JANGAN mimpi. Mungkin itu kata mujarab saat kita mencari informasi dari Akademi Swedia soal calon peraih hadiah Nobel Sastra. Sikap pelit para anggota Akademi Swedia yang Kamis siang ini akan mengumumkan, siapa sastrawan terbaik versi mereka tahun ini sudah melegenda.
Haruki Murakami (mediathecrimson.com)
Tak sepotong informasi pun bisa didapat dari mulut mereka. Begitulah, para penggemar sastra sedunia harus percaya pada prediksi media massa yang mencoba mengais informasi dari narasumber terpercayanya. Tiga hari terakhir nama yang muncul sebagai kandidat nyaris tidak berubah.
Pemicunya, narasumber yang muncul sama. Namanya, Maria Schottenius. Profesinya, reporter. Jabatannya, Redaktur budaya surat kabar Swedia Dagens Nyheter.
Begitu digdayanya reporter ini sehingga komentarnya kepada AFP, langsung disambar semua media massa sedunia. Menurut Schottenius, kandidat terkuat peraih hadiah yang pasti didambakan para penulis seantero jagat ialah Le Clezio, sastrawan dari Prancis. Alasannya, sang penulis selalu menampilkan semangat kemanusiaan dalam rangkaian kata-katanya. Karya-karya Le Clezio juga mendemonstrasikan pengetahuan sang sastrawan mengenai berbagai budaya di dunia. Jadi, bukan melulu budaya Prancis atau Eropa semata yang mampu ia gambarkan dalam napas karyanya. Ia dengan detail dan indah bisa menggambarkan budaya Afrika dan Amerika Latin. Cukup meyakinkan paparan redaktur budaya yang pasti sudah melahap semua karya Le Clazio itu.
Lalu, siapa lagi kandidat peraih hadiah prestisius itu tahun ini. Haruki Murakami, sastrawan asal Jepang adalah salah satunya. Nama lain yang muncul ialah, sastrawan Korea Selatan Ku On, sastrawan asal Peru Mario Vargas Llosa, penulis asal Kanada, Margareth Atwood, dan penulis asal Israel Amos Oz. Nama Yves Bonnefoy, sastrawan asal Prancis lainnya juga muncul dalam bursa paraih Nobel. Warga negara Italia boleh juga berbangga hati karena sastrawan mereka, Antonio Tabuchi ikut meramaikan bursa calon peraih Nobel Sastra.
Hingga beberapa jam sebelum pengumuman, belum ada informasi terbaru tentang siapa lagi kandidat peraih hadiah Nobel. Dunia sastra harus menunggu sampai anggota Akademi Swedia membacakan langsung sang peraih Nobel di Horace Engdahl, Sekretaris Tetap Akademi Swedia yang terletak di kota Stockholm Kamis ini.
Mengapa Tidak?
Mengapa mesti Haruki Murakami? Mungkin itu pertanyaan yang muncul. Kita bisa berdebat kusir tanpa hasil pooling atau penelitian ilmiah tentang siapa peraih Nobel yang tahun lalu diterima penulis Inggris, Doris Lessing. Berdebat kusir karena Akademi Swedia pun tidak pernah secara rinci menerangkan kriteria calon peraih Nobel.
Kalaulah ada keterangan yang bisa agak menguak teka-teki itu, paling banter hanya komentar, aha, lagi-lagi, seorang reporter Dagens Nyheter yang enggan dikenal namanya.
Haruki menjadi layak jadi sorotan bukan karena dia berasal dari Asia, seperti halnya Ko Un dari Korea Selatan. Dalam dunia perbukuan di Indonesia, namanya sempat mencuri perhatian menyusul terbitnya karya Haruki Murakami dalam edisi bahasa Indonesia. Judulnya karyanya sama dengan edisi aslinya, Norwegian Wood. Judul novel yang bagi penggila the Beatles, pasti dikenal baik.
Perdebatan mengenai karya Haruki Murakami yang edisi bahasa Indonesianya diterbitkan Gramedia, sempat mewarnai jagad buku di Indonesia. Mungkin karena keunikan alur ceritanya. Atau, bisa jadi karena sang penulis ini benar-benar bisa mengungkap sisi lain dari kehidupan yang tidak atau setidak- tidaknya jarang dituturkan penulis lain.
Cerita pendeknya berjudul Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna hasil terjemahan penulis Anton Kurnia pernah dimuat di Suara Merdeka Cybernews mengagetkan banyak pembaca di Indonesia.
Haruki Murakami yang sekarang sering disebut sebagai penulis terbaik Jepang. Karya-karyanya sudah meraih sejumlah penghargaan. Di luar dunia tulis menulis, sang penulis ini ternyata dikenal juga sebagai orang yang mempunyai banyak talenta dan hobi. Di Jepang ia dikenal juga sebagai pemilik Jazz Bar bernama Peter Cat.
Pria kelahiran Kyoto 12 Januari 1949 saat kuliah di Universitas Wasade mengaku tidak suka dunia kuliah. Bisa dimengerti jika sebagian besar waktunya di universitas dihabiskan untuk membaca ratusan skenario film milik Museum Teater milik universitasnya. Bacaannya tersebut ditambah dengan hobinya menyaksikan pertandingan baseball menjadi sumber inspirasi tulisannya.
Namanya menjulang saat menerbitkan Trilogy of the Rat yang dimulai dengan novel berjudul Hear the Wind Sing. Lepas dari berhasil tidaknya nama Haruki Murakami memenangkan Nobel, nama dia tetap akan dikenal di Jepang dan negara lain di mana karyanya diterbitkan dengan bahasa setempat. Leo Tolstoy, penulis legendaris itu pun tidak pernah kehilangan nama besarnya hanya karena tidak pernah mendapat hadiah Nobel Sastra.
Penggemar sastra di Indonesia akan tetap membaca karya sang penulis berjudul Kafka on the Shore yang dalam edisi Indonesia diterjemahkan menjadi Labirin Asmara Ibu dan Anak. Karya itu mendapat komentar segar dari media massa dunia. Harian Independent menyebut karya itu dengan komentar singkat dan penuh makna. "Obat bius paling mujarab dari Murakami." [SP/Aa Sudirman]
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 9 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment