YOGYAKARTA, KOMPAS - Buku teks pelajaran sejarah perlu ditulis secara humanis. Pendekatan peristiwa sejarah dari sisi salah dan benar seperti yang selama ini berlaku dapat menimbulkan stigmatisasi pada kelompok tertentu.
Peneliti politik dan kekerasan sekaligus penulis buku Ladang Hitam di Pulau Dewata, I Ngurah Suryawan, mengatakan, pendekatan peran salah dan benar selalu digunakan pada penulisan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) di buku-buku pelajaran sejarah. Penumpas gerakan adalah pahlawan, sedangkan Partai Komunis Indonesia adalah kambing hitam.
”Pembantaian massal dan pengasingan ribuan orang yang dianggap terkait partai itu ke Pulau Buru tanpa proses peradilan sangat sedikit dicantumkan,” katanya dalam diskusi buku ”Kuasa Stigma dan Represi Ingatan” yang diadakan Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pekan lalu.
Pada acara yang dihadiri sekitar 30 guru sejarah SMA se-DI Yogyakarta dan mahasiswa jurusan pendidikan sejarah itu, Suryawan menguraikan, pendidikan dan penulisan buku sejarah mestinya bertujuan mencari makna dari masa lalu untuk mengetahui implikasi pada masyarakat, tanpa terjerumus dalam dendam politik.
Untuk peristiwa G30S, cara lebih humanistik adalah menampilkan sisi kehancuran relasi sosial dan kekerabatan masyarakat, serta pudarnya rasa kemanusiaan dari banyaknya pembunuhan tanpa proses pengadilan. Dengan pendekatan humanistik, sejarah bisa menjadi pelajaran yang bermakna bagi masyarakat.
Guru pendidikan sejarah perlu lebih kreatif mencari sumber sejarah alternatif dari buku, film, maupun situs-situs sejarah. Penulis Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, Tri Guntur Narwaya, mengatakan, dia mencoba menganalisis peristiwa G30S untuk melihat kepentingan-kepentingan politik yang bermain di balik sejarah G30S. (IRE)
Sumber: Kompas, Selasa, 5 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment