BICARA spiritualitas dalam sastra ternyata sangat luas. Setiap tradisi kepercayaan memiliki kumpulan karya sastra di luar teks suci, tempat para pencari menemukan inspirasi ke arah pengembangan spiritual. Kini, memasuki perkembangan budaya kontemporer, tampaknya spiritual dalam sastra terus berkembang. Tidak sekadar bicara tentang religiositas (keagamaan), tetapi semacam profanisasi dari simbol-simbol sakral dunia spiritual.
Hal itu terungkap dalam diskusi "Spritualitas dalam Sastra" di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, baru-baru ini. Sebagai pembicara dalam diskusi tersebut adalah Yudi Latif pemerhati budaya Islam dan kebudayaan, St Sunardi ahli sastra dan filsafat Arab, dan Abdul Hadi WM peneliti sastra Islam, dengan moderator Radhar Panca Dahana.
St Sunardi mengatakan sastra bisa menjadi bentuk bahasa untuk menyuarakan spiritualitas justru karena sastra menyuarakan imanensi manusia (batas-batas kemanusiaan) dan bukannya melantunkan suara dari langit.
Ia mengutip cerpen Surga Anak-anak karya Najib Mahfuz untuk menjelaskan bahwa spiritualitas tidak hanya dalam lingkungan keagamaan saja, tetapi sejenis pembebasan manusia dalam berpikir.
"Nuansa spiritual tidak mesti terkait langsung dengan agama. Spiritualitas berkaitan dengan suara manusia yang terus-menerus mencari dan mencari. Malah nuansa spiritualitas tidak mesti terkait langsung dengan agama. Sastra memiliki cara sendiri untuk mendefinisikan dan meredifinisikan apa itu spiritualitas," paparnya.
Abdul Hadi yang membahas karya sufi masyhur, Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karangan Fariduddin Attar seorang sufi Persia, menyatakan bahwa kaum spiritualitas atau mistikus (dalam hal ini sufi) memandang sastra sebagai penyajian secara simbolik gagasan dan pengalaman kerohanian yang dicapai penulis sebagai penempuh jalan kerohanian. Simbol-simbol tersebut diambil dari kitab suci, teks keagamaan, sejarah agama, peristiwa-peristiwa sejarah, budaya, cerita rakyat yang mereka kenal, dan sebagainya.
"Peristiwa yang disajikan karya itu bukan peristiwa di ruang kehidupan keseharian atau sosial, tetapi di ruang kejiwaan dan rohani manusia," kata Hadi.
Realitas
Hal serupa menurut dia dapat dilihat dalam karya Bhagavat Gita, Divina Comedia Dante, Faust, dan Goethe.
"Tentu apa yang dipaparkan di sana tetap ada kaitannya dengan realitas di luarnya. Persoalan yang dikemukakan adalah persoalan keseharian, namun berhasil ditransformasikan menjadi persoalan spiritual dan keagamaan," tambahnya.
Hadi mencontohkan, di tengah suasana kehidupan yang penuh krisis, keputusasaan serta ancaman internal dan eksternal karya-karya profetik sufi, seperti Imam al-Gazali, Attar, Rumi, dan Arabi dilahirkan. Melalui karya-karya itu, mereka membangkitkan apa yang sekarang disebut sebagai Teologi Harapan.
Terkait dengan itu, Yudi mengatakan bahwa sastra spiritual lahir saat tradisi lisan beralih ke tradisi tulisan, ketika para mistikus dan penulis kreatif terus berusaha mempertautkan bahasa jiwa sebagai vibrasi dari semesta ini.
"Penulis kreatif dan literatur ini berperan penting dalam semua tradisi agama sebagai ekspresi dari ketuhanan, sehingga setiap tradisi kepercayaan memiliki kumpulan karya sastra, di luar teks suci, tempat para pencari menemukan inspirasi pintu masuk ke arah pengembangan spiritual menuju dunia keajaiban," paparnya.
Menurut Yudi, di kepulauan Nusantara awal tradisi sastra spiritual mengikuti jejak pemikir sufi Melayu setelah abad ke-7 yang secara langsung atau tidak langsung mengarah pada mistikus Islam Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi. [W-10]
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 4 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment