-- Frans Sartono
SEJAK negara Indonesia didirikan, budaya tidak pernah diperhatikan. Setidaknya itu menurut sastrawan Ajip Rosidi (72). Dan, itulah mungkin yang mendorong Ajip untuk terus berkarya.
Sejak tahun 1989 hingga tahun ini, dari kantong sendiri, Ajip Rosidi memberikan hadiah Rancage, sebuah penghargaan untuk karya sastra daerah. Semula hadiah itu diberikan hanya untuk karya sastra Sunda. Akan tetapi, sejak tahun 1993 Rancage juga diberika kepada sastra Jawa, Bali, dan Lampung.
”Saya sejak muda memilih sastra dan seni sebagai pilihan hidup,” kata Ajip kepada Kompas yang bertandang ke rumahnya yang teduh di Desa Pabelan, Muntilan, Jawa Tengah, tak jauh dari Candi Borobudur.
Ia melanjutkan. ”Walau ada masa saya ikut politik, tapi saya mundur dan tidak mau. Kalau berpikiran sekarang, kalau jadi ikut politik, mungkin yang bisa saya kerjakan bisa lebih banyak—kalau tidak ditangkap he..he...,” kata Ajip berseloroh, yang tampaknya menyindir kehidupan di panggung politik yang juga menjadi keprihatinannya.
Bagaimana gagasan pemberian hadiah Rancage itu muncul?
Baik dalam bahasa Jawa atau Sunda, masih ada anak-anak muda menulis dalam bahasa daerahnya. Padahal, di sekolah mereka tidak mendapat pelajaran bahasa daerah. Mereka juga lebih mudah menulis dalam bahasa Indonesia. Kalau menulis dalam bahasa Indonesia honorariumnya juga lebih tinggi. Tapi, mengapa masih ada anak muda yang menulis dalam bahasa daerah, itu yang sampai sekarang saya heran. Belum ada penelitian tentang itu. Secara teoretis itu karena kecintaan pada bahasa daerah, tapi itu belum terbukti. Dan itu yang menjadi salah satu motif saya untuk memberikan hadiah sastra Rancage, karena saya lihat mereka menulis dengan bahasa ibunya dengan segala konsekuensinya. Saya beri dorongan kepada orang-orang seperti itu.
Apa efek penghargaan tersebut?
Saya mengharapkan buku-buku yang mendapat penghargaan itu akan dibeli oleh pemerintah sehingga akan mendorong penerbit-penerbit untuk menerbitkan buku berbahasa daerah. Tapi, sekarang Rancage telah 22 tahun dan pemerintah tidak memerhatikan penghargaan Rancage, kecuali dua atau tiga tahun lalu mengirim surat pajak (tersenyum).
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam hal budaya, khususnya bahasa dan sastra daerah?
Sejak tahun 1970 saya telah banyak menulis makalah karena diminta untuk kongres, seminar, konferensi, dan tulisan-tulisan bebas dalam surat kabar. Kalau (tulisan-tulisan) itu diperhatikan sebenarnya apa yang harus dilakukan pemerintah itu seharusnya sudah jalan. Tapi, mereka mengadakan kongres dan konferensi hanya untuk proyek. Kalau sudah selesai, hasilnya dimasukkan dalam lemari dan tak pernah diperhatikan. Karena itu, kalau sekarang saya diminta memberikan makalah kongres atau apa, akan saya tolak. Uang (penyelenggaraan) itu lebih baik digunakan untuk membangun sekolah atau apa. Setiap lima tahun ada kongres bahasa, ada kongres kebudayaan, apa hasilnya?
Apa bentuk perhatian pemerintah pada bahasa daerah?
Sejak negara Indonesia didirikan, budaya tak pernah diperhatikan. Kalaupun diperhatikan, itu kalau kebetulan pejabatnya mempunyai perhatian. Ganti pejabat, enggak ada lagi (perhatian). Atau, hanya dalam omongan saja bahwa kebudayaan itu penting atau anu-anu-anu, tapi tidak pernah ada pemikiran mengenai kebudayaan apalagi program yang dilaksanakan secara kontinu.
Dulu ada Departemen P dan K (Pendidikan dan Kebudayaan). Tapi, yang dilakukan hanya pendidikan. Kebudayaan hanya embel-embel. Apalagi sekarang kebudayaan dimasukkan dalam pariwisata, artinya kebudayaan hanya dimasukkan sebagai komoditas yang bisa dijual. Mereka tidak pernah memikirkan bahwa kebudayaan itu merupakan salah satu bagian dari pembangunan bangsa. Mereka merasa cukup dengan memberikan hadiah pada seniman atau lembaga yang bergerak di bidang kesenian. Hanya itu saja. Dan hadiahnya juga berapa sih, bandingkan dengan hadiah untuk pemain bola, atau pemain badminton.
Rancage itu alhamdulillah sudah 22 tahun memberikan hadiah tahunan kepada sastra daerah. Pemerintah tidak memedulikan, ya sudahlah saya juga tidak memedulikan (pemerintah).
Bahasa ibu
Mengapa bahasa daerah tidak mendapat perhatian?
Banyak sekali faktornya. Salah satunya adanya anggapan, bahasa nasional itu lebih penting dari bahasa ibu. Kedua, pemerintah sendiri tak pernah menaruh perhatian kepada bahasa ibu. Bahasa daerah itu, kan kekayaan kita, kok kita membuang kekayaan kita sih. Orang menggunakan bahasa ibu itu bukan berarti nasionalismenya kurang.
Ada anggapan pula kalau orang berbicara dalam bahasa daerah itu provinsialistis. Saya berbicara dalam bahasa Sunda oleh kawan-kawan dianggap mau mendirikan negara sunda ha..ha.... Kawan-kawan saya di Jakarta itu selalu menganggap saya orang Sunda, padahal saya lebih banyak menulis buku dalam bahasa Indonesia. Tapi, aneh pengkritik sering menulis ”Ajip Rosidi pengarang Sunda”.
Saya disebut sastrawan Sunda karena saya orang Sunda, bukan karena saya menulis dalam bahasa Sunda.
Dianggap provinsialistis?
Saya aktif dalam sastra dan budaya daerah itu selalu sebagai orang Indonesia.
Oleh karena itu, setelah sastra Sunda berjalan lima tahun, saya pikir keadaan sastra daerah lain pun sama. Setelah Rancage memberikan hadiah kepada sastra Jawa, orang baru melihat bahwa saya tidak provinsialistis. Maka, dalam tulisan-tulisan, saya selalu katakan menjadi orang Indonesia itu tetap bisa sambil menjadi orang Sunda, Jawa, Batak. Salahnya dulu kedaerahan dan nasional itu dianggap kontroversi. Ada masanya kita berpendapat begitu. Sehingga Armijn Pane pun menganggap gamelan itu bukan musik Indonesia. Pada masa itu logika seperti itu diakui. Karena itu, teater Indonesia itu teater yang datang dari Barat. Jadi, teater-teater yang ada di sini itu tidak dianggap.
Apakah benar bahasa daerah kurang akomodatif terhadap perkembangan?
Itu tergantung dari manusianya. Memang setiap bahasa itu paling tepat menggambarkan kebudayaan masyarakat yang mempunyai bahasa tersebut. Masyarakatnya berubah dan dengan sendirinya bahasa juga berubah. Ketika kita mulai merdeka, kita menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, saat itu bahasa Indonesia belum bisa digunakan untuk menulis ilmu. Sampai tahun 1950, skripsi itu ditulis dalam bahasa Belanda.
Dalam perkembangan, karena usaha para sarjana kita yang menulis dalam bahasa Indonesia, sekarang orang menulis skripsi dalam bahasa Indonesia. Nah, dalam bahasa daerah tidak ada upaya seperti itu. Jadi sekarang, bahasa daerah tidak dipakai menulis ilmu, karena itu ya gagap kalau bicara soal ilmu. Alasannya istilahnya kurang.
Dalam bahasa Indonesia dulu waktu mulai istilah juga kurang. Artinya, harus ada pemakai dalam bahasa itu yang menulis dalam bahasa daerahnya, misalnya tentang ilmu modern. Umumnya sampai sekarang bahasa Jawa, Sunda, dan bahasa daerah lainnya hanya dipakai untuk menulis karya sastra, cerita pendek, sajak. Atau dipakai menulis soal-soal agama, kepercayaan, primbon.
Apa yang perlu dilakukan?
Selama ini orang Sunda, Jawa, selalu menyalahkan anak-anak muda tidak membaca buku berbahasa daerah. Soalnya, bukunya enggak ada, kan. Jadi, saya terpanggil untuk memberikan bukunya dan mengajak mereka membaca. Karena itu, saya mendirikan penerbit Kiblat di Bandung, yang tugasnya terutama menerbitkan buku-buku dalam bahasa Sunda. Saya jual dua lukisan Affandi untuk memodalinya. Dan Alhamdulillah, setelah sepuluh tahun
sekarang masih jalan dan sudah menerbitkan buku berbahasa Sunda kira-kira 200 judul dan bahasa Indonesia juga. Walaupun sebagai pemodal saya belum mendapatkan untung sepeser pun, tapi saya puas.
Apa efek jangka panjang jika bahasa daerah tidak diperhatikan?
Dalam jangka panjang kalau sikap kita sebagai bangsa tetap seperti ini, akan habislah bahasa daerah. Saya pernah membaca pernyataan dari pusat bahasa, ada 12 bahasa yang telah mati. Dan, ada 120 bahasa yang antre untuk mati.
Feodalisme dan korupsi
Rektor Unpad Prof Dr Gandjar Kurnia berencana memberikan gelar doktor kepada Ajip Rosidi. Ajip sempat menolak untuk menerimanya.
”Mereka meminta saya berpidato. Saya tanya pidatonya dalam bahasa apa? Katanya, dalam bahasa Indonesia. Bagaimana kalau saya nulis dalam bahasa Sunda? Rektornya setuju. Jadi, ini nanti pidato pemberian gelar doktor yang pidatonya dalam bahasa ibu. Itu sudah dari tiga tahun lalu. Buat saya apa sih doktor? Hidup saya sudah hampir selesai. Saya hidup sampai sekarang enggak pakai doktor enggak apa-apa.
Apa yang akan dibahas dalam pidato nantinya?
Saya membahas peranan orang Sunda dalam keindonesiaan. Sekarang, kan banyak orang Sunda yang mengeluh karena di tingkat nasional, kan sedikit sekali orang Sunda. Terus ada kelompok yang menulis surat kepada Presiden mengajukan 160 nama untuk jadi pejabat di tingkat nasional karena menurut mereka, orang Sunda ada 20 persen dari penduduk Indonesia jadi berhak menduduki 20 persen jabatan. Enggak tahu, itu logika dari mana.
Saya telusuri peran orang Sunda sejak Perhimpunan Indonesia.
Mungkin banyak orang Sunda marah mendengar pidato saya. Dari dulu peran orang Sunda tidak besar. Tapi, yang penting itu, kan prestasi. Orang Sunda ini, kan paling lama dijajah. Sebelum dijajah Belanda, kan dijajah Jawa. Zaman Mataram, zaman Sultan Agung pada abad ke-17.
Apa pengaruh penjajahan itu?
Itu memengaruhi kebudayaan Sunda. Pengaruhnya besar sekali dalam feodalisme. Orang Sunda jadi feodal. Karena pengaruh feodalisme, orang bawahan harus mengikuti orang yang di atas. Mereka tidak berani mengemukakan pendapat, keinginan. Tidak hanya pada orang Sunda. Mentalitas ini... rata-rata kaum elite Indonesia seperti itu.
Sebelumnya tidak feodal?
Kalau melihat naskah-naskah sebelum abad ke-17, tidak. Bahasanya egaliter. Bahasa Sunda ada tingkat-tingkat itu pengaruh dari Sultan Agung, dari bahasa Jawa. Dan bahasa Jawa sebelum Sultan Agung juga egaliter. Yang memulai bahasa Jawa bertingkat-tingkat itu, kan Sultan Agung, karena dia tidak mau katahuan kalau kakeknya petani. Jadi, dia menciptakan bahasa khusus untuk lingkungannya. Ini kesulitan yang dialami orang Jawa dan orang Sunda karena Republik Indonesia mengambil paham demokrasi. Paham demokrasi itu enggak cocok dengan bahasa yang bertingkat-tingkat.
Benarkah feodalisme menyuburkan korupsi
Feodalisme di Indonesia tak bisa disamakan dengan feodalisme di Eropa. Feodalisme di Eropa, kan berkaitan dengan kepemilikan tanah. Orang memiliki tanah yang luas dan ada petani yang hidup di situ yang bekerja untuk dia. Di sini tidak ada tanah luas, tetapi raja dan pejabat yang diangkat oleh raja itu tidak diberi gaji, artinya harus cari sendiri dan rakyat yang diperes. Alam pikiran ini yang ada terus sampai sekarang. Sekarang kalau ada orang yang mendapat jabatan, mereka akan pesta, selametan. Mereka tidak melihat jabatan sebagai tanggung jawab, tetapi sebagai cara untuk kaya. Karena itu, ada bupati-bupati, pejabat-pejabat yang ditangkep, kan?
Bagaimana Anda melihat negeri ini ke depan?
Saya sudah putus asa. Dalam otobiografi saya katakan saya tidak melihat masa depan Indonesia. (Dalam otobiografi Hidup Tanpa Ijazah, Ajip menulis, ”Aku tidak melihat ada fajar yang akan merekah di sebelah depan yang dekat ... ”)
Apakah itu tidak pesimistis?
Banyak orang mengatakan begitu. Saya kira saya tidak pesimistis, tapi realistis. Saya tidak mengharapkan yang muda akan mengubah kultur politik kita. Sudah berapa generasi dari ’66, ’98 yang muda masuk, tapi kalau sudah masuk mereka ikut juga. Saya lakukan saja apa yang dapat saya lakukan, dan saya tidak pernah meminta kepada pemerintah.
Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938. Umur 12 tahun, saat duduk di bangku kelas VI Sekolah Rakyat, tulisan Ajip telah dimuat dalam ruang anak-anak di harian Indonesia Raya.
Buku kumpulan cerpen pertamanya, Tahun-tahun Kematian, terbit tahun 1955. Ia menulis tak kurang dari 110 judul buku berupa kumpulan cerita pendek, kumpulan sajak, roman, drama, esai, dan kritik, serta terjemahan.
Sejak SMP Ajip sudah bergulat dengan dunia penulisan, dan penerbitan. Di bangku SMP, ia menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955). Kemudian tahun 1965-1967 ia menjadi Pemimpin Redaksi Mingguan Sunda; Pemimpin redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya, 1968-1979; Mendirikan penerbit Pustaka Jaya, 1971. Menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, 1972-1981
Ajip yang tidak menamatkan pendidikan SMA-nya itu pernah menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1967; Pengajar Tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku, Osaka, Jepang, 1981; Guru Besar Luar Biasa pada Tenri Daigaku, Nara, (1983-1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku, Kyoto (1983-1996).
Sumber: Kompas, Minggu, 3 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment