Sunday, October 03, 2010

Paru-paru Budaya

-- Putu Wijaya

ART-SUMMIT Indonesia datang lagi. Sejak digelar pertama kali tahun 1995 hingga putaran yang ke-6, tanggal 4-24 Oktober, telah digelar pertunjukan tari-musik dan teater ”kelas satu” dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Tetapi, apa hasilnya? Tahun ini Art Summit digelar di tiga lokasi Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), dan Teater Salihara Jakarta.

Pertanyaan tadi sudah dilemparkan dengan beringas pada tahun 1998 saat reformasi sedang berkobar. Dalam situasi politik yang amat kisruh dan ekonomi terpuruk, pembelanjaan uang untuk menggelar kesenian dituding sebagai kegilaan, sementara nasi bungkus dibagikan di banyak tempat. Tetapi, Art Summit tetap berlangsung dan tidak sampai menjadi ”perkara”.

Pertanyaan lain muncul. Apakah kesenian memang harus dibiayai, dijaga kehadirannya untuk melengkapi menu rakyat sehat? Padahal, yang menikmati juga hanya beberapa ribu orang saja. Bahkan, ada yang hanya beberapa puluh orang? Tidakkah itu hanya memperlengkap ketidakadilan karena di banyak sudut negeri yang harus mengenyangkan perut 220 juta orang ini, kebutuhan sandang-pangan saja terbengkalai?

Bicara tentang kesenian, sektor ekonomi dan politik yang dinobatkan sebagai primadona untuk mengembalikan wajah Indonesia pada masa pascareformasi memang selalu kecut. Karena, keindahan sudah tercatat sebagai tambahan ”gincu” yang hanya merepotkan. Seni dianggap terlalu banyak minta perhatian, waktu, dan biaya dengan hasil yang tidak pernah bisa diukur untung-ruginya.

Seni konon investasi kultural jangka panjang. Tetapi, tanpa adanya batasan waktu yang pasti kapan golnya itu tiba, telah membuat proyek-proyek dan banyak instansi ragu pada kegunaannya. Tak heran kalau dukungan yang diberikan hanya basa-basi. Dibuang malu hati, dirawat tak sudi. Akhirnya seni perlahan-lahan menjadi penumpang gelap dalam kehidupan negara.

Mengherankan dalam keadaan seperti itu Art Summit masih bisa hadir, dengan sepuluh penampil dari Korea Selatan, Amerika Serikat, Austria, Belanda, dan Indonesia. Apalagi dengan kemanjaan harga tiket yang tak jauh beda dari tiket bioskop. Bayangkan, berapa biaya kelompok-kelompok itu agar bisa diboyong. Sementara fasilitas yang disediakan panitia untuk mereka cukup menyedihkan kalau tidak bisa dikatakan memalukan mengingat mereka adalah para selebriti berkelas.

Semuanya itu dimungkinkan karena adanya dukungan dari pusat-pusat kebudayaan negara bersangkutan. Dan, apa yang sudah menyebabkan pusat kebudayaan setempat menyingsingkan lengan bajunya menolong para senimannya manggung di Jakarta? Apalagi kalau bukan karena diplomasi budaya semakin diakui sebagai jembatan persahabatan yang efektif. Para penari, musisi, dan teaterawan itu adalah sebuah jendela yang membuat negara yang nun jauh di sana itu terasa dekat dan akrab.

Jendela

Dapatkah Art Summit sendiri juga menjadi sebuah jendela bagi dunia luar untuk memandang Indonesia lebih dekat dan akrab? Putaran keenam untuk sebuah festival internasional adalah usia yang masih muda. Bertahan hidup saja sudah bagus. Apalagi di tengah situasi politik dan ekonomi yang belum benar-benar dapat disebut nyaman. Belum lagi berbagai bencana yang datang menerpa.

Bahwa dalam kesibukannya yang luar biasa, para selebriti tersebut masih menyempatkan menjadi bagian dari Art Summit, itu sebuah titik harapan. Dengan perencanaan yang lebih awal, pengerahan tenaga yang lebih gila, dan semangat yang tidak mengenal kata mundur, Art Summit sudah mulai dicatat. Itu bukan sesuatu yang mudah di seabrek festival seni dunia yang kawakan di berbagai belahan dunia.

Festival adalah sebuah oase. Ia selalu harus ada kendati tidak ada musafir yang lewat. Keberadaannya akan menyulut keinginan mengembara bagi batin-batin yang memerlukan pengalaman baru. Kehadirannya yang ajek itulah yang nanti akan membuahkan keinginan rakyat untuk menambah apresiasinya. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang selalu dilakukan otak dagang yang tak akan berbuat kalau tak ada untung.

Sebagaimana semua festival, Art Summit memiliki watak sendiri. Sejak digagas, kegiatan yang selalu dibarengi dengan seminar dari panelis berbagai negara tersebut bertekad untuk menyuguhkan yang terbaik dan terbaru. Ini sering kali membuat langkahnya tersandung. Mencari terbaik dan terkini tidak mudah. Yang terbaik dan terkini sering sudah padat jadwalnya dua tahun ke depan. Sementara Art Summit, walaupun punya waktu tiga tahun, baru dipersiapkan setahun sebelumnya.

Yang terbaik dan terkini juga menyulitkan karena ”bisa” tidak akrab dengan selera umum. Eksplorasi yang terlalu maju ke depan itu memang sangat cantik untuk dibicarakan di kalangan elite. Di dalamnya ada aspek pencarian yang membuat kening berkerut yang tak banyak membuat orang ketawa dan senang. Akibatnya, orang keder dan kadang kala mundur sebelum mencoba. Sementara pelaku dalam industri seni selalu lebih tertarik apa yang ”laris”.

Art Summit oleh banyak orang yang ingin hiburan memang tidak berguna. Bagi mereka yang menempatkan seni hanya kelangenan, pasti sinetron atau variety show di televisi akan lebih asyik. Tetapi, sebagai langkah budaya pada kehidupan yang semakin runyam oleh nilai-nilai yang semakin mendangkal, ini adalah sebuah paru-paru. Bila usianya berkelanjutan, kelak akan ada generasi yang mensyukurinya bahwa dia sudah diperjuangkan.

Banyak yang sudah ditampilkan dalam Art Summit. Kita catat kehadiran Sankai Juku, Kazuo Ono (dedengkot tari butho yang baru meninggal), Urban Sax (Prancis), Alvien Lucier (AS), Bremer Tantzheater (Jerman), Theo Lovendie (Belanda), Yukio Waguri, Stringe Fruit Dance (Australia), Black Tent Theater (Jepang), Folkwang Tatstudio (Jerman), Akhram Khan (Inggris), Chandralekha (India), Yuji Takahashi (Jepang), Diez-diez Danza (Spanyol), Paul Gutama Sugio, Slamet A Syukur, Sardono W Kusumo, Gusmiati Suid, Nyoman Windha, Farida Oetoyo, N Riantiarno, Tony Prabowo, Boi G Sakti, dan sebagainya.

Art Summit kali ini menampilkan Hyun Ok Park (Korea), Leina Roebana (Belanda), Tale Ensemble (AS), Pierrot Lunaire (Austria), Slamet Gundono, Teater Satu Lampung, Gamelan Pendro dan Cundami Bali, Blacius Subono, Nan Jombang Dance Company, Sekar Kliwon Nanu Munajar. Didukung seminar yang mengambil tajuk ”Contemporary Arts and the Demand of Cultural Industries”.

Hasil tidak hanya tergantung dari apa yang akan berlangsung, tetapi bagaimana kita menerima dan memanfaatkan kehadirannya. Inilah bagian yang juga sangat lemah dari kondisi kita sekarang. Bola-bola umpan terobosan yang indah begitu banyak yang dilemparkan, tetapi kita mungkin tidak maksimal menembakkannya.

Jadi, jangan hanya mengeluh tentang festival-festival yang semakin banyak sekarang di Indonesia ini. Tak cukup hanya bertanya-tanya. Semua festival seni adalah paru-paru yang akan membuat menu kita sehat, asal kita sendiri memang ingin menaikkan kualitas hidup.

Jakarta, 30 September 2010

Sumber: Kompas, Minggu, 3 Oktober 2010

No comments: