-- Wildan Nugraha
/1/
MEMBACA Belenggu barangkali adalah membaca kemungkinan sebuah sisi manusia. Manusia dengan belenggunya sendiri. Setidaknya, dalam perspektif Armijn Pane yang mendedah keterbelengguan Tono, Tini, dan Yah, tokoh-tokoh utamanya dalam novel Belenggu.
Diterbitkan pertama kali oleh Dian Rakyat pada tahun 1940, novel karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908 ini, merupakan karya yang kontroversial pada masanya. Banyak komentar bermunculan menanggapi karya Armijn ini, baik yang mencela atau memuji. Di antaranya dalam Pujangga Baru, Desember 1940, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyebutnya sebagai "romantika yang gelap-gulita", bahkan "yang pesimistis" dan "yang melemahkan semangat". Ditilik dari sisi pragmatik, yang mengharapkan kepraktisan aspek didaktik sebuah karya sastra terhadap pembacanya, Belenggu mungkin memang patut menggegerkan kalangan kritikus kala itu.
Hal itu pula yang menyebabkan naskah Belenggu ditolak Balai Pustaka. Seperti diketahui, kriteria naskah Balai Pustaka saat itu adalah harus tidak melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak berpolitik yang bertentangan dengan Pemerintah Hindia Belanda, di samping harus mengandung pendidikan kepada masyarakat. Sementara di dalam Belenggu, gambaran kaum intelektual seperti Kartono, Sumartini, dan Yah dianggap tidak memberi "contoh" kepada masyarakat, dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum intelek hidup tidak rukun, dokter (Kartono) yang mempunyai simpanan (dan kumpul kebo), lebih-lebih Yah (Siti Rohayah, Ny. Eni, Siti Hayati) adalah perempuan tidak baik (pelacur). Hal ini dianggap memalukan dan dipastikan menimbulkan "keguncangan" kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek (Pradopo, 1995).
/2/
Rumah tangga Tono dan Tini digambarkan penuh belenggu. Mereka saling kecewa antara satu dengan yang lain. Penuh kontradiksi; di satu sisi mereka saling membutuhkan, tapi di sisi lain melulu tidak saling puas. Dari informasi yang serba sedikit dan rancak terserak mengenai latar belakang para tokoh cerita di dalam novel ini, pembaca, lewat pemamahan yang tuntas, dapat merunut dengan perlahan dunia kecil dan aspek kejiwaan Tono, Tini, dan Yah. Semacam kunci yang diberikan Armijn guna memahami alur dan logika cerita Belenggu adalah motivasi Tono menikahi Tini.
Seperti pernah diulas kritikus Rachmat Djoko Pradopo (1995), Tono memperistri Tini "hanya" karena merasa tertantang naluri kelelakiannya. Semakin populer dan "garang" seorang gadis, makin sukalah ia. Dan hal tersebut didapatkan Tono pada sosok Tini, yang merupakan gadis ratu pesta, menjadi bunga di kotanya. Jadilah Tono mengawini Tini tidak didasari cinta yang murni, tapi hanya untuk kesukaannya menundukkan seorang gadis flire-type.
Sebaliknya Tini, ia mau diperistri Tono juga bukan bersebab cinta. Hatinya sudah sedingin es sejak ditinggalkan Hartono kekasihnya dulu. Ia hanya ingin menjadi "teman" saja. Ia tidak dapat menaruh cinta kepada Tono. Tini mau diperistri Tono sebab ia seorang dokter, memberi status yang tinggi kepadanya sebagai "Nyonya dokter".
Di sinilah tragik cerita yang rumit itu. Rumit bersebab pasangan suami istri ini terus saja mengombang-ambingkan diri mereka sendiri, tidak saling terbuka guna menuai pelbagai harapan masing-masing. Tini sibuk dengan gagasan-gagasannya soal perempuan yang merdeka di zaman yang baru (hal ini juga yang agaknya membikin ia kelu mengutarakan kecemburuannya kepada Tono atas kesibukan pekerjaan dan lingkungan pergaulannya). Sementara Tono pun sangat sibuk dengan pekerjaannya, meski ternyata ia tidak berhenti memendam angan-angan tentang rumah, dengan harapan-harapannya akan istri yang "berlutut, membukakan tali sepatu" atau "menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah".
Pembangunan cerita dilakukan Armijn dengan cukup dramatis. Hampir di sepanjang kisah, Armijn memperlihatkan konflik dalam diri tokoh-tokohnya. Melalui gambar-gambar scenik yang filmis (yang kerap melompat berpindah ruang dan waktu) dan lewat teknik bercerita berbentuk monolog interieur, Armijn mendedah betul detil benak tokoh-tokohnya dengan begitu telanjang dan sugestif. Sehingga, seolah Armijn hendak menyarankan pembaca agar ikut berpikir guna mengenali betul manusia-manusia yang tengah dibacanya, sehingga belenggu yang memang ada itu terindentifikasi dengan saksama.
Juga Armijn dengan cerdas memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang bertaburan dalam benak Tono secara berulang-ulang. Bahkan juga lewat permenungan di benak Tini dan Yah. Seperti pertanyaan: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta, dsb. Dan oleh Armijn, daftar pertanyaan yang mengindikasikan kegelisahan jiwa (manusia-manusia yang dihadapkan pada zaman yang mulai beranjak melaju dengan cepat sebagai era modern-kontemporer) itu, ternyata bukan merupakan sesuatu yang mudah dicari jawabannya. Tidak serta merta gampang ditemukan pemuasnya yang meredakan, menentramkan.
Seperti Tono dan Yah yang bertemu sebagai kawan lama dan kemudian saling menambatkan hati, ternyata tidak menjadikan kedua tokoh ini lantas merasakan kebahagiaan sejati. Terlebih bagi Tono: belenggu itu tidak kunjung terlepas. Betapa pun sebenarnya ia sudah sampai berpikir: "...begitulah kita seperti dibelenggu oleh angan-angan...oleh angan-angannya sendiri..."
/3/
Sejalan dengan modernisme dan gagasan kebangsaan, ide feminisme mulai banyak dibaca dan dikaji oleh tokoh-tokoh cendekia pada masa itu. Menarik yang dikemukakan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1995) mengenai Belenggu. Belenggu, demikian kata Pradopo, hendak mengoreksi keinginan kaum perempuan yang ingin "bebas seratus persen".
Dalam Belenggu, perempuan sejati yang disiratkan Armijn melalui Kartono adalah perempuan yang tahu hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Perempuan yang tetap menyayangi suaminya, mencintainya dengan tidak merasa sebagai budak. Yang diinginkan Kartono adalah perempuan seperti Yah. Oleh karena itu, Tono menjadi tentram di rumah Yah, karena Yah menyambutnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, melebihi istri sendiri. Yah mengerti kesukaan "suami", menanggalkan baju dokternya, melepas sepatunya, diganti dengan sandal rumah.
Jelas di sini bahwa ketidaksalingmengertianlah yang menerbitkan belenggu itu, menjadi perkara utama yang mendorong tokoh-tokoh tersebut menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis.
/4/
Ulasan H.B. Jassin (1940) atas Belenggu agaknya penting dikemukakan. Ia mempertanyakan gambaran para tokoh Armijn dalam Belenggu yang ditampilkan begitu dasyat. Benarkah mereka serendah itu, serapuh itu jiwanya, sejatuh itu moralnya? Tentu masyarakat tidak suka melihat yang demikian itu. Namun, kata Jassin, pembaca harus memandang diri sendiri, benarkah seperti yang dilukiskan itu. Menurut Jassin, pengarang membuat manusia kenal kembali akan dirinya, agar mau mengkritik dirinya sendiri atau zelfcorectie. Itulah yang mau dikemukakan pengarang. Manusia supaya mengenal dirinya kembali untuk memperbaiki dirinya.
Akan halnya pungkasan cerita yang dibuat menggantung baik bagi Tono, Tini, maupun Yah (tidak ada tempat untuk mereka pegang, semuanya terlepas, masing-masing mencari), hal ini menurut Jassin merupakan gambaran orang di zaman pancaroba. Atau seperti menurut Umar Junus (1981), Tini dan Tono hidup dalam ambiguitas, terperangkap antara sikap yang individualistik dan pandangan sosial. Mereka berada dalam satu dilema disebabkan oleh sikap yang ambigu. Mereka sadar keduanya saling bertentangan, tetapi saling melengkapi.
Barangkali ada benarnya STA menyebut Belenggu sebagai "romantika gelap-gulita", sebab membaca Belenggu mungkin dapat melemparkan pembaca pada kondisi kekosongan jiwa yang labil. Namun, realitas Tono, Tini, dan Yah itu memang beranjak dari realitas faktual, seperti kata Jassin, betapa pun hendak masyarakat mengelakkannya. Tidak berlaku hanya pada masa-masa itu saja, saya kira, bersepakat dengan sastrawan Radhar Panca Dahana (2008), saat mengatakan "roman Belenggu menyodorkan realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri...kita masih mudah menyaksikannya di sekitar kita...jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, imajinasi yang pandak", hingga zaman berlari kencang seperti sekarang ini, belenggu "Tono-Tini-Yah" itu ternyata masih ada, belum lerai juga bila bukan kian sengit dan kuat keberadaannya, sebab makin tampak samar dan wajar saja semua belenggu itu kini kita dapati. Wallahu alam.
* Wildan Nugraha, lahir di Bandung, 12 September 1982. Alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung, bergiat di Forum Lingkar Pena Bandung. Tulisan-tulisannya berupa cerpen, esai, dan tinjauan buku dimuat media nasional dan daerah.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment