Thursday, June 03, 2010

Sekolah Internasional: Kursi Saja Dibedakan...

-- Luki Aulia

KASTANISASI dalam dunia pendidikan di negeri ini bukanlah delusi, melainkan benar-benar nyata. Meski terus dibantah oleh para penyelenggara negara, kenyataan di lapangan berbicara lain: kastanisasi memang ada! Ironisnya, hal itu terjadi di sekolah yang dikelola negara dan ditopang kebijakan resmi pemerintah.

Petugas memeriksa persyaratan administrasi para lulusan SLTP yang akan mendaftar menjadi siswa kelas internasional di rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) SMA Negeri 1 Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (11/5). (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)


Tengoklah fasilitas sekolah-sekolah negeri yang diberi label rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) ataupun yang telah berstatus sekolah bertaraf internasional (SBI). Begitu pun layanan pendidikan yang diberikan, serba full, meminjam ungkapan yang dipopulerkan penyanyi kondang (alm) Mbah Surip.

Di lingkungan internal RSBI saja perbedaan fasilitas yang diterima siswa kelas internasional dan kelas reguler amat mencolok. Apatah lagi dibandingkan dengan sekolah reguler. Anak-anak dari sekolah dan/atau kelas reguler bagaikan masyarakat paria di tengah ”masyarakat bentukan” yang berlabel internasional itu.

Di SMP Negeri 19 DKI Jakarta, misalnya, perbedaan itu sudah terlihat dari kursi yang digunakan. Siswa kelas reguler ”hanya” duduk di kursi kayu yang keras dan kaku. Siswa kelas internasional? Mereka lebih nyaman duduk di kursi plastik dengan rangka stainless steel, dan meja terpisah, seperti yang kerap ditemui di tempat-tempat bimbingan belajar.

Bukan hanya itu. Siswa kelas internasional juga memiliki ruangan khusus yang digunakan sebagai klinik, berikut dokter umum dan dokter spesialis gigi, yang siap sedia setiap Senin hingga Kamis. Siswa kelas reguler? Jauh panggang dari api!

Semua itu bukan tanpa harga. Siswa kelas internasional membayar jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka yang masuk ke kelas reguler. Ironisnya, ini yang jadi alasan pembenar sehingga fasilitas belajar yang disediakan pun berbeda.

Seperti di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 6 DKI Jakarta, proses belajar-mengajar di kelas internasional memanfaatkan teknologi informasi komunikasi yang canggih. Untuk itu, guru yang mengajar di kelas internasional pun harus bisa menggunakan perangkat teknologi canggih tersebut saat mengajar di kelas.

”Mulai tahun ajaran baru Juli mendatang, SMK Negeri 6 hanya membuka kelas internasional Jurusan Multimedia, yakni Desain Grafis,” kata Yurnila Yani, Wakil Kepala SMK Negeri 6 DKI Jakarta.

Menurut dia, kelas internasional mau tidak mau berbeda dengan kelas reguler karena ada tenaga ahli yang didatangkan dari luar. ”Tenaga ahli atau guru outsourcing seperti itu, kan, juga harus dibayar,” kata Yurnila.

Diskriminatif

Meski perbedaan fasilitas dan layanan pembelajaran di kelas sangat mencolok, pihak sekolah mengaku tetap berusaha meniadakan perbedaan di antara keduanya pada kegiatan di lapangan atau luar kelas. Baik kelas reguler maupun kelas internasional sama-sama memperoleh kesempatan untuk mengikuti kegiatan lapangan. Taruhlah seperti kunjungan ke perusahaan-perusahaan atau lokasi wisata di dalam dan luar negeri. Hasil kunjungan kemudian dituangkan siswa dalam bentuk laporan perjalanan.

Hanya saja, tetap ada perbedaan di antara keduanya. ”Kalau siswa kelas SBI (internasional) tidak perlu bayar lagi karena sejak awal biayanya sudah lain. Sementara kelas reguler harus ditawarkan dahulu ke orangtua, bersedia atau tidak, karena setiap kegiatan lapangan ada biaya tambahan,” kata Zuskarwati, Koordinator Lapangan RSBI SMP Negeri 19 DKI Jakarta.

Banyaknya kegiatan dan fasilitas yang diberikan itu dijadikan alasan terkait mahalnya biaya masuk dan biaya bulanan di kelas internasional. Metode pembelajaran dwibahasa atau bilingual (bahasa Indonesia dan Inggris) juga menambah mahal biaya sekolah di kelas internasional, khususnya untuk membayar guru asing (native teacher) yang dihadirkan guna mengajar tiga mata pelajaran (Matematika, Sains, dan Bahasa Inggris) seminggu sekali.

Biaya masuk di sekolah-sekolah berstatus RSBI umumnya Rp 8 juta-Rp 10 juta, sementara biaya bulanan Rp 450.00 hingga Rp 850.000. Kenyataan ini memperkecil peluang anak-anak dari keluarga tak berpunya untuk bisa ikut menikmati pendidikan berkualitas.

Bagi Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, kebijakan semacam ini jelas-jelas menunjukkan bahwa pemerintah berperilaku seperti di zaman penjajahan Belanda: membedakan masyarakat ningrat kaya dan miskin. ”Yang kaya diutamakan, yang miskin tidak diperhatikan. Perlakuan membedakan ini diskriminasi,” tuturnya.

Sebaliknya, Rully Azwar—Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar—menilai, pembedaan sekolah RSBI dan non-RSBI bukanlah bentuk kastanisasi. Menurut dia, pengategorian RSBI dan SBI itu justru upaya pemerintah untuk menggiring semua sekolah agar menjadi lebih baik.

”Ini hanya motivasi penggiring. Tidak ada masalah dengan RSBI atau SBI asalkan ada porsi 20 persen bagi anak dari keluarga kurang mampu. Jangan sampai anak yang berkualitas tidak bisa bersekolah hanya karena ia tak mampu,” kata Rully.

Akan tetapi, kenyataannya sekolah-sekolah berlabel RSBI kini lebih fokus meningkatkan fasilitas belajar semata untuk mengejar label internasional yang disandang. Bahkan, sejumlah sekolah mulai menghapus kelas-kelas reguler yang selama ini membebankan biaya lebih murah kepada siswanya.

Peluang anak-anak tak mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas pun kian sulit. Mereka hanya bisa berharap....

Sumber: Kompas, Kamis, 3 Juni 2010

No comments: