Makassar, Kompas - Nilai-nilai universalitas seni-budaya Melayu yang menjadi salah satu perekat suku-suku bangsa di Nusantara, termasuk di kawasan timur Indonesia, layak dihidupkan kembali untuk meredam maraknya konflik sosial belakangan ini. Egalitarian dan humanisme yang menjadi ciri kemelayuan telah menebarkan benih demokrasi dari Sabang sampai Merauke sejak zaman Kerajaan Malaka pada tahun 1400-an. Benih-benih demokrasi tersebut terus hidup dan berkembang hingga beberapa ratus tahun kemudian.
Terkait dengan itu, Pusat Studi Melayu Divisi Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Hasanuddin Makassar akan menggelar ”Seminar Internasional dan Dialog Budaya Kemelayuan di Indonesia Timur” yang berlangsung di Istana Tamalatea Balla Lompoa Gowa pada 13 Oktober 2008 mendatang.
”Seminar yang diwarnai kunjungan ke makam Sultan Hasanuddin, makam Syekh Yusuf, dan Benteng Rotterdam ini bertujuan menapak kembali situs-situs kultural yang telah lama terjalin. Dengan demikian pijakan pada budaya lokal tak akan tergerus di tengah dahsyatnya arus globalisasi. Nilai adiluhungnya pun bisa diaktualisasikan untuk meredam konflik,” tutur Dr Nurha yati Syairuddin M Hum, ketua panitia acara tersebut, Kamis (9/10).
Sejumlah pemerhati kemelayuan dan para peneliti seni-budaya dari dalam dan luar negeri dipastikan hadir dan berbicara dalam seminar internasional tersebut. Misalnya, Prof Dr Richard Chauvel dari Universitas Victoria Melbourne dan Prof Dr Pawennari Hijang dari Universitas Hasanuddin yang sudah memastikan diri akan hadir.
Rangkaian seminar juga diwarnai pementasan seni-budaya lokal yang bercorak kemelayuan, seperti Ganrang Bulo (Makassar), Parrawana Tuwaine (perebana perempuan Mandar), Sinrilik (Gowa), Pakkacaping (Sidrap), serta berbagai budaya lokal lainnya.
”Alat-alat musik petik dan tabuh, serta corak kostum yang digunakan sangat sarat nuansa Melayu meski sudah dimodifikasi sedemikian rupa dengan nuansa lokal. Itu pertanda jejak-jejak kemelayuan memang sangat lekat dengan suku-suku di bumi Nusantara ini,” kata Nurhayati.(NAR)
Sumber: Kompas, Jumat, 10 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment