kampung saya, mungkin juga kampung-kampung lain di negeri ini, kedatangan warganya yang tidak lagi seperti pribumi. Lihatlah busana mereka yang mirip para artis sinetron di televisi, gaya bicara yang lu, gue dengan logat ala orang kota, serta makanan dan minuman kemasan yang mereka konsumsi.
Dalam khazanah bahasa Sunda ada istilah yang tepat untuk menyebut gejala tersebut, yaitu unggah adat. Term ini bernuansa pejoratif (negatif). Makna dari istilah ini lebih sebagai cibiran atas sikap orang yang tiba-tiba berubah perilakunya karena capaian yang bersifat material, seperti status, kekayaan, dan jabatan. Misalnya seorang warga desa yang sukses menjadi kaya, tiba-tiba tidak lagi menegur saat bersua tetangga, tetapi menunggu disapa. Alasannya karena sekarang dia merasa lebih terhormat. Nada bicara mereka menjadi tinggi ketika bicara. Mereka merasa seakan meningkat derajat budayanya dari warga biasa menjadi warga yang lebih terhormat. Padahal sejatinya, hal itu hanya sementara. Inilah perilaku sebagian kaum urban yang mudik ke kampung.
Saat Lebaran tiba merupakan puncak dari kemeriahan bagi para pendatang dan seluruh warga. Pakaian mereka serbabaru, makanan dan minuman kemasan, rokok merek terkenal bahkan parfum serta make up yang mereka kenakan sangat mencolok. Inilah gaya hidup para pemudik yang hilir mudik di kampung pada hari Lebaran. Alhasil, hari Lebaran berlangsung layaknya pesta. Sebuah kemeriahan bagi warga desa untuk menikmati sedikit dari kue pembangunan yang dibawa ke desa mereka. Sebuah sukacita yang hanya sebentar. Pertunjukan para pemudik, dengan segala aksesorinya, biasanya hanya bertahan selama tiga hari hingga pasca-Lebaran. Selanjutnya, mereka akan kembali pada selera makan dan minum yang dulu. Mereka tidak lagi minum soft drink, makan makanan kemasan, dan tidak lagi mengisap rokok merek terkenal. Hingga saatnya arus balik tiba yang memaksa mereka kembali lagi ke kota untuk merenda harapan baru.
Inilah episode Lebaran yang hiruk-pikuk itu. Sebuah fenomena budaya yang kita anggap taken for granted. Padahal, pada perspektif budaya, mudik merupakan penanda keterasingan warga desa dari budaya leluhurnya. Desa dan kampung hanya akan didatangi layaknya tempat ziarah. Urbanisasi telah melahirkan generasi-generasi yang penuh nostalgia, sembari lupa pada akar budayanya. Tragis! ***
* Dede Syarif, Peneliti dan dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 11 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment