-- Ilham Khoiri
PANGGUNG itu dibagi menjadi tiga bagian. Di bagian kiri, ada perempuan sedang termangu di tempat tidur berkelambu putih. Di kanan, seorang pemuda duduk sendirian di sebuah kafe yang sepi. Di tengah, sepotong layar lebar menyajikan panorama alam empat musim.
Suasana hening. Perempuan bernama Harum Murai (diperankan Olga Lydia) itu kemudian bercerita. Dia mencintai kekasihnya yang tinggal berjauhan dan hanya berhubungan lewat surat. Sayang, surat itu isinya aneh-aneh, seperti berkisah soal kuda.
Saat bersamaan, pemuda di kanan panggung yang bernama Satria (Budi Ross) itu berbicara seputar kuda. ”Dari manakah datangnya cinta? Dari mata turun ke hati. Dari mana datangnya kuda, bisa dari mana saja....” Layar lantas dipenuhi video kuda yang berlarian.
Adegan ini membuka pertunjukan ”Hanya Salju dan Pisau Batu” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (3/8) malam. Lakon dengan sutradara Agus Noor ini mementaskan novel karya Happy Salma dan Pidi Baiq dengan judul yang sama. Ini memang menandai peluncuran novel tersebut.
Adegan yang saling merespons itu terus hadir. Ada cerita tentang kafe dan penyanyinya (Dira Sugandi), perempuan cantik bernama Yanet (Marcela Zalianty), penari ronggeng, dukun jaran kepang (Ki Joko Bodo), atau sosok gerilyawan Che Guevara (yang dimainkan dengan menarik oleh Alexandra Gottardo). Ada juga kisah Narsih sang pembantu (Dwi Putrantiwi) yang diam-diam cemburu kepada Harum yang bisa pacaran dengan Satria.
Adegan demi adegan itu bermunculan di tengah surat-surat pasangan kekasih itu. Setiap pembicaraan dalam surat segera mewujud dalam kehidupan nyata di panggung. Permainan itu keluar-masuk sebagai peristiwa yang seolah terpisah sekaligus bersambungan.
Agus Noor menafsirkan struktur novel Happy dan Pidi Baiq sebagai kisah cinta platonis sepasang kekasih. Dia lantas membangun cerita-cerita sesuai buku, mencari bagian-bagian yang cocok dibawakan pemain, serta menambah dialog yang menghubungkannya. Kerja sutradara ini seperti menyusun kepingan puzzle atau mosaik cerita dalam bangunan sebuah drama.
Ternyata, pendekatan cair ini mempermudah proses latihan. Maklum, sebagian besar pemain adalah pesohor yang sibuk. Sementara waktu latihan hanya sekitar dua minggu. ”Masing-masing pemain berlatih sendiri-sendiri secara terpisah. Di atas panggung, akting mereka dirajut oleh kisah cinta Olga Lydia dan Budi Ross,” kata Agus seusai pentas.
Novel
Pendekatan saling merespons itu sebenarnya juga mencerminkan semangat novel Hanya Salju dan Pisau Batu (terbitan Qanita, Juli 2010). Kedua penulisnya, Happy Salma dan Pidi Baiq, punya dua dunia berbeda, tetapi berusaha saling berkolaborasi.
Happy sibuk sebagai presenter, model iklan, main sinetron, dan menulis cerita pendek. Pidi adalah penggiat kelompok band Panasdalam, tim kreatif kelompok Project P, serta perancang desain kaos. Keduanya tak pernah bertemu secara fisik hingga novel itu diluncurkan.
Mereka hanya berhubungan lewat SMS (pesan pendek) dan e-mail (surat elektronik). Kolaborasi itu terjadi tanpa sengaja. Suatu ketika, Happy memberi kata pengantar untuk buku Pidi Baiq, serial Drunken Marmut. Dari situ, kemudian keduanya sepakat untuk kerja bareng menulis novel bersama.
Tanpa pernah bertemu secara fisik, mereka bersahut-sahutan lewat tulisan. Suatu ketika, Happy curhat tentang dirinya atau kegiatannya. Pidi menimpalinya dengan cerita. Kadang tulisan itu mirip catatan harian, kadang berisi tokoh-tokoh fiksi.
Keduanya terus berbagi, saling merespons, dan saling memprovokasi. Tema yang muncul bisa apa saja, mulai dari curhatan pribadi atau menyerempet totoh-tokoh populer, seperti Einstein, Karl Marx, Che Guevara. Semua itu berlangsung delapan bulan sehingga lahirlah sebuah novel bersama yang diberi judul Hanya Salju dan Pisau Batu.
”Semua tumbuh spontan, santai, dan bebas. Rasa penasaran karena tak pernah berjumpa membuat proses penulisan tambah seru,” kata Pidi Baiq.
Happy Salma menikmati proses kreatif ini. Berbeda dengan kumpulan cerpennya, Pulang (2006) dan Telaga Fatamorgana (2008), novel terbarunya ini memberinya keleluasaan. ”Ini seperti rekreasi batin. Saat menulis, saya bisa bersenang-senang dan lebih jujur pada diri sendiri,” katanya.
Pentas itu sendiri makin memperkaya modus peluncuran buku dengan pertunjukan. Sebelumnya, Agus Noor meluncurkan buku kumpulan cerpennya, Sepotong Bibir Paling Indah (Maret 2010), dengan pertunjukan monolog. Leila S Chudori juga pernah meluncurkan kumpulan cerita 9 dari Nadira dengan pentas fragmen Kirana (Desember 2009). (CAN)
Sumber: Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment