Sunday, October 05, 2008

Esai: Seni dan Materialisme Identitas

-- Afrizal Malna*

HANYA setengah dari jumlah kendaraan di Beijing bergantian mengisi jalan setiap hari selama Olimpiade berlangsung. Karena itu kota bisa bernapas dan mengalir. Malam hari kota itu berubah menjadi kota cahaya.

KATALOG PAMERAN / Kompas Images

Beijing, salah satu di antara kota-kota di Asia, di mana infrastruktur tidak hanya memfasilitasi seluruh denyut kota, melainkan juga tumbuh sebagai sebuah seni rupa publik. Urban adalah ikon besar di mana seluruh performance kota dipertaruhkan untuk lalu lintas ekonomi, politik, dan kebudayaan. Kota di mana konflik nilai-nilai primordial dianggap kian tidak relevan lagi untuk kehidupan bersama untuk kehidupan yang saling berbagi.

Image baru dari ikon urban itu adalah seni rupa. Publik seperti membaca dirinya kembali, mimpi-mimpi buruknya, luka-lukanya, dan apakah waktu dan apakah hidup lewat seni rupa. Dan lihatlah.

Sejumlah galeri membawa beberapa perupa Indonesia dalam pameran Art Beijing (5-9 September) dan Art Shanghai (9-13 September) lalu. Dalam waktu yang sama juga berlangsung Shanghai Biennale, Shanghai Art Fair Butterfly Dream, Guangzhou Triennal, Korea International Art Fair, Art Taipe, Singapure Biennal dan masih berlanjut di kota-kota Asia lainnya hingga akhir tahun ini, termasuk transaksi-transaksi di balai lelang.

Ratusan galeri dan ribuan seniman perupa merupakan mobilitas baru dalam forum maupun pasar seni rupa itu. Kesempurnaan teknik, gagasan, dan jaminan penggunaan material yang baik menjadi semacam standar umum mengukur karya sebagai produk dalam fenomena itu. Alat-alat berat hilir mudik mengangkut karya ketika persiapan berlangsung, dari ukuran kecil hingga yang super besar, di antaranya kereta tua dari lokomotif hingga gerbongnya (Express Train karya Jing Shijian) seberat 40 ton yang dipamerkan sebagai instalasi di Shanghai Biennale. Mobil mewah dan peralatan-peratalan digital mutakhir bermunculan di sana-sini.

Bau industri seni tercium lebih kencang dibandingkan kegelisahan menghadapi ambiguitas seni itu sendiri.

Gerakan Seni Rupa Baru, Pasar Raya Dunia Fantasi, pada dekade 1980-an yang dimotori perupa- perupa Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta telah meninggalkan dialetika Hegel dalam seni dan menyatakan realisme baru bahwa dunia kesenian berada bersama dunia sehari-hari, mekanisme pasar dan produk-produk visual lainnya. Dialektika roh diganti dengan dialektika materialisme.

Gerakan itu tidak ditopang kondisi obyektif kehidupan seni di Indonesia yang tidak memiliki mekanisme antara infrastruktur dan suprastruktur seni, lebih lagi kebudayaan yang masih dipahami dari konstruksi kekuasaan kolonial (puncak-puncak kebudayaan daerah). Gerakan Seni Rupa Baru, yang bisa dibaca sebagai awal dari pandangan memperlakukan seni sebagai produk industri, oleh sebagian pihak mungkin dilihat sebagai ”pelacur” yang panik melihat hari tua.

Namun, itulah yang terjadi dengan seni rupa kontemporer China sekarang ini: standardisasi industri dan mekanisme pasar menggantikan kompleksitas wacana seni. Di China: politik adalah disiplin, ekonomi adalah transportasi, olahraga adalah power, dan seni adalah industri identitas. Media digital, terutama fotografi, mendasari hampir seluruh proses awal kerja seni rupa kontemporer China. Materialisme identitas berlangsung sedemikian rupa dalam karya-karya kontemporer China. Pada satu sisi memperlihatkan kebesaran dan perubahan China, tetapi pada sisi lain juga memperlihatkan luka-luka China.

Zhenghui Lan, perupa China yang pernah belajar di Shen Yang Metallurgy Collega dan Sichuan of Fine Arts, sebentar lagi akan berpameran keliling di berbagai negara bersama Wenda Gu, mengatakan bahwa China adalah puncak seni rupa kontemporer dunia masa kini.

Namun, menurut Lan, seni rupa kontemporer China juga adalah anak kecil yang masih belajar berjalan, mengambil apa pun yang bisa menjadi bahan untuk kerja seni rupa mereka. Anak- anak yang belum tahu mana yang benar dan yang salah.

Setelah kembali dari Toronto dan China berubah seperti sekarang ini, Lan menolak mengikuti garis seni rupa kontemporer China. Menurut dia, seorang seniman harus punya akar dan karakternya sendiri. Karena itu, Lan kembali menggunakan kertas dan tinta China yang menyimpan sensitivitas dan ketegangan. Menggali bahasa visualnya bersama pertanyaan-pertanyaan genting yang setiap saat memasuki pikiran-pikirannya. Seni untuk Lan bukanlah produk, melainkan problem. Pilihan yang untuk generasi Lan dianggap tidak populer.

Ugo Untoro, salah satu peserta dalam Art Shanghai, memamerkan instalasi maupun lukisan-lukisan yang berangkat dari kehancuran kuda: hewan yang ikut membangun peradaban manusia, menjadi super ego untuk para hero selama sekian abad lalu. Pada karya-karya Ugo berlangsung semacam mutasi tubuh visual kuda ke bentuk-bentuk deformasi baru. Tubuh kuda yang perkasa, seksi, dan tangguh berubah menjadi seperti goresan tipis, meleleh, rapuh, dan ringkih. Seperti sisa-sisa darah pada sejarah: Ugo menyebutnya sebagai poem of blood.

Kejernihan image-image puisi China klasik, liukan dan sabetan kaligrafi China, seperti ikut terbaca dalam karya Ugo: cat minyak dalam gravitasi dan gradasi teknik cat air China klasik. Obyek seakan hanya ditopang oleh kekosongan bidang kanvas. Ugo yang masih bekerja dengan seluruh sensitivitas tubuhnya membedakannya dengan kebanyakan seni rupa kontemporer China di mana tubuh telah digantikan oleh media digital.

Bidang kanvas, yang masih membiarkan berlangsungnya ketegangan ruang antara kekosongan dan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin datang dari luar bidang, mengingatkan pernyataan Made Wianta di sela-sela kesibukan pameran Art Beijing: bahwa Oesman Effendi dan Nashar adalah dua seniman penting Indonesia, yang memberi pelajaran spritualis dan rasionalitas ruang ketika berhadapan dengan dunia kosong pada bidang kanvas. Ketika kanvas mulai dilukis, kegelisahan eksistensial dieksekusi menjadi nyata. Seluruh sensitivitas menjadi momen yang tidak tunduk pada teknik maupun desain.

Sementara itu, seni rupa kontemporer China justru menempatkan teknik dan desain dalam dialektika materialisme kerja seni rupa mereka. Karena itu, kesempurnaan dan kemegahan menjadi penting. Kemungkinan melakukan kesalahan atau bertemu dengan kegagalan diubah menjadi kesombongan yang mencengangkan lewat ukuran maupun berat karya yang serba super. Politik identitas tidak lagi bermain di tingkat substansi, melainkan di tingkat massifikasi, penggandaan dan image global.

Galeri menjadi ujung tombak setelah kurator dalam pasar seni rupa seperti itu dan seniman lebih berperan sebagai aktor ketiga. Sebab, para investor seni rupa harus bisa mengikuti perkembangan performance galeri sebagai lembaga yang menjadi jaminannya: Galeri bertanggung jawab atas jatuh bangunnya seniman yang berada dalam promotingnya.

Di Art Beijing, galeri Indonesia yang ikut antara lain O House Gallery (Affandi, Made Wianta, Hanafi, I Ketut Susena dan foto digital performance Fitri Setyaningsih), Linda Gallery (SP Hidayat). Di Art Shanghai: Gallery Biasa (Ugo Untoro), Gallery Langgeng (S Teddy D, FX Harsono, Ay Tjoe Christine, Filippo Sciascia), Gallery Nadi (Handiwirman Saputra, Alfie), Gallery Vanessa Art Link (Ivan Sagita, Budi Ubrux, Harris Purnomo, Yunizar, Astari Rasjid), Gallery Canna (Agus Suwage, J Ariadhitya Pramuhendra). Termasuk Heri Dono. Rifky Effendy termasuk yang diundang dalam Art Shanghai sebagai kurator.

Menerima maupun menolak pasar itu hampir tidak ada bedanya karena kita telah menjadi bagian darinya. Dari setiap nilai uang yang kita gunakan di baliknya, ada hidup, ketakutan, dan kreativitas. Seni mungkin tak penting lagi setelah kita bisa menyembunyikan luka-luka yang mengonstruksi identitas kita.

* Afrizal Malna, Pekerja Seni

Sumber: Kompas, Minggu, 5 Oktober 2008

No comments: