-- Mohammad Takdir Ilahi*
PERINGATAN Hari Aksara se-dunia 8 September lalu seharusnya menjadi titik balik kebangkitan peradaban bangsa melalui upaya pemberantasan buta huruf. Peradaban bangsa dalam sejarahnya, tidak bisa dibangun tanpa menjadikan masyarakatnya sebagai masyarakat yang mencintai peradaban buku.
Hal ini disadari, bahwa buku menjadi jendela dunia yang akan memberikan jalan pencerahan dan kebahagian hidup yang didambakan. Melalui buku, seseorang bisa menjelajah ke seluruh dunia melalui pesan dan informasi yang terdapat di dalamnya. Ini karena, buku akan membawa kita pada petualangan intelektual yang menakjubkan dan semakin menambah wawasan global kita. Tak heran, kalau Gola Gong, menyatakan bahwa "hanya dengan buku kita dapat menggenggam dunia; menjelajah pemikiran dan imajinasi yang terdapat di jagat raya". (Jawa Pos/21-6- 06).
Buku dan masyarakat dalam literatur bahasa adalah istilah yang selalu terikat dengan masa depan bangsa, tak terkecuali dengan peradaban itu sendiri. Integrasi antara buku dan masyarakat pada kenyataannya adalah satu kesatuan yang selalu beriringan dan saling membutuhkan. Dalam konteks ini, masyarakat tanpa buku adalah masyarakat yang terkubur oleh peradaban. Ketika terkubur oleh peradaban, maka secara faktual suatu masyarakat akan terbelakang dan terhindar dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menghindari masyarakat tanpa buku sama halnya dengan menolak masyarakat terkungkung oleh buta huruf yang menjadi indikasi terkuburnya peradaban suatu bangsa. Dalam hal ini, buta huruf menjadi problem akut yang sering menjadi penyebab matinya mercucuar peradaban. Menyadari hal ini, maka diperlukan usaha maksimal untuk memberantas buta huruf dalam konteks ke-Indonesiaan.
Sindrom Buta Huruf
Di tengah momen Hari Aksara yang telah kita rayakan, ternyata kita masih diracuni oleh sindrom buta huruf yang menimpa sebagian besar negara-negara miskin di dunia. Mengingat, sejak dicanangkan hingga hari ini, jumlah orang buta aksara masih cukup besar, yakni 885 juta orang, 64% di antaranya adalah wanita.
Ini berarti, hampir seperempat penduduk dunia dewasa masih tak bisa baca tulis. Ironisnya, sebagian besar dari angka-angka tersebut tersebar di negara-negara Asia (Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Afrika). Di Asia Selatan, jumlah penduduk buta huruf mencapai 109 juta, negara-negara Arab 98 juta orang. Negara-negara Afrika Sub-Sahara merupakan kawasan negara yang tingkat buta aksaranya paling tinggi berkisar 40% hingga 50%, di Mali peringkat 175 ( hanya 19,0% yang melek huruf), Niger (14,4% yang melek huruf) dan Burkina Faso (12,8%).
Di Indonesia sendiri, sindrom buta huruf semakin menambah persoalan kebangsaan yang selama sepuluh tahun terakhir dilanda krisis multidimensional. Lihat saja, meskipun genderang perang memerangi buta huruf ini sudah dilakukan sejak tahun 1945, tapi pencapaiannya seolah-olah masih stagnan. Pada tahun 2005 saja, jumlah buta huruf menurut BPS adalah 15,04 juta, dengan perincian jumlah penduduk usia 15--44 tahun yang buta huruf tercatat 3,5 juta orang, sedangkan usia 45 tahun ke atas yang masih buta huruf tercatat 11,07 juta orang.
Meskipun versi pemerintah menyebutkan bahwa angka terus ditekan, tapi berdasarkan data kemiskinan absolut yang terus bertambah ditambah makin ruwetnya persoalan dunia pendidikan, rasanya angka buta huruf itu konstan (tidak berubah). Malah, Menurut data Education for All (EFA) Global Monitoring Report 2005, Indonesia adalah negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia, yakni sekitar 18,4 juta orang. Saat ini, bagi komunitas tersebut Indonesia sudah mendapat kartu merah di bidang literasi.
Jika ditelisik, tingginya angka buta huruf sangat berkolerasi langsung dengan rendahnya minat baca masyarakat. Konon, minat baca masyarakat Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara saja menduduki peringkat keempat, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura. Padahal, minat membaca yang tinggi sangat penting dalam membangun suatu peradaban yang gemilang.
Terlepas dari persoalan di atas, ada satu hal yang terlebih dahulu harus dipikirkan bersama, yakni terkait dengan anggapan masyarakat terhadap orang yang buta huruf. Dalam realitasnya, orang yang buta huruf sering dikatakan sebagai racun dari kemajuan peradaban. Anggapan semacam ini, seharusnya tidak perlu didengunkan, karena hanya akan mengkerdilkan minat dan hasrat masyarakat untuk terlepas dari sindrom buta huruf. Ketika minat dan hasrat berbenturan dengan anggapan sinis tersebut, maka kehendak untuk melepaskan diri dari persoalan tersebut akan semakin sulit. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, sindrom buta huruf akan menjadi semacam gurita bagi cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Memobilisasi Anggaran Pendidikan 2
Cita-cita untuk memberantas buta huruf takkan pernah berhasil manakala pemerintah belum merealisasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 20%. Pada tahun 2007, SBY-JK hanya mengalokasikan anggaran sektor pendidikan sebesar Rp 43,489 Triliun. Jumlah itu hanya 11,8% dari total APBN tahun 2007 yang besarnya mencapai 763,6 Triliun. Sedangkan untuk APBN 2008, SBY-JK hanya menjanjikan anggaran pendidikan sebesar 12,3% dari total APBN.
Hal ini berarti, komitmen SBY-JK dalam sebuah Konferensi Regional UNESCO mengenai Upaya Pemberantasan Buta Huruf Se-dunia (Regional Conferences in Support of Global Literacy), di Beijing, China, beberapa waktu yang lalu adalah bohong besar. Berapa juta anak lagi yang akan menjadi korban kebohongan dan ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat miskin, jika anggaran pendidikan yang semestinya direalisasikan ternyata tidak terbukti di lapangan.
Menyadari persoalan itu, mana mungkin kita bisa memberantas buta huruf kalau kesempatan untuk mengakses pendidikan bagi semua orang (education for all), terutama untuk orang miskin justru dihambat dengan paket neoliberalisme di sektor pendidikan. Jika memang selama ini, Indonesia selalu mengacu pada konsep Pendidikan untuk Semua (education for all) yang dicetuskan di Jomtien, Bangkok, Thailand, pada 1990, pemerintah seharusnya bertindak lebih cepat agar pendidikan tak hanya menjadi milik orang-orang berduit. Mana mungkin juga, kita bisa memberantas buta huruf jika anggaran untuk pendidikan sangat kecil, dan anggaran negara justru harus dihambur-hamburkan untuk kepentingan membayar utang luar negeri dan menerbitkan surat obligasi untuk melindungi konglomerat hitam seperti dalam kasus BLBI.
Oleh sebab itu, momentum Hari Aksra harus dijadikan kesempatan emas (golden opportunity) untuk merefleksikan diri dengan sepenuh hati memikirkan sekaligus melakukan tindakan preventif dalam rangka memberantas buta huruf. Jalan satu-satunya, menurut hemat saya, adalah pemerintah harus bertanggung jawab atas sektor pendidikan dengan memobilisasi anggaran pendidikan guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya, pemerintah harus merealisasikan pendidikan yang berkualitas, gratis, ilmiah dan demokratis.
* Mohammad Takdir Ilahi, Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment