Thursday, October 09, 2008

Blog: "Kompasiana" Menulis Tanpa Editor

-- Pepih Nugraha

KITA mulai tulisan ini dengan kutipan dari blogger Kompasiana, Anton Wisnu Nugroho, wartawan harian ini yang sehari-hari meliput di Istana Negara, Jakarta.

dari sekitar satu jam tampil di mimbar menyampaikan ”sepuluh perintah yudhoyono”, pak beye terlihat tidak pede saat menyampaikan perintah keenam.

Sebelum membacakan perintah keenam itu, pak beye menelan ludah dan mengambil nafas. mungkin berat menyampaikan perintah itu. perintah keenam adalah sebuah perintah klise seperti diakui pak beye. perintah itu sudah diujarkan berulang-ulang sejak orde baru berkuasa. perintah itu berbunyi, ”mari kita lakukan (lagi) kampanye besar-besaran untuk mengkonsumsi produk dalam negeri”.

Perhatikan tulisan yang aslinya terdiri dari tiga alinea ini! Tidak ada huruf kapital meski di awal kalimat, di awal kutipan, atau nama orang. Tanpa tanda tanda baca pun, pesannya tetap sampai dan bisa dimengerti pembaca. Bisakah dibayangkan jika penulisan seperti itu termuat di media masa cetak setelah melalui tangan sensor editor, penyunting, dan penyelaras bahasa?

Mari kita simak isi tulisan itu. Bisakah dibayangkan sebuah media massa yang biasanya santun, penuh tata krama dan etika, menulis berita seperti kutipan di atas, padahal penulisnya adalah jurnalis arus utama dan bukan seorang pewarta warga?

Pada zaman Orde Baru yang penuh tekanan, seluruh media massa cetak harus menulis Presiden Soeharto secara seragam. Tidak boleh menulis ”Pak Harto”, ”Soeharto”, atau ”Presiden Suharto”. Semua harus menulis ”Presiden Soeharto”. Pada tulisan di atas, si penulis dengan enteng menulis ”pak beye”. Melecehkan? Tidak! Ini menunjukkan keakraban saja—karena si wartawan sehari-hari meliput di lingkungan Istana.

Kutipan alinea berikutnya:

selain karena alasan pemerintah sudah klise, pak beye enggak pede lantaran perintah itu paling berat dilakukan. lihat saja apa yang melekat dari ujung kaki sampai ujung kepala para pejabat. berani bertaruh, berapa persen barang-barang yang melekat di tubuh para pejabat itu adalah produk dalam negeri?

Jika masih penasaran dengan konflik, ironi, dan klimaks tulisan itu, silakan membuka alamat http://kompasiana.com atau langsung ke blog penulisnya di http://wisnunugroho.kompasiana.com.

Sentilan

Tulisan yang penuh sentilan itu bukan isapan jempol belaka. Itu fakta. Bahwa ada semacam opini penulis di dalamnya, misalnya dengan mengatakan ”pak beye nggak pede”, itu karena konflik batin yang bisa jadi terjadi saat Presiden meminta semua rakyat Indonesia mencintai dan menggunakan produk dalam negeri. Mengapa? Pada saat bersamaan, salah seorang menterinya, seorang ibu menteri, justru menyandang tas Louis Vuitton. Sebuah tas yang harganya puluhan juta rupiah—bukan produksi Tanggulangin atau Bogor!

”Inside story” atau ”behind the scene” ini tak mungkin akan ditemukan di media arus utama yang penuh etika ketat. Namun, di blog Kompasiana yang baru diperkenalkan awal September lalu dan masih dalam versi awal, semua bisa terbaca dengan jelas dan lugas. Kompasiana sudah diujicobakan dan bahkan langsung dapat diakses. Nantinya, Kompasiana akan jadi bagian tak terpisahkan dari http://kompas.com yang bisa diakses lebih luas.

Saat ini baru 57 blogger yang juga jurnalis Kompas dan jurnalis di lingkungan Kompas-Gramedia yang sudah memiliki halaman sendiri di Kompasiana, selain blogger tamu.

Bukan pemberontakan

Menjadi pertanyaan umum, mengapa wartawan harus ngeblog? Mengapa media massa arus utama seperti The New York Times dan kini Kompas harus memiliki blog jurnalis? Haramkah jurnalis beropini?

Pertanyaan ini masuk akal mengingat kredibilitas blog dan pewarta warga (citizen journalist) kini tengah dipertanyakan akibat kasus ”kebobolannya” CNN oleh salah seorang pewarta warga baru-baru ini. Pekan lalu, CNN lewat iReport—dimaksudkan menampung berita dari warga—menulis berita mengenai ”serangan jantung yang dialami Steve Jobs”. Harga saham Apple Inc turun 5,4 persen. Ini ternyata kabar bohong. Kredibilitas CNN dipertanyakan. Akhirnya, jaringan televisi milik Ted Turner ini menutup situs itu.

Blogger juga terkena getahnya. Mengapa? Karena hampir semua pewarta warga bermuasal dari seorang blogger. Mereka dipastikan punya blog sendiri-sendiri. Ketika CNN menyediakan iReport, mereka tidak menyia- nyiakannya. Sayang halaman ini mereka sia-siakan dengan menyiarkan berita bohong.

Apakah peristiwa sama, yakni berita bohong, bisa terjadi pada Kompasiana? Jawabannya hampir pasti tidak. Mengapa? Karena Kompasiana tidak menyediakan halaman khusus buat pewarta warga. Ada blogger tamu yang diberi tempat, tetapi mereka bukan ”anonim”. Mereka adalah blogger profesional seperti Budi Putra, Enda Nasution, dan Antyo Rentjoko. Ini halaman terbatas yang tidak diobral demi menjaga kredibilitas Kompasiana.

Menjadi editor

Kehadiran Kompasiana sejatinya menjadi tantangan tersendiri bagi para editor yang bekerja di media arus utama. Perlu formula baru yang tidak sekadar ”asal memberitakan” sebuah peristiwa yang sudah basi agar tetap menarik. Adalah Juan Antonio Giner dari Innovation Media Consulting yang mengingatkan bahwa perusahaan media harus mampu menjadikan koran sebagai produk yang penting bagi siapa pun.

Menurut Giner, krisis koran adalah krisis konten. Koran adalah penyedia konten yang harus di-reinvented setiap saat.

Celakanya, hampir 99 persen konten berita koran adalah berita basi. ”Ini krisis nyata di industri pers karena koran tidak cukup memuat berita eksklusif,” katanya.

John Wilpers, juga dari Innovation Media Consulting, dalam situs Forum4editor, mengatakan, ikut sertakan blogger ke dalam media massa arus utama (koran) akan menjadikan koran itu sebagai ”koran kita” dari sisi pembacanya.

Sumber: Kompas, Kamis, 9 Oktober 2008

No comments: