Saturday, October 04, 2008

Karya Seni dan Kaum Intelektual

KARYA seni pada hakikatnya merupakan hasil karya intelektual. Karena kerja seniman merupakan pekerjaan seorang intelektual yang tidak dapat diukur dari tingginya tingkat pendidikan seseorang (seniman), tetapi diukur dari sejauhmana karya tersebut dapat dinikmati penontonnya.

Hal ini pula yang terjadi di Melbourne City Conference Centre, Victoria, Australia, manakala tim kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat tampil dalam pergelaran bertajuk "West Java Night" awal bulan lalu. Suguhan kesenian berupa tarian, bodoran, dan atraksi debus, dalam satu kemasan tontonan, mampu mengundang decak kagum penonton yang sudi datang ke gedung di Bourke Mall di kawasan Swanston Street ini.

Selain harus mengantre di luar dan koridor masuk gedung, mereka pun dikutip tiket masuk 40 dolar Australia (sekitar Rp 344.000). Suatu penghargaan yang tidak pernah didapat oleh seniman tradisi mana pun bilamana tampil di negeri ini.

"Kerja seni pada hakikatnya adalah kerja intelektual. Kerja intelektual tentu saja tidak selalu identik dengan tingginya tingkat pendidikan seseorang, melainkan lebih kepada sikap dan komitmen terhadap perkembangan kebudayaan bangsanya sendiri," ujar Yayu Slocode, salah seorang dosen seni budaya Indonesia di Wimborne, Dorset, Inggris, yang berkesempatan hadir memenuhi undangan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Melbourne, Australia.

Di sejumlah negara maju, menyaksikan pergelaran maupun melakukan aktivitas seni merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan para intelektual. Semisal, melukis, bermain musik, berdansa, dan lainnya.

Namun di negeri yang kaya akan seni budayanya, seperti halnya Indonesia, pelaku seni budaya dengan karya-karyanya masih dianggap kaum terpinggirkan. "Demikian pula halnya dengan pergelaran yang acapkali digelar, seringkali minim mendapat apresiasi dari penonton. Pergelaran cenderung hanya dinikmati kalangan seniman sendiri," ujar Yayu.

Hal senada diungkapkan Cristian, salah seorang dokter spesialis penyakit dalam yang pernah menimba ilmu karawitan di STSI Bandung, kalau selama ini kegiatan seni budaya yang ada di Indonesia cenderung kurang mendapat perhatian pemerintah. "Karena pemerintah kurang memerhatikan, di masyarakat pun menjadi tumbuh rasa kurang memiliki," ujar Cristian.

Keberadaan berkesenian baru sebatas penyaluran hobi, bukan sebagai panggilan jiwa. Karenanya di Indonesia, seorang seniman ataupun budayawan belum dianggap sebagai intelektual.

Kondisi yang terjadi, di Indonesia seni budaya tidak dihargai, sepenuhnya tidak dapat dipersalahkan. Bilamana ditelusuri lebih jauh, hal ini terjadi akibat pemutusan rasa kebanggaan dan memiliki akan karya bangsa, pola pikir bangsa Indonesia telah dibentuk bahwa luar negeri lebih baik dan modern ketimbang budaya asli milik bangsa.

Pemerhati seni budaya Indonesia, Roger Pollar dari Melbourne University, mengungkapkan, selama ini seseorang dikatakan intelektual bila berasal dari kalangan kaum terpelajar atau berpendidikan. "Kecenderungan ini akibat pengaruh konsep intelektual dalam khazanah bahasa Belanda yang diterapkan di era kolonial. Ketika itu, kesempatan pendidikan sangatlah terbatas sehingga setiap pribadi telah mencapai pendidikan di atas rata-rata masyarakat pada umumnya disebut kaum intelektual atau kaum terpelajar," ujar Roger.

Padahal, tidak demikian adanya. Seseorang dikatakan intelektual bilamana benar-benar memiliki budaya dan rasa seni. Sebagaimana konsep intelektual dalam bahasa Inggris atau negara barat lainnya, istilah intelektual tersebut dikenakan kepada pribadi tersendiri yang telah mengalami kecerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan seni budaya.

"Orang boleh tinggi tingkat pendidikan dan sangat ahli dalam hal lapangan pekerjaannya. Akan tetapi jika pribadi tersebut tidak memiliki minat dan kepekaan terhadap rangsang seni dan budaya, dia tidak berhak disebut kaum intelektual," ujar Roger.

Menurut dia, kaum terpelajar di dunia barat, termasuk Australia, akan tersenyum sinis manakala kita (orang Indonesia) mengatakan intelektual ditujukan kepada orang yang sama sekali tidak menaruh perhatian kepada perkembangan seni budaya bangsa sendiri. Meskipun dia telah mencapai pendidikan dan gelar kesarjanaan tertinggi.

Oleh karena itu, Roger melanjutkan, siapa pun pantas dikatakan sebagai kaum intelektual, bilamana memiliki rasa kepedulian dan sensitivitas terhadap keniscayaan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Kesenian dan kebudayaan yang menjadi bagian dari kerja intelektual adalah ketika produk seni tersebut terlahir dari proses yang mencerminkan sikap kepedulian terhadap kebudayaan bangsanya, bukan sekadar kerja pabrikan atau kantoran yang selama ini selalu diagungkan.

Memang menyaksikan rangkaian pegelaran "West Java Night" dengan durasi tidak kurang dari tiga jam, nyaris tidak melihat penonton yang berpakaian ala kadarnya. Rata-rata mereka datang berpasangan dengan dandanan rapi, bahkan cenderung sangat resmi seperti hendak mengikuti seremoni kenegaraan.

Mereka berdiam diri saat "Tari Topeng" ataupun "Maung Lugay" ditampilkan dan menutupnya dengan tepuk tangan. Atau mereka turut bertepuk tangan dan tertawa riuh saat atraksi rampak gendang dimainkan diselingi banyolan.

Hal serupa juga terjadi manakala tim kesenian Disbudpar Jabar tampil membuka "Festival Indonesia 2008" di Royal Melbourne Exhibition Building, di hadapan 1.500 undangan "khusus". Tarian karya koreografer Oos Koswara dan Gondo Soulmate, di atas panggung yang ditata seadanya, tidak hanya mengundang decak kagum Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ir. Jero Wacik, ataupun Dubes RI untuk Australia, T.M. Hamzah Thayeb beserta jajarannya, tetapi juga undangan lainnya. "Mereka benar-benar mendulang pujian di sini, sangat berbeda manakala mereka tampil di Jawa Barat atau daerah lain di Indonesia," ujar Dra. Any Diah Sumirat, Kabag TU, Disbudpar Jabar, yang bertindak sebagai pimpinan rombongan, yang sempat was-was karena kepergian tim kesenian Disbudpar Jabar atas undangan Konsulat Jenderal RI di Melbourne, menemui kendala pemberangkatan.

Memang, kerja seni merupakan kerja kreatif sekaligus yang sangat sensitif terhadap gempuran kebudayaan mana pun. Mudah-mudahan ke depannya seni budaya kita tidak hanya menjadi konsumsi tontonan mata, hati, dan telinga kaum intelektual di negeri orang. Semoga! (Retno HY/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 4 September 2008

No comments: