-- Ahmad Syubbanuddin Alwy
DALAM tulisan Bandung Mawardi, "Godaan Puisi Dalam Politik", dan Hikmat Gumelar, "Boesa", yang dimuat pada lembaran Khazanah harian Pikiran Rakyat edisi 23 Agustus dan 6 September 2008, tampak sekali kedua penulis ini hendak mendiskusikan lebih jauh dengan pembaca: Apakah sesungguhnya relasi yang konkret antara spiritualitas ide-ide puisi dan subjektivitas politik? Apakah sesungguhnya realisasi makna yang kelak ingin dicapai para politisi dari puisi? Dan, apakah sesungguhnya afirmasi yang akan mengantarkan puisi dan politik berhadapan dengan realitas publik?
Tentu saja, saya tidak ingin menjawab ketiga pertanyaan tadi. Izinkanlah, saya mengulas beberapa bahasan yang dikemukakan kedua penulis dengan argumen penuh mannerism yang menggebu dan menyeru-nyeru publik untuk terlibat. Di sana-sini, tulisan keduanya cukup provokatif. Mawardi memilih menjadi "pengagum" politisi yang merekonstruksi teks sastra (puisi dan pantun) ke imajinasi bahasa politik. Dan, Hikmat Gumelar membuat "oposisi" dengan menegasikannya dalam perspektif kritikus seni. Maka, mari kita mulai polemik ini ...
Mawardi dalam tulisannya, seolah sedang "menyampaikan" hasil kajian serta penelitian terhadap pemakaian bahasa puisi -dan pantun- yang diekspresikan para calon presiden dalam kemasan iklan televisi dan panggung politik yang berfungsi sebatas "libido politik" dari hasrat berkuasa. Esensi dan substansi di balik penggalan teks puisi yang dikutip Sutrisno Bachir atau Rizal Mallarangeng, sama sekali tidak tersentuh. Begitu pun, pantun Tifatul Sembiring yang lebih merupakan rempah-rempah dan sejenis aji-no-moto berpolitik yang tampak kehilangan "nyali" untuk mengeksplorasi serta mereproduksi bahasa dari dalam ranah politik itu sendiri.
Politik tampak dipaksakan untuk mengadopsi bahasa dari domain teks (karya) sastra yang ditafsirkan memiliki integritas dalam menyatakan diri secara independen. Lebih meyakinkan serta mendebarkan. Dalam perspektif inilah, politisi kemudian mengeksploitasi teks karya sastra sebagai legitimasi untuk menghidupkan kembali bahasa politik yang kini terlanjur dinilai verbal, banal, dan bebal. Politisi sengaja memainkan imajinasi bahasa untuk mengabadikan momen puitik dari hiruk-pikuk fragmen dan ritual politik yang ganjil. Kita tahu, ganjil, karena politik telah membebatkan bahasa yang dinyatakan secara terbuka kepada publik luas melalui spanduk, baliho, poster, iklan, orasi, diskusi, wawancara, maupun kampanye-yang menyimpan sejumlah muslihat.
Kekuatan (bahasa) politik yang dapat diucapkan dengan penuh kejujuran dan keikhlasan, tanpa pretensi untuk berindah-indah itu, pada akhirnya hanya memacu politisi untuk bersikap genit dan gombal. Politik dan partai politik, tanpa disadari, telah memasuki "perangkap" dalam permainan retorika yang tidak cukup mendidik dirinya lebih mematangkan pemahamannya terhadap fenomena kehidupan publik. Sehingga hampir gairah politisi dan partai politik kita, masih belum beranjak dari pergumulan panjang citra berpikir lama yang senantiasa memosisikan dirinya sebagai "panglima". Dan publik masih diasumsikan kerumunan massa yang sangat mudah dikelabui puitika kata-kata heroik, dibuai retorika hampa.
Hal itu pun terbaca dalam paragraf awal tulisan Mawardi yang berusaha meyakinkan pembaca bahwa, "kondisi politik Indonesia mulai masuk dalam dunia kata dan imajinasi. Perdebatan dalam wacana pemimpin tua dan muda menjadi ramai dengan sekian pernyataan politik dalam konstruksi bahasa imajinatif. Puisi menjadi pilihan untuk merumuskan pemikiran atas konsep kekuasaan dengan pertimbangan efek estetika dan sosial-politik."
Hemat saya, Mawardi berlebihan dan hiperbolis. Bahkan untuk negara seperti Amerika Serikat pun, kita tidak pernah mendengar partai politik dan para politisi di sana telah meletakkan "... puisi menjadi pilihan untuk merumuskan pemikiran atas konsep kekuasaan dengan pertimbangan efek estetika dan sosial-politik". Mendiang John F. Kennedy-mantan Presiden Amerika Serikat yang terbunuh itu-hanya mampu beretorika dengan kalimat klise yang tak selesai ini: puisi ditengarai mampu membersihkan perilaku (ber)politik yang kotor. Sutardji Calzoum Bachri benar, untuk membersihkan perilaku politik yang kotor, maka politik jugalah seharusnya yang membersihkan. Sama sekali, bukan puisi.
Bisa dipahami, karena seperti dituliskan Goenawan Mohamad (2006) bahwa, "...pada umumnya politik bukanlah itu semua. Politik lebih sering berupa sebagian hidup sehari-hari yang remeh, mungkin norak. Atau politik adalah sebuah proses tawar-menawar yang mengesalkan-sebuah proses yang bisa digerakkan oleh manipulasi, tanpa rasa malu, bosan, ataupun geli."
Relasi puisi, retorika, dan politik sebagaimana deskripsi Ignas Kleden (2001), "...puisi diperlukan untuk memahami aksi, retorika untuk mengadakan aksi... Puisi membukakan mata, retorika menghentakkan kaki... Politik dapat dipahami sebagai usaha menghasilkan suatu keputusan bersama kemudian mengusahakan terlaksananya keputusan tersebut dengan berbagai kemungkinan... Karena, baik dalam mencapai suatu keputusan bersama maupun dalam melaksanakan keputusan tersebut... dibutuhkan kemampuan untuk mengatasi ‘perlawanan’ seseorang untuk menerima suatu pendirian atau posisi tertentu yang ditawarkan."
Tetapi, saya tidak melihat esensi puisi yang dikutip Bachir, Rizal, maupun pantun yang diciptakan Tifatul dieksplorasi menjadi teks yang inspiratif. Melainkan lebih merupakan bagian dari proposisi atau sekadar stigmasi dalam berpolitik. Apa yang mereka imajinasikan dari adagium teks karya sastra, justru telah menandai berlangsungnya antitesis dan perlawanan publik terhadap ilusi "politik bahasa" yang memuakkan dari para politisi. Perlawanan publik yang paling ekstrem, salah satunya ditegaskan dengan kenyataan angka golput yang semakin bertambah dalam berbagai instrumen proses demokratisasi di mana politik, partai politik, dan politisi, hendak merebahkan diri ke pelukan publik yang histeria.
Puisi dalam konteks Bachir dan Rizal atau pantun Tifatul, didistribusikan dalam medan wacana politik yang mengeksploitasi gagasan (sosial) sastra ke dalam praksis (rekayasa) politik. Puisi, kemudian sekadar alat legitimasi bagi mereka yang memainkan politik sebagai basis individu untuk menumbuhkan hasrat berkuasa. Diakui atau tidak, politik telah menyeret puisi (dan pantun) ke dalam simbolisasi dari gemuruh pertikaian berbagai kepentingan yang sangat personal. Dari situ juga, spiritualitas puisi dan pantun dijustifikasi sebagai pembenar "hasrat materialistik" yang memotivasi seseorang bertekad menjadi penguasa: teks karya sastra itu, tidak lagi inovatif dan bersikap kritis.
Saya kira, pernyataan yang pernah dilontarkan Kennedy sudah tidak dapat dijadikan referensi. Bahasa dalam konteks representasi politik dan puisi, siapapun tahu, merupakan dua kutub imajinasi bahasa yang saling berseberangan. Karena sudah jelas, politik-di negeri kita-selama ini, semakin kuat mengaktualisasikan hasrat verbal yang mendorong sikap monolitik perseorangan maupun kelompok, seolah mainstream dan sentrum dalam perubahan sosial masyarakat. Regimentasi Orde Lama maupun Orde Baru yang memosisikan politik sebagai panglima, ternyata belum mengalami perubahan yang berarti. Dengan menggunakan teks-teks sastra (puisi dan pantun) yang dikukuhkan menjadi ambisi teks politik, karya sastra berhenti sebatas propaganda, dan, bahasa politik tidak serta-merta mengalami pencanggihan dalam menerobos imajinasinya sendiri yang bebal.
Oleh karena itu, tulisan Mawardi dengan judul, "Godaan Puisi Dalam Politik" sangat mengelirukan. Mungkin lebih tepat, "Godaan Politik Dalam Puisi". Karena teks-teks puisi dan pantunlah yang hendak diasumsikan para politisi itu, diarahkan menjadi inspiring. Sementara, hasrat politik yang tersembunyi di sebalik teks dan konteks tersebut, tetaplah menandai password politik yang membawa publik ke pusaran ingar-bingar pertarungan di dalamnya. Teks-teks karya sastra artinya, diletakkan menjadi stigma yang menyembunyikan bahasa politik yang tengah memasuki titik pandir.
Bahasa politik yang ditulis dan dinyatakan dalam teks-teks pidato, pernyataan, selebaran, spanduk, siaran berita, atau diskusi-diskusi politik telah melampaui titik jenuh yang sangat mengkhawatirkan. Terlebih, jika dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa sosial yang kian mencekam. Diakui atau tidak, politik di tengah euforia demokratisasi pascaruntuhnya rezim Orde Baru, bagaimanapun telah menyebabkan "ekspresi politik" berlangsung sedemikian rupa.
Berpolitik dengan paras wajah innocent seorang teknokrat yang berikrar menggairahkan dunia pertanian; berpolitik melalui style seorang spiritual yang akan mewakafkan dirinya untuk kehidupan; berpolitik secara oposisi sebagai seorang wali yang bertolak pada wahyu kebenaran; berpolitik dengan menekankan dirinya hipotesis dari regenerasi pemimpin tua; berpolitik yang berdiri mengandaikan dirinya martir untuk rakyat yang teraniaya; berpolitik dalam paradigma seorang saudagar yang mencerminkan pribadi dermawan kepada wong cilik dan penuh perhatian terhadap mereka yang berprestasi; atau, berpolitik dengan psikologi seorang yang senantiasa introspeksi dan bersikap hati-hati.
Kita tidak perlu sakit hati dengan sikap politisi. Juga, tidak perlu serius seperti Hikmat Gumelar menanggapinya. Penulis dan Koordinator Umum Institut Nalar Jatinangor ini, dalam paragraf ketiga dari akhir tulisannya menyatakan bahwa, "... kata-kata yang dengan berdarah-darah diangkat dan diperkaya oleh Chairil dan Frost itu begitu saja dibetot lagi oleh Bachir dan Rizal. Dibikin jadi kembali miskin makna, miskin kemungkinan-kemungkinan. Dan lagi, alat itu adalah alat berpolitik dengan paradigma politik yang koruptif yang telah dan tengah membuat langit semakin mendung." Kembali hemat saya, Hikmat menafsirkan penggalan teks puisi Chairil Anwar yang dikutip Bachir atau puisi Robert Frost yang dipresentasikan Rizal menjadi heroisme teks bahasa iklan, demikian seterusnya, teks pantun ciptaan Tifatul-menurut Hikmat, jenis pantun yang juga dibuat ribuan anak-anak SD-itu, terlampau serius dan bertumpu pada paradigma kritik seni.
Saya sendiri khawatir apa yang diikhtiarkan Bachir, Rizal, atau Tifatul, justru sedang mambangun kemungkinan-kemungkinan sederhana. Bachir secara lugu dan bersahaja, mengutip penggalan teks puisi Chairil: sekali berarti setelah itu mati, hendak menyatakan kepada publik: dia, bercita-cita jadi presiden hanya sekali saja, setelah itu (lazimnya manusia) menunggu mati. Begitu juga Rizal yang mengutip teks puisi Frost, if there is a will there is a way (jika ada kemauan, selalu ada jalan terbuka). Mungkin hendak dinisbahkan, jalan menjadi presiden itu, akan dia buka lewat pintu kantor Freedom Institute. Begitu juga bait akhir pantun Tifatul, Buat apa pergi ke seberang/Airnya susu banyak berbatu/ Buat apa melarang orang/ Dah terbayang kursi RI satu. Konteks politiknya bisa ditafsirkan seperti ini: dia, tidak akan pulang ke seberang (Medan) lagi dan akan tetap tinggal di Jakarta. Karena, sedang membayangkan diri duduk jadi Presiden RI.
Maka, jika saya menjadi Bachir, Rizal, atau Tifatul, tidak perlu bersusah-payah mengutip imajinasi teks puisi dan pantun untuk mengekspresikan puitika, politika, maupun retorika dalam berpolitik. Jika boleh, saya mengusulkan kepada ketiga politisi calon presiden itu, belajar olah-vokal, berlatih menyanyi, dan merilis album seperti dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono. Setidaknya, agar lebih menyentuh arus bawah (grassroots) dan publik luas. Teks kutipan iklan politik yang semula dipetik dari puisi Chairil Anwar dan Robert Frost, atau daripada berpantun-ria dalam arena kampanye seperti Tifatul, diganti dengan penggalan lagu "Reformasi" Rhoma Irama yang lebih bergelora dalam hentakan musik dangdut dan semangat keindonesiaan: Deru perubahan menggema-menggelora/Sebagai tuntutan dan juga kebutuhan/Itu perubahan dari kesapakatan/Di segala bidang dan sendi kehidupan/Marilah kita benahi, kemampuan ibu pertiwi/Dari segala kotoran, sampah pembangunan/Marilah kita mulai,membersihkan jiwa ini/Dari ketidak-jujuran yeah, dari kemunafikan…***
* Ahmad Syubbanuddin Alwy, Penyair dan peneliti pada Center for Empowering Society and Cultural Studies (CESCS) Cirebon
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 4 September 2008
No comments:
Post a Comment