LEBARAN dan ritual yang melingkupinya mampu mengundang decak kagum dari pemuda Asia Pasifik yang memperoleh beasiswa seni dan budaya Indonesia 2008 di Yogyakarta.
Peserta Indonesian Arts and Culture Scholarship 2008 berkunjung ke Masjid Pathok Negara Nurul Huda, Dongkelan, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, Sabtu (20/9). Mereka juga mengunjungi tempat ibadah bersejarah lainnya, seperti Masjid Gedhe Kauman dan Gereja Katolik Ganjuran. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)
Aneka pengalaman yang mereka terima dari hari ke hari semakin memantapkan penilaian tentang betapa bersahajanya kehidupan multikulturalisme di Indonesia, terutama di Yogyakarta. Keunikan multikulturalisme itu bahkan dijumpai di puncak hari kemenangan kaum Muslim, yaitu Lebaran.
Ketika menyaksikan Festival Takbir di Kota Gede yang mengangkat tema ”Ekspresi Nusantara”, Selasa (30/9), misalnya, 12 pemuda dari berbagai negara itu tak henti-hentinya mengungkapkan kekaguman. Keheranan mereka membuncah terutama ketika menyaksikan pawai takbir keliling dalam balutan nuansa Islami, tetapi juga dimeriahkan aneka lampion, usung-usungan gapura, dan peserta pawai berbaju tradisional Bali.
Dua peserta Muslim, Aswaneee Mathawee dari Thailand dan Elmar Iskandarov dari Azerbaijan, menilai Idul Fitri di Yogyakarta lebih meriah dibanding di negara asal mereka. Hampir semua peserta begitu antusias mencicipi atau sekadar menyaksikan shalat Id di Alun-alun Utara, Keraton Yogyakarta, sebelum merayakan Lebaran di rumah Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dyan Anggraeni.
Selain di hari Lebaran, kekaguman akan multikulturalisme terpupuk saat mereka mengunjungi aneka tempat ibadah di Yogyakarta, Sabtu (20/9).
Diawali dari Masjid Gede Kauman, para pemuda yang belajar di Yogyakarta 12 Agustus hingga 31 Oktober 2008 ini lalu mengunjungi beberapa masjid tua, gereja Kristen, gereja Katolik, Klenteng, Vihara, dan Pura.
Mathawee mengaku kagum dengan arsitektur bangunan masjid yang tidak melulu dibangun dengan konsep arsitektur Arab seperti di negaranya. ”Semua bangunan masjid di negara saya berkubah seperti di Arab. Di sini tak tampak seperti masjid karena bernuansa budaya Jawa,” katanya sambil menunjuk pilar-pilar dan bentuk atap Masjid Pathok Negara Nurul Huda, Dongkelan.
Di negaranya, menurut Mathawee, sangat mudah membedakan agama seseorang hanya dengan melihat cara berpakaian, bahasa yang digunakan, serta ras seseorang. Di Yogyakarta ternyata perbedaannya nyaris tak ada.
Perwakilan dari Hongkong, Chow Chi Yin, menilai budaya Indonesia sangat kaya dan beragam dan ternyata tidak menumbuhkan perpecahan, tetapi malahan bisa diadopsi menjadi satu kesatuan yang utuh. Bahkan setiap agama pun mewadahi keberagaman itu.
Di Gereja Katolik Ganjuran, dia amat tertarik dengan candi yang di dalamnya ada patung Yesus. Menurut dia, baru di Yogyakarta dia menemui tiap penganut agama begitu tekun menjalankan ajaran agamanya tanpa diwarnai pertikaian dengan penganut agama lain. ”Begitu banyak budaya terekam dalam satu gereja atau masjid,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Jogja Heritage Society Titi Handayani dan Direktur Karta Pustaka Yogyakarta Anggi Minarni yang mendampingi mereka ke beberapa tempat ibadah menyatakan, arsitektur mayoritas bangunan peribadatan di Yogyakarta memang mengadopsi keberagaman. Keberagaman inilah yang menjadi kekuatan sekaligus daya tarik yang selalu mengundang rasa kagum setiap orang…. (WKM)
Sumber: Kompas, Jumat, 3 Oktober 2008
1 comment:
yogya boleh bangga sbg salah satu kota di indonesia, dimana keragaman begitu dihargai
mungkin krn ini juga yogya banyak menarik mahasiswa asing bahkan ada tempat kursus bahasa indonesia yg diminati warga dr berbagai negara
Post a Comment