-- Jansen H Sinamo
SESEKALI fisikawan bisa juga membuat warta mengejutkan di tengah perkibaran kabar korupsi, konflik, dan politik dewasa ini. Namun, yang mampu berbuat begitu barangkali cuma figur sekaliber Stephen William Hawking, bersama Leonard Mlodinow, melalui buku ”The Grand Design” yang terbit 9 September lalu.
Di halaman 8 buku yang tanpa pengantar itu, Hawking langsung menggebrak: According to M-theory, ours is not the only universe. Instead, M-theory predicts that a great many universes were created out of nothing. Their creation does not require the intervention of some supernatural being or god. Rather, these multiple universes arise naturally from physical law. They are a prediction of science.
Alinea inilah yang langsung berkibar di media Amerika dan Inggris, lalu beredar ke seluruh dunia. Kabar ini—bisa ditebak—paling disambut hangat oleh pentolan kaum ateis Inggris yang biologiman terkemuka, Richard Dawkins, dengan berkata, ”Darwinisme sudah menendang Tuhan dari biologi…. Sekarang Hawking menyelenggarakan coup de grace.”
Kubu gereja langsung bereaksi. Imam yang psikolog dan teolog dari Cambridge, Rev Dr Fraser N Watts, berkata, ”Sang Pencipta menyediakan penjelasan yang kredibel dan masuk akal tentang mengapa alam semesta ada, dan… lebih mungkin ada Tuhan daripada tidak. Pandangan ini tidak tergerogoti oleh apa yang dikatakan Hawking.”
Kalangan fisikawan tidak kurang kritisnya. Profesor Peter Woit dari Universitas Columbia bahkan mencela telak buku ini: ”Satu cara jitu menaikkan penjualan buku semacam ini ialah dengan menyeret agama masuk. Klaim yang rada konvensional ’Tuhan tak diperlukan’ untuk menjelaskan fisika dan kosmologi alam semesta awal menyulut publisitas besar bagi buku ini. Saya lebih suka pada naturalisme dan tidak melibatkan Tuhan dalam fisika.”
Soal publisitas itu, saya sependapat dengan Peter Woit berdasarkan apa yang ditulis Hawking sendiri di bukunya terdahulu, A Brief History of Time—sudah 10 juta eksemplar terjual—bahwa setiap persamaan [matematika] dalam bukunya akan mengurangi oplahnya hingga setengah. Hawking yang sadar betul kekuatan publisitas kini menambah bensin ketenaran buku barunya—selain tak ada rumus apa pun—dengan faktor tak perlunya peran Tuhan tadi. Boleh jadi buku ini kelak berstatus mega-bestseller melebihi karier A Brief History.
***
Buku ini mengisahkan sejarah pemahaman fisika tentang alam semesta sejak Yunani klasik. Pemahaman itu kemudian berbeda diametral dengan wacana langit-bumi Perjanjian Lama yang geosentris ketika Copernicus dan Galileo mengedepankan kosmologi baru yang heliosentris.
Kosmologi modern semakin jauh berkembang sejak Einstein merumuskan Relativitas Umum dan Hubble—terutama dengan teleskop atas namanya kelak—mengamati bahwa alam semesta memang terus membalon secara akseleratif; kini diketahui sudah 13,7 miliar tahun sejak dentuman besar.
Terinspirasi oleh Maxwell yang dengan gemilang berhasil menyatukan fenomena listrik, magnet, dan optik menjadi teori elektromagnetik yang begitu kompak dan elegan, Einstein pun memelopori the holy grail of physics abad ke-20: meringkas dan meringkus semua fenomena alam—yakni gaya elektromagnetik, nuklir lemah, nuklir kuat, dan gravitasi—ke dalam satu rumusan final dan ultimat. Inilah yang disebut Teori Segalahal.
Hingga akhir hayatnya, Einstein tak berhasil dalam ikhtiar besar ini. Kemudian dilanjutkan para fisikawan teori sejagat dan setakat ini Teori-M adalah kandidat terkuat bagi teori akbar itu, yang banyak dibahas pada buku ini dalam bahasa yang enak dibaca dan perlu. Konsekuensi teori inilah, jika tuntas terumuskan, akan mengaminkan alinea heboh di atas.
Di luar kesimpulan yang ”rada prematur” itu, buku ini sendiri sangatlah indah. Sebagai pembelajar fisika lebih dari 30 tahun, saya tetap saja terpesona, baik dengan materi bahasannya yang dahsyat maupun oleh cara Hawking yang begitu jernih menuturkannya.
Seorang teman terpelajar dalam sosiologi berkata, ”Jika orang fisika teori mafhum The Grand Design, itu biasa. Orang teknik paham, itu juga wajar. Tapi, orang yang cuma kenal fisika di SMA bisa terus membaca dan mengikuti argumennya, itu luar bisa. Ilmuwan sosial seharusnya membaca buku ini.”
Hal itu benar belaka. Buku ini memang mempertontonkan in optima forma bagaimana seharusnya berargumentasi, membangun wacana yang bermutu, dan mengonstruksi teori yang bagus.
Rahasia alam
Rudolf Otto melukiskan perasaan tramendum et fascinans saat manusia berhadapan dengan yang kudus, seperti Musa di Sinai menghadapi api di semak kering yang tak terbakar. Namun, gentar dan takjub berdebar ternyata tidak hanya perasaan kaum religius, para fisikawan juga—Hawking termasuk—saat menghadapi rahasia alam yang mahamikro (interior atom) dan misteri kosmos yang mahamakro (alam semesta), serta keajaiban kehadiran insan cerdas dalam konstelasi itu di planet biru yang rentan ini.
Ateisme barangkali adalah sebuah bakat insani, sama halnya dengan religiusitas dan fanatisme. Masing-masing melihat hal-hal yang memperkuat kecenderungan hatinya.
Karen Armstrong dalam A History of God mengisahkan konsep Tuhan yang terus berevolusi dalam sejarah kita, dan peran manusia di dalamnya ternyata tetap utama membangun dunianya, terutama teologinya.
Anthony de Mello bercerita tentang Tuhan yang memilih bersembunyi dalam hati manusia, dan siapa tahu—di kedalaman batin itu—fisika Hawking pun takkan sanggup menjamah-Nya, apalagi memeriksa-Nya.
Jansen H Sinamo, Fisikawan Lulusan ITB Tahun 1983, Sehari-hari Bekerja sebagai Aktivis Etos Kerja, Tinggal di Jakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 3 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment