-- Yesaya Sandang
• Judul: Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Zizek • Penulis: Robertus Robet • Penerbit: Marjin Kiri • Cetakan: I, April 2010 • Tebal: xiv + 243 halaman • ISBN: 978-979-1260-06-0
MENYADARI manusia adalah pembentuk masa depan, maka revolusi dan emansipasi merupakan keharusan yang dimiliki oleh setiap kelas tertindas (proletar). Dari sinilah ditemukan teori politik manusia sebagai subyektus dan agen perubahan.
”Para filsuf baru sekadar menafsirkan dunia dengan berbagai cara. Masalahnya, bagaimanapun, adalah mengubahnya”. Pernyataan Karl Marx itu seakan mewakili kegeraman terhadap pelbagai refleksi filsafati yang hanya puas sampai pada penjelasan tentang berbagai fenomena sosial. Bagi Marx, setiap manusia adalah agen utama pembentuk masa depannya, pembentuk sejarah kehidupannya. Revolusi dan emansipasi—yang kemudian menjadi kata kunci dalam pemikiran Marx—hanya dimungkinkan dengan kesadaran semacam ini, yang tentunya merupakan keharusan yang dimiliki oleh setiap kelas tertindas (proletar).
Namun, seiring perjalanan sejarah, umat manusia di dunia dewasa ini seakan telah kehilangan kedudukannya sebagai agen perubahan. Mengapa demikian? Pascaperang dingin, kapitalisme—bahu-membahu dengan globalisasi—kian menjadi satu-satunya acuan dominan tanpa kontestasi berarti.
Terkait hal ini, Anthony Giddens pernah berpendapat bahwa meredupnya alternatif terhadap kapitalisme telah mengubah pandangan mengenai dasar-dasar masyarakat kontemporer dan dinamikanya. Bahkan, pemikir-pemikir Neo-Marxis pun tiba pada kesimpulan serupa, bahwa dengan perubahan dalam kapitalisme, agen-agen yang berkepentingan tidak lagi dapat dikategorikan ke dalam konsep kelas ala Karl Marx. Dengan kata lain, konsep keagenan tidak lagi dianggap utama sebagai penggerak perubahan.
Di sisi lain, situasi tersebut mendapat kontribusi intelektual melalui postmodernisme dan poststrukturalisme. Robertus Robet, pada bagian awal buku Manusia Politik ini, mencatat bahwa pemikir aliran tersebut—seperti Derrida dan Foucoult—justru memberi legitimasi terhadap matinya subyek. Pada dekonstruksi ala Derrida dan subyektivisasi ala Foucoult, subyek tidak lagi memiliki sandaran yang tetap dan solid, keberadaannya selalu ditentukan oleh praktik-praktik diskursif yang berkembang sepanjang sejarah (hal. 5). Inilah yang kemudian memandulkan pemikiran dan gerakan progresif, yang pada ujungnya mematikan proyek emansipasi.
Problematik di atas kemudian dibidik oleh buku ini, yang diangkat dari disertasi Robertus Robet. Robet secara tegas berupaya untuk memberikan penalaran teoretis mengenai pentingnya teori radikal, kritik radikal, serta pemikiran mengenai emansipasi di tengah era kebebasan politik dan demokrasi. Lebih lanjut—dalam semangat Neo-Marxis—ia menegaskan bahwa adalah tugas filsafat dan teori-teori sosial untuk terus berupaya menemukan peluang-peluang baru bagi terciptanya penjelasan, harapan, dan kemungkinan bagi emansipasi. Hal ini ditempuh dengan merehabilitasi subyek yang sudah demikian terpinggirkan, melalui kajian kritis reflektif terhadap pemikiran Zlavoj Zizek dan beberapa filsuf kontemporer lainnya (hal. 27).
Rekonstruksi subyek
Buku ini mengajak pembaca untuk menelusuri secara kritis berbagai macam sisi yang dihadirkan oleh kapitalisme dalam kaitannya dengan matinya subyek (bab 1). Dalam hal ini, Robet tiba pada kesimpulan bahwa kapitalisme telah merasuk hingga ke struktur mental manusia. Sistem dan logika kapitalisme kontemporer telah mengalami abstraksi sedemikian rupa sampai-sampai menjadi kabur untuk bisa dikenai intervensi manusia. Hasilnya adalah ia (kapitalisme) selalu bisa mengelak dari sasaran perubahan dan terus mengalihkan persoalan pada tingkat individual, yang sebenarnya juga menjadi korbannya (hal. 38). Berangkat dari pemahaman akan situasi tersebut, baru kemudian ia masuk pada upaya rekonstruksi subyek, lengkap dengan dimensi kebebasan serta tindakannya.
Yang menarik adalah apa yang kemudian perlu didesakkan ke dalam pemahaman politik setelah posisi subyek direkonstruksi. Robet terlebih dahulu menandaskan bahwa wajah ganda politik—dipuja sekaligus dicerca—perlu dibedakan menjadi ”yang politis” dan ”politik”. Yang politis dipandang melampaui politik, tetapi bukan berarti ia sama sekali terpisah dengannya. Yang politis dan politik dengan demikian berada dalam relasi yang paradoksal. Keduanya berseberangan, tetapi berada di dalam medan pergulatan yang sama (hal. 218).
Lebih lanjut, Robet menjelaskan, paling tidak ada empat hal mengenai syarat-syarat bagi yang politis. Pertama, yang politis selalu mensyaratkan adanya intervensi terhadap ketakmungkinan. Menurutnya, ini berarti bahwa yang politik memiliki hakikat metafisis. Yang politis tidak berurusan dengan hukum formal, perilaku kelembagaan, dan aktor. Yang politis, dengan demikian, berurusan dengan upaya untuk mengubah koordinat situasi dalam artian yang paling dalam, yakni dasar situasi tersebut untuk menghasilkan suatu kebaruan. Kedua, yang politis selalu mengandung dimensi imajinasi. Artinya, yang politis selalu melampaui apa yang tampak. Ia bersifat progresif dan mengatasi struktur lama. Ketiga, dimensi subyektivitas. Di sini yang politis berarti hanya dapat dipahami dan dialami oleh subyek yang mengemban militansi tertentu, yakni subyek yang menyandang harapan di tengah-tengah ketidakpastian dan ketidakmungkinan situasi. Keempat, dimensi kolektivitas, yakni suatu keadaan di mana subyektivitas mencapai rantai persamaan untuk memasuki suatu diskurus yang sama dalam berhadap-hadapan dengan musuh mereka (hal. 225-227).
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dipahami mengapa persoalan emansipasi, bagi Robet, bukan terletak pada mungkin atau tidak, melainkan definisi dan penetrasi segala matriks kemungkinan dan ketakmungkinan dengan sikap militan. Pada akhirnya tidak ada syarat-syarat legal dan institusional yang bisa dipakai untuk memahami emansipasi. Yang bisa menemukan emansipasi hanyalah kebersamaan dalam yang politis (hal. 236).
Buku ini kiranya dapat dibaca sebagai salah satu upaya untuk memecah kebuntuan teori-teori politik yang tidak lagi mampu menjawab tantangan perubahan, sekaligus juga memberikan energi intelektual baru agar tidak terjebak dalam keletihan sosial (social fatigue). Pada saat yang bersamaan, buku ini juga mampu untuk tetap menjaga kejernihan antara yang politis dan politik.
* Yesaya Sandang, Peminat Filsafat, Tinggal di Salatiga.
Sumber: Kompas, Jumat, 6 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment