-- Ilham Khoiri
BENDA-BENDA mirip peretelan mesin teknologi canggih itu berserakan begitu saja. Ada beberapa lempengan kotak mirip CPU (”central processing unit”) komputer, pipa panjang mirip knalpot, juga bundaran serupa kendang pengeras suara.
Jakarta Art Award 2010 dengan tema Reflection of Megacities di North Art Space, Jakarta, Rabu (4/8). (KOMPAS/ PRIYOMBODO)
Anehnya, perabot mekanik kontemporer itu dirayapi semacam organisme. Bentuknya menyerupai kode-kode mistis tradisional seperti rajah. Bentuknya seperti gugusan mandala, lingkaran berlapis, bentuk keong berputar, atau simbol alam khayal purba.
Gambar-gambar itu saling bertumpuk dan menyisip; menciptakan dunia sublim yang asing. Berbagai peranti teknologi mengentalkan citra metropolis. Sementara simbol-simbol mistis-purbawi memendarkan kesan spiritualis.
Masa depan dan masa lalu seperti hadir bersama dan saling mengisi. Gambaran misterius inilah yang membuat lukisan berjudul ”Wondering Soul III” garapan Putu Wirantawan (38) itu tampak menggoda. Karya seniman Bali lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu memenangi penghargaan utama Jakarta Art Award (JAA) 2010.
Penghargaan kedua diberikan pada dua lukisan lain, yaitu ”Dimensi Perburuan” karya Imam Abdillah (34) dan ”City of Tomorrow” karya Agung ”Tato” Suryanto. Penghargaan ketiga diberikan pada tiga lukisan, masing-masing karya Aditya Novali, Angga Sukma Permana, serta Farhan Siki. Ada juga penghargaan sebagai peserta internasional untuk Halley Cheng (Hongkong) dan peserta senior bagi Mulyadi W (72).
Para pemenang memperoleh hadiah dengan nilai total Rp 225 juta. Mereka terpilih dari 82 nomine, yang juga hasil seleksi dari total 2.400 lukisan. Tak hanya dari Indonesia, pesertanya juga berasal dari Hongkong, Jepang, Korea Selatan, Australia, Filipina, dan Amerika Serikat.
Ke-82 lukisan dinominasikan, termasuk para pemenang, dipamerkan di Galeri North Art Space, Pasar Seni Ancol, Jakarta Utara, 30 Juli-29 Agustus. Semua karya itu merespons tema ”Aspek-Aspek Kota Besar”.
JAA, yang digelar PT Pembangunan Jaya Ancol dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2010 ini merupakan kompetisi ketiga setelah tahun 2006 dan 2008. Tim juri kali ini beranggotakan 10 orang: Srihadi Soedarsono, M Agus Burhan, Efix Mulyadi, Jean Couteau, Bambang Bujono, Agus Dermawan T, Rifky Effendy, Fauzi Bowo (Gubernur DKI Jakarta), Ciputra (pengusaha), dan John Batten (pengamat seni asal Australia).
”Skill”
Apa yang menarik dari JAA 2010? Sebagaimana dua kompetisi sebelumnya, ajang ini tetap mensyaratkan lukisan sebagai karya yang bisa disayembarakan. Ini terasa agak membatasi di tengah kebebasan dan keragaman medium ekspresi seni rupa kontemporer.
Namun, sebenarnya pilihan ini juga bisa disikapi sebagai tantangan. Mampukah para perupa mengolah lukisan sehingga tetap relevan di tengah kemajuan teknologi media baru? Bisakah lukisan dieksplorasi sebagai medium yang cair untuk mengolah berbagai soal konseptual, sejarah, masyarakat, atau mempersoalkan batasan lukisan itu sendiri?
Mengamati karya-karya pemenang, agaknya kompetisi ini cukup mengutamakan keterampilan tinggi ketimbang gagasan baru yang menggedor. Lukisan yang terpilih sebagai pemenang rata-rata memamerkan skill atau keahlian dengan memadukan beragam teknik di atas media dua dimensi.
Putu Wirantawan, misalnya, tekun memainkan bolpoin dan pensil untuk membuat garis-garis tipis di atas kertas. Agung ”Tato” Suryanto menggabungkan teknik lukis dan drawing dengan medium akrilik dan pensil di atas kanvas.
Aditya Novali membuat lukisan pemandangan kota di atas kanvas yang dipotong-potong kecil horizontal. Potongan itu lantas dijejerkan dengan komposisi beragam sehingga membentuk tampilan lukisan yang berubah-ubah. Farhan Siki mengangkat psikologi liar kerumunan manusia kota dengan gaya grafiti jalanan.
Kesegaran narasi mencuat pada lukisan Imam Abdillah, ”Dimensi Perburuan”. Dia melukis ulang sosok-sosok pemburu dalam lukisan ”Perburuan” karya Raden Saleh, tetapi diselipkan di tengah hiruk-pikuk kota besar. Kehadiran orang-orang kuno berbelangkon dan bersenjata keris itu menciptakan keganjilan di kerumunan warga dan suasana metropolitan. Ini menantang tafsir luas.
Di luar itu, agaknya tak terlihat ada karya dengan konsep yang benar-benar mengejutkan. Banyak peserta malah terjebak pada tafsir klise kota metropolitan sebagai pemandangan gedung-gedung tinggi yang berjejalan. Sebagian lagi masih larut dalam pengulangan tren gaya lukisan kelompok Jendela atau bercorak realisme fotografis.
Sumber: Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment