-- Warih Wisatsana
SEBUAH lukisan, entah itu sepasang tangan menghaturkan sesaji karya Polenk Rediasa atau potret diri ala Wayan Wirawan berupa sesosok tubuh yang nyaris tanpa kepala, begitu tampil di ruang publik, kehadirannya terbukti lebih dari sekadar ekspresi kesenian. Jalinan makna yang mengemuka bukan semata berasal dari pesan yang tervisualkan, melainkan terkait konteks lebih luas, yang dapat dirunut ke berbagai kemungkinan, semisal merujuk soal di mana dan secara bagaimana karya itu dipamerkan.
Di The Stones, berhadapan langsung dengan pantai Kuta, pusat wisata Bali, kedua pelukis itu menyuguhkan karya-karyanya yang tergolong realistik dalam tajuk Dari Bali dengan Doa. Dengan kecenderungan masing-masing selama ini, berkelindan di kanvas mereka, sosok-sosok manusia dari anak-anak hingga orang tua, walau akrab, tetapi terasa berjarak dari pengalaman keseharian kita. Karya-karya itu terasa kuat dalam detail, kadang terfokus pada bagian tubuh tertentu saja sehingga menyiratkan kedalaman emosi yang menawarkan aneka persepsi sekaligus beragam arti. Dengan kata lain, meskipun Polenk dan Wirawan menumpahkan obsesi dan kreasinya secara realistik–fotografik, imajinasi liar mereka terbukti turut ambil bagian; mengolah subject-matter menjadi lebih ”dramatik”.
Maka, kosa rupa karya mereka, meski elok dan molek, bukanlah turunan dari realitas senyatanya. Bahkan, bila dikaitkan dengan konteks peristiwa dan keberadaan tempat pameran, wujud dan sosok itu kian terasa simbolis. Lihat saja foto diri Wirawan, yang tidak saja menampilkan sang pelukis secara rinci dan persis, tetapi juga menghadapkan sosok wayang imajiner Delem, sang punakawan yang cerewet itu. Judulnya adalah ”Dialog”, menggambarkan ironi komunikasi yang penuh hierarki, antara yang lampau (tradisi) dan yang kini (modern). Hal senada dapat disimak pada lukisan Polenk tentang wajah penari Bali, terlihat sempurna dengan hiasan dan riasan yang tertata. Akan tetapi, kita justru terpana, bukan oleh pesona wajah penari itu yang jelita, melainkan lebih oleh tetes lembut air matanya, yang seakan hendak bergulir di pipi. Ini jelas sebuah kontras, suatu pilihan bentuk yang ”memaksa” khalayak melampaui keelokan yang kasatmata.
Setetes noda
Strategi artistik kedua perupa itu, yang secara sengaja tak setia pada realitas, sembari menorehkan setetes ”noda” yang indah dalam keakuratan bentuk yang terjaga, tidakkah itu dapat dimaknai sebagai gugatan akan kemolekan eksotika turistik, yang boleh jadi masih membayang-bayangi perjalanan seni rupa Bali hingga sekarang ini. Dan, dipilihnya Kuta sebagai tempat pameran, yang berlangsung tiga hari, 1-10 Oktober 2010, bukan tanpa tujuan, melainkan jelas adalah cerminan dari sikap kritis mereka tersebut.
Kedua pelukis muda ini sejak awal sudah memilih jalur formal (sekolah) Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) dan kemudian Institut Seni Indonesia (ISI ) di Denpasar dan Yogyakarta. Polenk bahkan menyelesaikan studi pasca-sarjana di Kajian Budaya Universitas Udayana, satu cabang ilmu yang mengkaji sisi-sisi kebudayaan kontemporer, termasuk budaya pop. Mereka mewakili kecenderungan generasinya, yang mencoba mempelajari olah bentuk secara analitis serta berproses di tengah serbuan gambar iklan yang indah dan ”revolusi” media audiovisual yang tak terbayangkan. Melalui mereka, terbaca pada karya dan berikut tahapan kreatifnya, sesuatu yang amat khas Bali. Misalnya saja, meski karya-karya keduanya tergolong realistik, pada hakikatnya menegaskan pula bahwa pendekatan secara realistik itu, walau telah berlangsung dalam kurun yang cukup panjang di pulau ini, tidak pernah benar-benar mengakar sebagai bahasa kultural dalam ranah tradisi Bali.
Bahkan, angkatan pelukis Bali, Pita Maha, dengan mahaguru Walter Spies dan Rudolf Bonnet, yang membawa cara Barat di dalam melukis pada tahun 1930-an, tidak pernah benar-benar diadopsi sebagai ”anak kandung” kebudayaan Bali. Gaya yang dibawa Spies dan Bonnet justru luluh dalam apa yang sekarang dikenal sebagai gaya ubud atau batuan.
Perupa yang lebih awal menjajal sekolahan, seperti Nyoman Tusan, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, dan Made Budhiana, pun membahasakan keseniannya dalam cara-cara yang terbilang amat ”Bali”. Mereka mengandalkan aksi spontanitas yang tinggi untuk meraih citraan-citraan tentang realitas. Begitulah jalan ekspresi kesenian Bali selama ini, teori-teori anatomis seolah hanya sampiran saja.
Polenk dan Wirawan, keduanya adalah kreator yang memiliki kecakapan teknis yang unggul. Dalam tahapan ini, pameran di Kuta adalah sebentuk kesadaran mereka untuk mengolah dan memahami realitas, juga realitas seni rupa berikut alur sejarahnya, guna membebaskan diri kungkungan citraan ”firdaus terakhir ‘’ dan juga keharmonian keindahan yang belakangan kian semu.
Warih Wisatsana Penyair Tinggal di Bali
Sumber: Kompas, Minggu, 3 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment