Saturday, October 04, 2008

Benarkah Dibutuhkan Taman Gelar Budaya?

Namun, dalam konteks Bandung dan keberadaan ruang-ruang seni yang ada, terutama yang dimiliki pemerintah, soalnya bukanlah bagaimana membuat dan membangun fasilitas yang baru. Melainkan bagaimana merevitalisasi dan mengelola ruang-ruang seni yang telah ada, yang selama ini terbengkalai karena manajemen pengelolaannya yang cuma bisa menyewakan.

MERASA prihatin dengan perkembangan seni budaya yang terpinggirkan dan melulu hanya dijadikan sempilan, Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf melontarkan gagasan ihwal perlunya pembuatan Taman Gelar Budaya (TGB). Seraya membayangkan TGB kelak bisa menyerupai Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta sebagai pusat kesenian, untuk gagasan yang dilontarkannya dalam acara Malam Seribu Bulan di Gelanggang Generasi Muda Bandung itu, Sabtu, (20/9), bahkan Dede telah memasukkan anggaran pembangunannya dalam rancangan APBD 2009.

Gagasan yang dilontarkan "orang nomor dua" di jajaran Pemerintahan Provinsi Jawa Barat itu langsung disambut gembira para seniman. Paling tidak lontaran gagasan tersebut menunjukkan adanya perhatian dari seorang pejabat publik di provinsi ini terhadap pembangunan di lapangan seni budaya. Hanya, alih-alih sekadar menyambut dan menunggu direalisasikan, baik gagasan ihwal TGB tersebut terlebih dulu dibaca secara kritis dalam konteks permasalahan keberadaan ruang publik seni budaya yang ada di Bandung, lebih luas lagi di Jawa Barat.

Dengan kalimat lain, gagasan tersebut baik diuji dengan pertanyaan, benarkah Bandung membutuhkan TGB? Jika benar dibutuhkan, di tengah keberadaan ruang publik seni yang telah ada, bagaimana dan di manakah posisinya? Dan jika tidak, lantas apa sebenarnya yang dibutuhkan bagi perkembangan infrastruktur seni budaya di Bandung atau lebih luas di Jawa Barat? Lalu di tengah isu kesadaran pada desentralisasi kebudayaan benarkah masih dibutuhkan "pusat-pusat kesenian" seperti TIM di Jakarta?

Hingga saat ini, di Bandung terdapat dua puluh tiga ruang publik seni, baik berupa gedung pertunjukan ataupun galeri, yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah (provinsi/kota), swasta/komunitas seni, lembaga pendidikan, dan konsulat asing. Dari dua puluh tiga ruang publik seni itu, sepuluh di antaranya adalah milik atau aset pemerintah, sebutlah, Taman Budaya Jawa Barat (TBJB), Gelanggang Generasi Muda (GGM), Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Gedung Kesenian Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Gedung Kesenian Rumentang Siang, Gedung Kesenian Padepokan Seni, Gedung Pusat Kebudayaan Asia-Afrika (AACC), dan Sanggar Olah Seni serta Sanggar Mitra di Babakan Siliwangi.

Di antara delapan ruang publik seni milik pemerintah tersebut tercatat tiga langsung dikelola pemerintah, yakni Padepokan Seni, Gelanggang Generasi Muda, dan TBJB. Selebihnya ruang publik seni tersebut merupakan aset pemerintah yang manajemen pengelolaannya diserahkan pada komunitas seni budaya. Lalu, bagaimanakah kualitas manajemen pengelolaan dan kualitas program ruang publik seni milik pemerintah tersebut jika dibandingkan dengan ruang publik seni milik swasta/komunitas seni? Di sinilah perkaranya.

Jika diandaikan ruang publik seni tidak hanya hadir sebagai fungsi, tapi juga sebagai makna di mana di situ seniman, karya seni, dan publiknya bertemu serta berdialog, maka inilah yang tak pernah dicapai oleh umumnya ruang publik seni milik pemerintah di Bandung. Alih-alih bisa memainkan perannya semacam itu, manajemen pengelolaan ruang seni milik pemerintah tersebut cenderung hadir hanya sebagai sebuah keterangan tempat. Ruang seni itu ada beserta staf pengurus atau pengelolanya, namun kehadirannya lebih merupakan sebatas penanda fisik ketimbang menjelaskan makna dan posisi keberadaannya bagi perkembangan kesenian.

Untuk mencermati kualitas manajenem pengelolaan ruang seni milik pemerintah tersebut amatlah mudah. Misalnya, tak ada agenda program yang jelas yang lahir dari pembacaan terhadap isu-isu kebudayaan yang sedang terjadi. Bahkan, seperti Gedung Kesenian YPK, Rumentang Siang, Padepokan Seni, lebih banyak dikelola layaknya gedung penyewaan ketimbang memproduksi program. Acara dan grup kesenian apa pun bisa tampil di gedung itu sepanjang bisa membayar uang sewa, seperti apa pun kualitasnya. Bukan hanya untuk acara kesenian, bahkan, seperti Padepokan Seni yang terletak di Jalan Peta Bandung bisa dipakai untuk acara kawinan!

Tentu saja ini amat disayangkan sekaligus mengherankan, sebab fasilitas yang tersedia relatif lengkap dibandingkan dengan ruang-ruang seni yang dimiliki dan dikelola oleh komunitas seni, seperti Tobucil atau Ultimus. Belum lagi kemungkinan adanya alokasi anggaran yang tersedia. TBJB, misalnya. Dengan fasilitas yang demikian lengkap, gedung teater tertutup, teater terbuka, galeri, wisma, perpustakaan, dan berbagai sarana lainnya, namun tempat ini tak pernah bisa memberi penanda yang menggembirakan sebagai sebuah ruang seni. Tak ada agenda program yang lahir dari pembacaan yang jelas pada berbagai fenomena kesenian dan kebudayaan yang sedang terjadi. Warna birokrasi yang kental dalam manajemen pengelolaannya membuat tempat ini seperti dunia tersendiri di tengah publik seni budaya di Bandung. Dan oleh karena itu, tidak seperti Pusat Kebudayaan Perancis (CCF), Selasar Sunaryo Art Space, Tobucil, atau Ultimus, komunitas se-niman-budayawan seolah tidak memiliki "ikatan batin" dengan TBJB.

Baik yang dikelola oleh birokrasi pemerintah (kedinasan) seperti TBJB dan Padepokan Seni maupun yang diserahkan pada sebuah komunitas, ruang seni milik pemerintah cenderung pasif. Tak ada satu pun yang memiliki agenda program yang jelas kecuali hanya menyewakan gedung. Jika pun harus menyebut ruang seni milik pemerintah yang dikelola cukup baik oleh sebuah komunitas, mungkin hanya Gedung Indonesia Menggugat.

**

MAKA di tengah sekian banyaknya ruang seni milik pemerintah dengan manajemen pengelolaan semacam itu, termasuk yang memiliki fasilitas demikian lengkap seperi TBJB, yang diperlukan bagi pembangunan infrastruktur seni budaya di Bandung atau Jawa Barat bukanlah pembangunan sarana fisik seperti TGB, melainkan kualitas atau sumber daya manusia (SDM) pengelolanya. Gagasan Dede Yusuf untuk membangun TGB seolah mengingatkan banyak orang pada gagasan Wali Kota Bandung Dada Rosada untuk membuat gedung pusat kesenian di kawasan Ujungberung dalam pencanangan Bandung Kota Wisata dan Budaya tahun 2007 lalu.

Tentu saja itu semua diperlukan. Namun, dalam konteks Bandung dan keberadaan ruang-ruang seni yang ada, terutama yang dimiliki pemerintah, soalnya bukanlah bagaimana membuat dan membangun fasilitas yang baru. Melainkan bagaimana merevitalisasi dan mengelola ruang-ruang seni yang telah ada, yang selama ini terbengkalai karena manajemen pengelolaannya mirip mengelola WC umum yang cuma bisa menyewakan.

Gagasan Dede Yusuf di satu sisi juga membingungkan dan menimbulkan pertanyaan, bagaimana sesungguhnya gagasan ihwal TGB itu membedakan keberadaan dan fungsinya kelak dengan TBJB? Jika memang diperlukan sarana seperti TGB mengapa tidak TBJB saja dipakai dan difungsikan untuk itu seraya memperbaiki manajemen pengelolaannya? Jika memang taman budaya terbesar di Indonesia itu masih juga dianggap belum representatif, mengapa juga tidak dilengkapi agar sesuai dengan apa yang diidealkan ketimbang membuat dan membangun sarana yang baru?

Dan bila benar pemikiran bahwa diperlukan sarana fisik sebagai infrastruktur seni budaya di Jawa Barat, semestinya pemikiran itu sudah saatnya tidak melulu hanya terkonsentrasi di Bandung. Banyak daerah di Jawa Barat yang lebih memerlukan pembangunan sarana fisik untuk menunjang perkembangan seni budaya, terutama seni budaya tradisi. Bagaimana pun pemeliharaan dinamika seni budaya tradisi yang ada di Jawa Barat tetaplah harus berada di daerahnya, di tengah masyarakat komunitasnya, bukan di Bandung.

Mengalihkan pemikiran ihwal pembuatan TGB ke berbagai daerah agaknya lebih masuk akal, ketimbang makin terkesan membuat perkembangan seni budaya di Jabar kian menjadi Bandung sentris dengan membuat "Taman Ismail Marzuki versi Jabar" di Bandung. Selain peniruan itu terasa naif karena tidak mempertimbangkan konteksnya, sekali lagi, itu semua akan menjadi sebuah antiklimaks di tengah kesadaran banyak orang pada keberbagaian seni budaya di Jabar. Sekaligus menjadi ironis di tengah wacana politik kesenian dan kebudayaan yang mengkritisi apa pun yang menamakan dirinya sebagai pusat kesenian.

Akhirnya, gagasan Dede Yusuf untuk membangun TGB bukanlah sebuah gagasan yang keliru. Terlebih memang banyak pejabat publik suka sekali melontarkan gagasan yang berbau janji semacam itu untuk menyenangkan banyak orang. Hanya terkesan gagasan Wagub Jabar ini kurang disertai dengan pembacaannya yang jelas terhadap permasalahan ruang-ruang seni di Bandung dan di Jawa Barat umumnya. Soalnya bukanlah bagaimana membangun sarana seperti TGB, tapi yang dibutuhkan bagaimana mengelola yang telah ada, bagaimana merevitalisasi ruang-ruang seni milik pemerintah, dari mulai perawatan, fasilitas, hingga, dan ini yang terutama, perbaikan manajemen pengelolaannya. Membangun TGB bukan hanya akan membuat bahagia para broker kesenian, tapi juga sekaligus membenarkan ungkapan bahwa kita ini bangsa yang doyan membuat dan membangun, tapi tak pernah becus merawatnya. (Ahda Imran)***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 4 September 2008

No comments: