-- Silverter Petara Hurit*
BERCERMIN adalah laku lahiriah, laku keseharian. Pagi, sebelum keluar dari kamar tidur, orang selalu bercermin. Merapikan diri terlebih dahulu. Begitu juga, ketika selesai mandi dan hendak keluar rumah. Bahkan, ada orang yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam tiap harinya di kamar cermin.
Di hadapan benda yang bernama cermin, orang melihat gambar dirinya. Mengenal setiap detail bidang tubuhnya secara apa adanya. Apakah ia hitam, tinggi, kurus, bertahi lalat atau tidak. Cermin memberi pengetahuan tentang diri.
Pengetahuan tentang diri membawa pengertian dan pemahaman. Bila ada kotoran di wajah, dengan bercermin, orang akan melihat dan membersihkannya. Bahwa kotoran itu benda tempelan yang tidak semestinya. Mengganggu dan merusak kenyataan asli diri.
Pada prinsipnya, bercermin adalah tindakan yang mengingatkan orang akan keaslian, akan ketelanjangan. Menjaga diri dari segala kontaminasi. Sekaligus mengingatkan manusia akan perkembangan dan pertumbuhannya.
Bagi remaja belia, bercermin akan menimbulkan kesadaran yang berbeda dengan seorang tua yang sudah mulai keriput. Yang pertama mungkin sadar akan kegagahan, gelora, optimisme hidup, dengan segala rencana besarnya. Yang kedua, barangkali menyadari bahwa tenaganya sudah sangat terbatas dan bahwa sebentar lagi tubuhnya akan lapuk berkalang tanah.
Bercermin membuat orang hidup dalam kesadaran kekinian. Memahami perkembangan serta pertumbuhannya, berikut peran dan tanggung jawab serta proporsi dan kapasitas kehadirannya.
Laku batin
Dalam masyarakat tradisional, bercermin tidak sekadar laku fisik tapi lebih jauh merupakan tindakan batiniah. Tindakan dimana orang menengok ruang batinnya. Melihat kembali relasi diri sebagai jagat kecil dengan semesta makrokosmos serta realitas adikodrati (metakosmos).
Bercermin merupakan tindakan sakral. Ada yang dilakukan secara kolektif dan ada pula yang secara personal. Pelbagai upacara dan perayaan dalam masyarakat tradisi seperti bersih desa, selamatan, tolak bala dan sebagainya, merupakan upaya merawat wajah kehidupan kolektifnya. Secara personal orang melakukan praktik merendam diri di sungai atau telaga, tidak tidur (ngebleng) dan puasa. Melatih fisiknya demi mencapai kualitas pandang yang lebih luas. Menyepi dan melakukan lelana brata ke gunung, hutan untuk menangkap dan mencerap pelbagai fenomena alam. Mendengar suara hening dan berkomunikasi dengan alam.
Bercermin punya makna yang luas dan dalam. Tidak sebatas fisik lahiriah, tapi juga simbolik (spiritual). Melihat lebih jauh, menembus ke ruang batin, ke hakikat sejati dan inti terdalam dari realitas. Melihat, memandang, merasa dengan kesadaran yang intens dan menyeluruh. Dampaknya adalah meningkatnya kemampuan melihat dan merasa, memandang, serta menghayati.
Pengetahuan tersebut mendatangkan perspektif yang menyeluruh terhadap hidup. Keindahan, kesehatan, serta kegagahan mengandaikan pandangan dan relasi yang sehat serta harmonis dengan diri, orang lain, alam lingkungan, leluhur (asal), dan dengan penguasa alam semesta.
Bercermin adalah kearifan, keutamaan, dan kemuliaan hidup. Sampainya orang pada pengetahuan hakikat di mana subjek memasuki objek (empati). Cerita-cerita rakyat sering mengisahkan keindahan dan keluhuran budi yang ada pada si buruk rupa. Segala sesuatu tidak dipandang sebatas kulit, pun tidak diperlakukan secara hitam-putih. Ini melahirkan pengertian. Kehidupan dilihat secara seimbang, proporsional dan menyeluruh. Jauh dari pandangan sempit dan penghakiman sepihak yang diskriminatif dan buta.
Menjadi palsu
Kegiatan bercermin kian mengalami penyempitan makna. Direduksi sampai pada tataran makna lahiriah semata. Bercermin saat ini lebih kepada bagaimana tampil cantik dan memesona secara fisik. Hasrat manusia pada keindahan dan kesempurnaan tersebut dimanfaatkan kekuasaan kapital dengan mengkonstruksi gambaran ideal "cantik" sesuai kepentingannya. Bahwa yang cantik adalah yang berhidung tinggi, berambut lurus, bertubuh semampai dengan memakai powder eye shadow, blush on, satin finish lipstick, maskara, dan pelbagai macam produk kecantikan lainnya.
Bercermin yang semula bertujuan agar orang memiliki pandangan dan pengetahuan yang jujur dan otentik terhadap diri kemudian bergeser. Pesona bukan lagi pada keunikan pribadi setiap individu dan kehadirannya yang otentik apa adanya, melainkan pada seberapa banyak orang memakai produk-produk kecantikan atau merekayasa kenyataan dirinya secara terus menerus- mendekati keindahan ideal sesuai perkembangan mode.
Semakin orang bercemin, semakin jadi konsumtif dan palsu. Berkonsentrasi pada hal yang sifatnya luaran dan mengabaikan kedalaman serta kompleksitas keutuhan kehadirannya. Kesadaran akan yang lain pun kian tenggelam oleh hasrat mengonsumsi. Konsumsi jadi perayaan. Ibarat minum air garam, semakin diminum semakin haus.
Benar, apa yang dikatakan Baudrillard, bahwa manusia, dalam kebudayaan konsumen, tidak hanya kehilangan cermin tapi juga citra dirinya. Citra dirinya dijual pada komoditas, benda, uang, dan emas. Realitas sejati baginya mulai bergeser ke dunia rekaan. Empiriknya merupakan fiksi dengan televisi, iklan adalah "tuhan"-nya.
Manusia hari-harinya berada dalam mobilitas yang tinggi dan hampir-hampir tak punya waktu untuk berdiam dan merenung. Menghayati dan merayakan keberadaannya. Kalau di rumah pun ditemani dengan aliran iklan, video klip, aneka tayangan yang datang-pergi begitu cepat. Menyeretnya tenggelam dalam ekstasi konsumsi visual. Waktu luang tidak lagi merupakan saat produktif, saat di mana manusia memuliakan hidup dan kemanusiaannya.
Hening dan kesendirian kian asing. Bahkan jadi sesuatu yang menakutkan. Orang menghablur ke dalam kerumunan, bertumpuk di keramaian pusat-pusat hiburan atau perbelanjaan. Lahir manusia dengan eksistensi dan mentalitas gerombolan. Padahal, menjadi manusia adalah berindividuasi, aktualisasi diri dengan karakter dan integritas personalnya. Dan, ini hanya terjadi dalam kesosialan dan bukan dalam kerumunan.
Ketaksanggupan bercermin adalah ketaksanggupan manusia memandang dirinya. Manusia yang tak kenal diri cenderung tak sadar peran dan penampilan. Juga tak memahami tanggung jawab sosialnya. Apalagi memahami kompleksitas, kedalaman, dan kenyataan sejatinya, termasuk panggilan hidupnya sebagai manusia di dunia ini.
Keterpurukan bangsa, hancurnya keadaban publik serta jurang kesenjangan sosial yang kian lebar adalah salah satu isyarat ketaksanggupan kita melihat dan merawat wajah kita. Untuk itu, mari kita belajar bercermin. Mengembalikan wajah batin dan wajah kolektif kita.***
* Silverter Petara Hurit, Esais alumnus STSI Bandung
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 11 Oktober 2008
1 comment:
Artikel yang keren brow
Post a Comment