TANPA pernah menyebut dirinya sebagai "kota seni dan budaya", Yogyakarta kembali menyelenggarakan perhelatan seni yang menarik, di Taman Budaya Yogyakarta, 15-29 Juli 2010. Menyebutnya menarik karena event seni rupa ini menyediakan berbagai amatan, dari mulai konteks manajemen penyelenggaraan, materi event, potensi, konsep, dan isu yang dibayangkan, hingga yang leluasa dihubungkan dengan persoalan infrastruktur dan tingkat perhatian birokrasi pemerintah daerah.
Salah satu sudut pameran yang menampilkan sejumlah karya dalam pameran "ART|JOG|10" di Taman Budaya Yogyakarta, 16-29 Juli 2010.* AHDA IMRAN
Perhelatan ini bernama "ART|JOG|10". Pameran seni rupa yang diselenggarakan oleh Jogja Art Fair (JAF). Sebelumnya, dalam dua kali penyelenggaraan perhelatan tahunan ini mengambil penamaan "JAF#". Mengandaikan jangkauan yang lebih luas ketimbang hanya menjadi art fair lokal yang konotasi urusannya melulu dengan isu pasar, tahun ini "JAF#" mengusung nama "ART|JOG|10", lengkap dengan perluasan isu yang ingin diusungnya.
Pameran yang dikuratori Aminuddin T.H. Siregar ini memamerkan ratusan karya 150 seniman dari Yogyakarta, Bandung, Bali, Ngawi, Semarang, Cimahi, Jakarta. Mengambil tajuk Indonesia Art Now: The Strategies of Being, "ART|JOG|10" menyuguhkan berbagai jenis eksplorasi karya yang tak hanya berupa lukisan, drawing, patung, instalasi, objek, tetapi juga digital print, screenprint, video, grafis, hingga keramik. Seluruhnya ingin merepresentasikan sejumlah kecenderungan praktik seni rupa mutakhir dengan mengakomodasi seluasnya genre seni, medium, material, dan juga kecenderungan estetik melalui proses seleksi.
Selain umumnya menampilkan karya para perupa generasi terkini, seperti, Ugo Untoro, Isa Perkasa, Syahrizal Pahlevi, Gus Barlian, Agung Kurniawan (untuk menyebut sejumlah nama), kegiatan ini juga menampilkan karya sejumlah wajah lama. Mulai dari Heri Dono, Nasirun, Krisna Murti, Bunga Jeruk, Edi Hara, Putu Sutawijaya, Erica Hestu, atau Entang Wiharso. Dan meski masing karya menghadirkan berbagai kecenderungan tematik dan strategi estetisnya, pameran ini ingin menjulurkan semacam benang merah ihwal realitas praktik seni rupa kontemporer Indonesia dalam kekiniannya. Kekinian sebagai suatu ihtiar untuk terus menjadi, seperti yang diamanatkan oleh apa yang menjadi tajuk pameran.
Strategi untuk terus menjadi sebagai sebuah pengandaian dalam memaknai praktik seni rupa Indonesia hari ini. Demikian yang dimaktubkan oleh pameran ini, yang dengan itu pula sejarah identitas kembali diperiksa di hadapan kesadaran ihwal waktu. Masa lalu dan kekinian di situ niscaya menjadi sesuatu yang genting bagi keperluan memeriksa identitas.
Masa lalu dan hubungannya dengan identitas sering kali berada dalam asumsi yang usang di hadapan kekinian. Inilah yang amat terasa, misalnya, dalam tiga karya Adhya S. Ranadireksa "The Legend (Now) #1" sampai tiga. Tiga seri karya ini menampilkan tiga tokoh superhero Indonesia yang terkenal dalam komik yang populer pada 1970-an, yakni, Gundala, Godam, dan Aquanus.
Dengan kostum lengkap tiga tokoh komik karya Hasmi dan Wids itu berpose tolak pinggang penuh percaya diri, tetapi dengan wajah sudah menua. Tubuh yang sudah menua membuat kostum superhero mereka yang gagah itu tampak kedodoran. Di situ identitas masa lalu dan tubuh kekinian dihadirkan menjadi sesuatu yang genting dan menggelikan sekaligus menyedihkan.
**
IDENTITAS memang mesti diyakini bukanlah sebagai sesuatu sudah rampung. Melainkan sesuatu yang niscaya terus bergerak bersama sejarah itu sendiri. Membaca dan memeriksa kembali sejarah demi keperluan memaknai identitas bagi kekinian merupakan sebuah strategi untuk terus menjadi dan mengada. Dalam konteks praktik seni rupa kontemporer, identitas itu hendak berhulu pada bumi di mana ia berpijak sebagaimana pameran "ART|JOG|10" ini membayangkannya. Di situ pencarian dan kegentingan untuk menjadi tengah dirayakan, sembari memperkarakan banyak soal.
Maka hadirlah sejumlah karya yang berangkat dari fenomena manusia Indonesia hari ini bersama seluruh tabiatnya. Dari mulai gaya hidup, moralitas politik, lingkungan, sejarah, hingga situasi sosial politik yang menekan sekaligus menerbitkan senyum. Dan satu hal yang amat terasa, pada umumnya karya-karya dalam pameran ini adalah bangun imajinasi yang "liar" dan tak terduga dalam merepresentasikan kesadaran ihwal realitas kekinian dari sebuah Indonesia.
Bangun imajinasi semacam ini, misalnya, langsung bisa ditemukan pada karya patung instalasi Heri Dono, "Menonton Kebodohan". Karya ini menyuguhkan sepuluh ekor anjing dalam posisi berdiri di atas peti kemas yang terbuat dari kayu. Sepuluh ekor anjing itu memakai topeng tengkorak manusia warna perak dan menggigit sebuah tulang. Di depan karya tersebut tersedia sebuah tombol bagi pengunjung, yang ketika ditekan akan membuat kepala sepuluh ekor anjing itu bergerak ke kiri dan kanan seakan tengah mencari dan mengamati orang-orang di sekelilingnya.
Imajinasi Heri Dono menciptakan peristiwa metaforik antara yang memandang dan yang dipandang dalam konteks budaya tontonan, yang dianggap melulu mempertontonkan berbagai kebodohan. Demikian pula bangun imajinasi yang disodorkan oleh Agapetus A. Kristiadana lewat "Binatang Jalan", berupa patung seekor anjing yang sedang mengangkat sebelah kakinya untuk meminum air kencingnya.
Sedang di tengah sebuah ruang, tampak figur dengan wajah seorang anak tengah bermain lompat tali dengan tubuh melayang, "Impossible" karya Arlan Kamil. Dengan memakai bikini tak jelas lagi apakah ia seorang anak atau orang dewasa, seperti juga wajahnya yang tak menjelaskan apakah ia lelaki atau perempuan. Di kepalanya yang plontos bertengger sebutir apel merah bergambarkan peta dunia.
Dan tak jauh dari situ tergoleklah deretan wajah manusia dalam rangkaian buah petai, "No Dinner for Today" karya Idi Pangestu. Juga sebatang pohon kering yang melengkung ditumbuhi kerumunan bangunan megah sebuah kota dalam "City of Gun" karya Hayatudin. Tak kalah menariknya adalah karya Wilman Syahnur yang berjudul "Duduk Bersama Gusdur". Karya patung ini menampilkan sosok Gusdur yang memakai celana pendek dan sedang tertawa, duduk di atas kursi panjang. Kursi yang memancing pengunjung untuk meresponsnya, duduk bersamanya untuk lantas berfoto.
Menikmati bangun imajinasi para perupa semacam itu, tak jelas benar apakah ini yang dimaksud oleh Aminuddin T.H. Siregar sebagai apa yang disebutnya dengan aspek neurotik. Aspek yang mendasari konsep kuratorialnya.
**
LEPAS dari soal apakah "ART|JOG|10" bisa disebut sebagai perhelatan yang sahih untuk dianggap sebagai representasi dari fenomena seni rupa Indonesia hari ini, sebagai sebuah kegiatan, perhelatan ini diam-diam menimbulkan kecemburuan. Sebuah event yang dipersiapkan dengan matang dan melibatkan berbagai elemen di dalamnya. Tak hanya seniman dan komunitas seni, event organizer, pengelola galeri, melainkan juga birokrasi pemerintah. Paling tidak, penyelenggaraan yang mengambil tempat di Taman Budaya Yogyakarta menjelaskan hal itu.
Akan tetapi, lebih dari itu, terasa benar bagaimana event ini lahir dari etos kerja dan sinergisitas berbagai elemen di dalamnya. Manajemen kegiatan yang profesional dan kinerja birokrasi yang tidak berbelit-belit membuat "ART|JOG|10" tak hanya menjadi milik seniman. Letak taman budaya yang berada di pusat kota, bukan di pinggiran kota seperti di Bandung, membuat kegiatan ini bisa diakses dan diapresiasi berbagai lapisan masyarakat.
Dan "ART|JOG|10" hanyalah satu dari sekian banyak kegiatan di Yogyakarta yang senantiasa membuat publik seni budaya di Bandung merasa cemburu, sebutlah, festival tahunan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), JAF#, sejumlah kegiatan yang menghadirkan semangat kebersamaan, tak hanya di kalangan seniman dan aktivis seni budaya, melainkan juga kalangan swasta dan birokrasi pemerintah.
Tentu saja selalu ada sejumlah hal yang menjadi dianggap tak memuaskan dan menjadi semacam gerutuan. Akan tetapi paling tidak, tradisi kebersamaan itu tetaplah terjaga sebagai sebuah etos. Dan lewat "ART|JOG|10", tampaknya inilah yang harus dicemburui oleh seluruh elemen di Kota Bandung. Kota yang sampai hari ini belum juga bisa mengurusi kebersamaannya dalam merancang berbagai peristiwa kesenian. Oleh karena itulah, nyaris belum juga ada penanda yang bisa menjelaskan bahwa kota ini layak menyebut dirinya sebagai "kota seni dan budaya", kecuali pertunjukan doger monyet di banyak persimpangan lampu merah. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 8 Agustus 2010
2 comments:
selalu membuat cemburu..
jogja selalu membuatku cemburu dan rindu..terlalu cinta barangkali dengan budaya dan seni yang ada disana..jogja adalah guruku..i love you jogjakartaaaaaaaaaa..
Post a Comment